Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nikmatnya Mengemplang Utang

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOFJAN Wanandi kesal bukan kepalang. Makin kerap ia mendengar aktivitas yang dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional terhadap para bankir yang bandel, makin jengkel hatinya. Lewat bank miliknya, Bank Dana Hutama yang dibekukan, Sofjan memilih melunasi seluruh kewajibannya kepada BPPN sebesar Rp 1,8 miliar, awal tahun lalu. “Saat itu kita bayar langsung, kita tak bicara menunda atau cicil-mencicil,” ujarnya. Belakangan ia merasa ditipu dan menganggap sikap “dokter” perbankan itu tak adil dan terbuka mengurusi debitor. Ujung-ujungnya, tak ada beda perlakuan antara debitor yang mau membayar utang dan yang bandel. Tak hanya Sofjan yang punya niat baik dengan membayar utangnya. Hendra Liem, pemegang saham Bank Budi Internasional, dan Ciputra juga sudah melunasi utangnya. Para pemilik Bank Orient, Bank Alfa, maupun Sino Bank termasuk dalam kelompok debitor baik. Ibrahim Risjad pun termasuk dalam kelompok ini. Hanya karena perbedaan perhitungan, Rp 27 miliar sisa kewajibannya ketinggalan. Namun itu pun segera dilunasinya akhir Oktober lalu. Bagaimana Sofjan tidak kesal. Tiga bulan lalu, BPPN mengobral ratusan triliunan rupiah aset kredit tanpa direstrukturisasi. Selain bertentangan dengan misi pendirian BPPN, penjualan itu memberi kesempatan pemilik lama membeli lagi harta utangnya dengan uang minim. Kasus yang paling jelas adalah aset kredit milik Grup Djajanti. Menurut sumber di BPPN, debitor grup ini tergolong sangat tidak kooperatif sehingga sempat dimasukkan ke litigasi dua tahun lalu. Berjanji akan membayar beberapa miliar, Djajanti dikeluarkan dari divisi itu. Ternyata mereka ingkar janji. Tiba-tiba, Juli lalu, aset kredit ini terjual dalam program penjualan aset kredit bersama ribuan harta utang lain. Pembelinya Bank Mandiri dan Jasabanda Garta, yang kabarnya menjadi alat pemilik lama untuk memiliki kembali aset kredit tersebut. Bandingkan dengan Grup Rajawali, yang berdasarkan data BPPN termasuk pengutang yang mau bekerja sama menyelesaikan utangnya. Kelompok ini membayar utangnya yang Rp 3,5 triliun dengan menyetor duit kas Rp 300 miliar, sejumlah saham yang nilainya Rp 620 miliar, dan tanah senilai Rp 35 miliar. Total, grup ini membayar 30 persen dari utangnya di muka. Sisanya direstrukturisasi sehingga tingkat pengembalian grup ini mencapai 40-50 persen. Ujung-ujungnya, kedua aset kredit itu dijual putus. Dalam hal ini, jelas Djajanti lebih diuntungkan. Kesimpulannya, tak ada gunanya berbaik-baik membayar utang di negeri ini. Dua pekan lalu, meski masih jauh dari Lebaran, para debitor litigasi hitam mendapat pengampunan kembali. Ajakan damai ditawarkan. Jumlahnya, menurut Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Raymond van Beekum, 1.436 debitor dengan nilai Rp 23 triliun. Mereka diberi kesempatan lagi menyelesaikan utangnya di luar hukum. Syaratnya, mau mencicil atau melunasi utangnya. Sesuatu yang dalam tiga tahun ini tak bisa dicapai. Penanganan yang berubah-ubah ini mungkin yang menyebabkan sejumlah debitor selalu mengulur-ulur waktu. Toh, tak ada sanksi yang dijatuhkan kalau mereka tak patuh. Juni lalu, 12 pengutang yang menandatangani akta pengakuan utang menyatakan keberatan membayar utang dalam waktu tiga bulan. Alasannya, jumlah utang yang disodorkan lembaga itu tak sama dengan catatan mereka. Sementara itu, penyelesaian utang lima konglomerat pengutang penanda tangan perjanjian penyelesaian MSAA makin “ngawur”. Menurut sumber TEMPO, ada keinginan yang sangat kuat dari pemerintah untuk melepaskan mereka dari belitan utangnya. Saat ini mereka sedang memikirkan cara membungkus keputusan tersebut—yang kabarnya akan keluar minggu ini—sehingga tak mengundang reaksi negatif dari masyarakat. Sofjan melihat debitor membandel akibat sikap pemerintah yang tak adil, tak jelas, dan terlalu banyak terlibat. Dia dan sejumlah debitor lainnya yang sudah keluar duit atau aset akhirnya kecewa. Kalau tahu penyelesaiannya seperti ini, lebih baik mengemplang saja. Duit tak keluar banyak, kurungan menjauh, dan aset utang pun bisa dikuasai kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus