Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pembongkaran Fetisisme Identitas

Esai-esai Goenawan Mohamad dalam buku ini merangsang kita untuk membongkar segala pemikiran stereotip, mengkaji ulang segala hal berdasarkan ambiguitas dan partikularitas kenyataan konkret.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eksotopi
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Grafiti Pers, 2002

Eksotopi membahas isu-isu penting peradaban saat ini, seperti identitas, kebudayaan, teater, puisi, tubuh, humor, iman, agama, kota, dan sebagainya. Sang penulis, esais Goenawan Mohamad, selalu menggunakan puncak-puncak gunung es pemikiran para filsuf mutakhir sebagai titik-titik pijakan di ketinggian untuk memandang panorama permasalahan secara baru. Dalam hal ini erudisi Goenawan Mohamad memungkinkannya memainkan kata-kata kunci yang penting dari para filsuf itu dengan piawai—dan sering kali dekonstruktif—sehingga menimbulkan pemahaman baru yang lebih strategis dan segar atas berbagai persoalan. Satu lagi kekuatan Goenawan Mohamad dalam buku ini adalah bahwa, dalam memperkarakan isu-isu itu, ia selalu menggunakan peristiwa ataupun tokoh konkret sebagai ilustrasi. Lantas, dengan bahasanya yang bersayap-sayap, argumentasinya pun menjadi hidup, menyentuh, bahkan dramatis. Maka, hasilnya adalah esai-esai yang bernapas panjang dengan kepekaan rincian yang mengagumkan, argumentasi yang tajam, dan plastisitas bahasa yang menggeliatkan impuls-impuls imajinasi dan perasaan di dasar pemahaman. Berpikir lewat imajinasi dan perasaan, itulah agaknya keunikan Goenawan. Mungkin ini ada kaitannya dengan kepenyairan Goenawan. Selain mengisi kolom tetap Catatan Pinggir di Majalah TEMPO, ia menulis sejumlah buku puisi. Pembicaraan tentang "identitas", misalnya (dalam esai bertajuk, Eksotopi), ia awali dengan sepele: berjalan-jalan di kota kecil Bruges. Pembicaraan lantas masuk ke soal sejarah, tempat, "berbagai masa silam yang ruwet dan panjang berjela-jela diringkus lurus," katanya. Dan dengan begitu sejarah menjadi tapal batas identitas. Tapi, dalam kenyataan, sering kali sejarah adalah sejarah ciptaan pihak yang berkuasa, yang dengan cara itu diciptakanlah sekaligus identitas yang "lain" sebagai yang kalah, yang tersubordinasi. Juga dengan itu identitas kultural dibekukan dan dibakukan sebagai sesuatu yang tunggal, tak berubah, macam kategori tentang "Islam", "Barat", "peradaban", dan sebagainya. Situasi macam itu melahirkan reaksi: pengerasan-pengerasan identitas. Dan pada gilirannya nilai-nilai lokal-tradisional digali dan diangkat sebagai tandingan, misalnya menjadi "nilai-nilai Asia", dan lainnya. Di sinilah kritik Goenawan mulai berbunyi. Baginya, tendensi kelokalan macam itu pun mengandung banyak ambiguitas. Tradisionalisme dalam prakteknya tak lebih dari sekadar siasat untuk mengontrol dan membungkam. Tapi yang lebih mendasar adalah bahwa sikap-sikap macam itu sering kali merupakan pembentukan garis demarkasi abstrak yang takabur juga. "Di bawah permadani yang menampilkan kesamaan pola, senantiasa dapat ditemukan pergulatan internal di antara pelbagai ekspresi yang beraneka ragam," katanya. Dan Goenawan lantas cenderung melihat kebudayaan sebagai sebuah "proses" saja. Bersama Julia Kristeva, Goenawan pun menekankan bahwa identitas kita sebagai subyek selalu merupakan "subyek-dalam-proses", subyek yang selalu belum rampung, bahkan tak putus-putusnya dipersoalkan, digugat, dan dibatalkan, tempat yang "sejati" dan "tak sejati" tak pernah sangat jelas. Meminjam istilah dari Bakhtin, yang terjadi selalu adalah praksis "eksotopi", katanya. Eksotopi bukanlah proses dialektika dengan sintesis yang mengatasi kontradiksi dalam satu pandangan monologis, melainkan suatu proses di mana, saat kita membaca sebuah teks, kita tetap mengakui integritas teks itu tapi sekaligus kita membubuhkan suplemen kepadanya hingga dialog berlangsung terus secara kreatif. Praksis eksotopi itu pula yang agaknya dilakukan Goenawan dalam esai-esai selanjutnya, yakni membubuhkan suplemen penting atas anggapan-anggapan baku. Namun, suplemen itu ada kalanya justru mengandung daya bongkar. Esai-esai itu merangsang kita untuk membongkar segala pemikiran stereotip, mengajak kita mengkaji ulang segala hal berdasarkan ambiguitas dan partikularitas kenyataan konkret. Meminjam peristilahan Levinas, esai-esai Goenawan yang bernas itu adalah contoh gamblang praksis bahasa sebagai laku etis, yakni bahasa yang menginterupsi segala bentuk pengetahuan, mengembalikan segala pengertian ketunggalan ke dalam kemungkinan real yang amat beragam, bahkan amorf. Hanya, membaca esai-esai itu kita perlu waspada untuk tidak terlalu terpikat oleh ilustrasi kasus-kasus partikular konkret ataupun kecantikan kalimat-kalimat Goenawan. Sebab, bila begitu, kita mudah kehilangan alur besar penalarannya. Bambang Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus