Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah berpotensi menguat pada pekan kedua September ini seiring dengan meningkatnya minat investasi aset berisiko walaupun pergerakkannya diperkirakan cenderung terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa potensi penguatan rupiah pada pekan ini dipicu karena pasar masih menyambut positif rencana kembalinya AS dan China ke meja perundingan pada Oktober.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Selain itu, meredanya kisruh Brexit dan Hong Kong juga menjadi mendorong rupiah dan aset berisiko lainnya untuk menguat,” ujar Ariston kepada Bisnis, Minggu 8 September 2019.
Kendati demikian, Ariston mengatakan bahwa pasar masih akan mewaspadai efek samping dari sengketa perdagangan AS dan China, seperti ekspor Negeri Tirai Bambu yang melonjak dan data ketenagakerjaan AS yang lebih buruk daripada ekspektasi.
Berdasarkan data pemerintah China, ekspor China naik 2,6 persen pada Agustus secara year on year, sedangkan impor China turun 2,6 persen.
Sementara itu, data ketenagakerjaan AS di luar sektor pertanian untuk periode Agustus hanya mencatat pertumbuhan sebanyak 130.000, lebih kecil dibandingkan dengan ekspektasi pasar sebesar 163.000 dan pencapaian bulan sebelumnya sebesar 164.000.
Oleh karena itu, Tjendra memprediksi pada perdagangan hari ini Senin 9 September 2019, rupiah bergerak di kisaran Rp14.060 per dolar AS hingga Rp14.150 per dolar AS.
Adapun, pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat 6 September 2019, rupiah ditutup di level Rp14.101 per dolar AS, menguat 0,38 persen atau 54 poin.
Di sisi lain, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor bergerak melemah 0,02 persen menjadi 98,394, bertahan di atas level terendahnya untuk sepekan terakhir.