Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Obral Pengampunan di Jimbaran

Ketua BPPN mengajak konglomerat pengutang bertemu muka di Bali. Sikap tegas BPPN mengabur. Cara penyelesaian damai yang dipilih.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SHERINA tampil menawan malam itu. Berpakaian putih panjang, penyanyi yang kini beranjak remaja itu terlihat menonjol di tengah lautan baju warna hitam yang memenuhi areal patung Garuda Wisnu Kencana, Senin malam pekan lalu. Suasana duka tampak menggayuti pergelaran musik Twilite Orchestra bertajuk The Bali Memorial Concert, sebuah acara untuk mengenang para korban bom di Legian, Bali. Sekitar 10 ribu manusia berbaur, ikut bersenandung dan khusyuk memegang lilin yang menyala. Di deretan depan tampak Taufiq Kiemas, patron acara konser itu. Sejumlah tokoh bisnis nasional juga bertaburan di sana. Di sisi kiri terlihat Usman Admadjaja, bekas pemilik Bank Danamon. Ada juga Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific, dan Jacob Nursalim, keponakan Sjamsul Nursalim dari Grup Gadjah Tunggal. Mereka tampil kelimis dengan jas dan dasi mentereng. Pebisnis dan konser bukanlah paduan yang lazim. Adalah BPPN yang mencampurkan keduanya. Dengan mendompleng pada acara promosi pemulihan pariwisata Bali, lembaga itu mengundang sekitar 200 konglomerat yang terkait dengan BPPN, seperti debitor, bekas pemegang saham bank, dan investor. Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung mengakui, pihaknya sengaja membuat program di Bali bersamaan dengan konser itu. Selain membicarakan utang konglomerat, jualan aset-aset BPPN turut digelar dalam acara yang bertajuk Investor Forum selama dua hari. Perjanjian empat tahun antara para pengutang dan BPPN yang kini sudah di ambang akhir belum juga terselesaikan. Jadi, setelah acara bersedih-sedih, esok harinya dimulailah acara berngotot-ngotot. Cuma, karena yang diajak berunding ini para pengusaha besar, tempat perundingannya pun sungguh nyaman: salah satu kamar di Hotel Le Meridien, Bali Nirwana Resort, Tanah Lot, yang indah dan mewah. Layaknya dokter yang sedang berpraktek, Syaf duduk menunggu masuknya satu per satu para pasiennya di sofa warna krem dalam kamar 411. Mengenakan baju batik warna hijau, Syaf didampingi Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Manajemen Investasi, Taufik Mapaenre Ma’ruf. Pasien lain, para konglomerat pengutang, menanti giliran di ruang 419. Pasien pertama, Sudwikatmono, masuk dengan tertatih-tatih. Para wartawan diberi kesempatan mengabadikan pertemuan itu. Kedua pihak tersenyum-senyum, tak tampak tanda-tanda bakal terjadi pertempuran berat. Pintu kamar pun ditutup. Didampingi dua stafnya, sepupu bekas presiden Soeharto yang belum lama terkena stroke itu berbincang dengan Syaf selama setengah jam. Berikutnya, Anthony Salim. Putra mahkota Lim Sioe Liong ini berbatik cokelat dengan celana putih. Ia menenteng handphone model lama. Anthony masuk didampingi tangan kanannya, Benny Santoso. Pasien lainnya menyusul: Jacob Salim, Leonard Tanubrata—mewakili Bob Hasan, yang saat ini dipenjara di Nusakambangan—Samadikun Hartono, dan Ibrahim Risjad. Usman Admadjaja, yang ikut menonton konser Senin malam, malah tak muncul. Beberapa pengutang, seperti Samadikun Hartono, keluar kamar dengan murung. Hanya Ibrahim Risjad yang menunjukkan wajah gembira. Selain para pengutang itu, tampak juga pengusaha Harry Tanoesoedibyo dan Murdaya Poo, yang ikut antre menghadap ”Dokter” Syaf. Tak jelas apa tujuan mereka karena kedua orang ini tak punya sangkutan utang dengan BPPN. Lalu, apakah suasana Bali Nirwana Resort membuat perundingan utang itu sukses? Maaf saja, hasilnya ternyata tak memuaskan. Kecuali Ibrahim Risjad, yang akhirnya meneken perjanjian telah selesainya urusan utang-piutang dengan BPPN, konglomerat lain masih punya banyak punya sandungan. Salim, misalnya, terganjal masalah misrepresentasi yang tadinya cuma Rp 729,4 miliar tapi sekarang telah membengkak jadi Rp 2,2 triliun. Belum lagi ada kisruh dalam penjualan saham PT Metropolitan Kentjana lantaran munculnya gugatan dari keluarga Djuhar Sutanto. Masalah lain berupa tagihan Anthony sendiri untuk ongkos manajemen sebesar Rp 2 triliun seperti yang tertera dalam MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement—perjanjian pelunasan utang dengan jaminan aset). Tagihan itu serta-merta ditolak oleh Syaf. ”Sampai kapan pun saya tolak karena, selama mereka kelola, nilai perusahaan terus-menerus turun,” katanya. Penyelesaian utang Sudwikatmono senilai Rp 1,9 triliun juga terganjal penyerahan saham PT Dwi Mitra Nusantara senilai Rp 266 miliar yang ternyata dijaminkan juga di Bank Bapindo, yang kini bergabung dalam Bank Mandiri. Sudwikatmono berjanji akan menyelesaikan sisa kewajibannya itu pada 15 November pekan ini. ”Ini cuma masalah administrasi di Bank Mandiri yang bisa segera diselesaikan,” ujarnya meyakinkan. Nasib Samadikun Hartono lebih jelek. BPPN menilainya cedera janji dan memintanya menyerahkan aset tambahan untuk menutup utang. Tak berkutik, pendiri Grup Modern itu menyanggupi untuk menyerahkan aset tambahan. Namun, di luar ruangan ia tampak menyesali janjinya. ”Nanti saya akan berbicara lagi dengan BPPN,” ujarnya dengan tampang lesu. Lain lagi dengan Leonard Tanubrata. Wakil Bob Hasan ini sebelum bertemu Syaf tampak begitu percaya diri, tapi berubah lesu setelah keluar dari ruang perundingan. Di dalam, rupanya Syafruddin berkukuh menagih kekurangan aset berupa saham di empat perusahaan yang bergerak di bidang hutan tanaman industri. Saham-saham itu terkait dengan pemilik lain, yaitu PT Inhutani. Karena itu, urusan pelunasan utang sebesar Rp 6,16 triliun dianggap belum beres. Kepada para pengutang itu, BPPN memberi waktu satu minggu untuk menyelesaikannya. Yang paling sakti dari semua konglomerat itu adalah Sjamsul Nursalim. Meski tak datang, agaknya ia sudah berunding secara diam-diam dengan BPPN. Hasilnya, kedua pihak bersepakat soal penyelesaian kekurangan setoran uang tunai Sjamsul senilai Rp 684 miliar. BPPN kabarnya bersedia mundur selangkah dengan menerima uang pembayaran pesangon karyawan Bank BDNI sebesar Rp 256 miliar sebagai bagian dari pembayaran kontan. Sebaliknya, Sjamsul juga mengalah dengan membayar sisa uang muka kontan sebesar Rp 428 miliar dalam bentuk tunai dan sisanya berupa saham di PT Inti Prima Properti. Kebijakan penyelesaian utang model ini ditentang oleh Komite Pemantau BPPN. Sikap lembek BPPN itu bertentangan dengan keputusan sidang kabinet tanggal 7 Maret 2002 dan keputusan KKSK tanggal 18 Maret 2002 yang menetapkan Sjamsul masih harus membayar kekurangan sebesar Rp 684 miliar secara tunai. Dari semua konglomerat bermasalah, yang paling membuat masyarakat jengkel mungkin sikap Usman Admadjaja. Bekas pendiri Bank Danamon ini datang dengan gagahnya di The Bali Memorial Concert, tapi tak nongol menghadap “Dokter” Syaf. Ia rupanya sudah menyerahkan surat takluk ke BPPN dengan menyatakan tak punya aset lagi untuk menutup utangnya yang masih kurang Rp 9 triliun. Usman kabarnya sudah pasang badan dan siap masuk bui karena tak mampu bayar utang. Anehnya, kendati mengaku tak punya duit, selama di Bali ia masih bisa menginap di Hotel Nikko. Dalam perjalanan sepulang menonton konser, mobil yang ditumpanginya dikawal patroli polisi. Sungguh layaknya tokoh terhormat saja. Terhadap perilaku konglomerat yang seperti itu, BPPN tak mengambil tindakan apa-apa. Sudah jadi rahasia umum, di bawah Syafruddin, BPPN menggariskan kebijakan penyelesaian utang dengan cara damai. ”Kami ingin penyelesaian secara out of court settlement,” ujar Syaf tegas. Ia tak melirik sedikit pun rekomendasi yang diberikan tim bantuan hukum, yang bekerja keras selama Mei-Juni lalu untuk memetakan kepatuhan para bankir pengutang negara berdasarkan perjanjian utang yang mereka teken. Waktu itu tim bantuan hukum menganggap 40 debitor itu telah gagal bayar, dan untuk itu mereka merekomendasikan agar diberi hukuman pidana (cekal) atau perdata (paksa badan, pailit, atau penyitaan aset pribadi). Sikap BPPN itu mengundang kecaman dari Faisal Basri. ”Syaf agaknya lebih terobsesi melakukan transaksi ketimbang bersikap tegas kepada konglomerat bandel,” ujar ekonom dari Universitas Indonesia itu. Mungkinkah itu lantaran transaksi menghasilkan dana yang gurih untuk menutup anggaran, sedangkan pengadilan cuma menghasilkan letih? Nugroho Dewanto (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus