Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEO Liandra menutup hidungnya saat membuka tudung plastik yang membungkus mesin penenun benang. Gumpalan debu tebal yang menyelimuti plastik terbang seketika. Saat penutup dibuka, mesin tenun pembuat bahan denim itu tampak seperti baru.
Sejak Idul Fitri Juni lalu, 120 mesin tenun milik sebuah pabrik denim di Jalan Cisirung, Palasari, Bandung, tersebut berhenti operasi. Ratusan mesin teronggok berjejer di ruangan seluas dua kali lapangan tenis. Dulu hampir 24 jam mesin ini berputar. Setiap hari dalam sepekan, deru mesin dan riuh suara pekerja berpadu memenuhi ruangan itu. “Bisa dibilang sekarang mesinnya sudah beku, sulit dioperasikan lagi,” kata Leo, manajer pabrik, saat ditemui pada Senin, 16 September lalu.
Mesin-mesin itu biasanya dijalankan delapan pekerja setiap hari untuk menghasilkan bergulung-gulung kain denim. Jika semua mesin beroperasi normal, pabrik bisa menghasilkan 80 yard atau 73,2 meter kain per hari. Sejak awal tahun, pabrik mengurangi pengoperasian mesin secara bertahap. “Karena stok produksi menumpuk di gudang depan,” tutur Leo.
Ribuan gulung kain denim beragam kualitas dan ketebalan terlihat menumpuk di gudang penyimpanan pabrik. Beberapa di antaranya menghampar di lantai gudang. “Sekarang membuat 40 ribu yard per hari saja sudah bagus. Kami tidak berani menaruh stok,” ucap Leo.
Dua tahun terakhir, kinerja pabrik yang pernah menyuplai bahan untuk produsen busana Delami Garment—pemegang merek The Executive, Lee, Wood, Wrangler, Tira Jeans—itu memang terus merosot. Leo mengatakan perusahaan tak lagi berani memproduksi dalam jumlah besar lantaran sepinya permintaan domestik.
Tim pemasaran, Leo menjelaskan, bersusah-payah memberikan penawaran kepada agen-agen besar produsen pakaian dan retail agar produksi denim mereka laris seperti dulu. “Seperti tidak ada yang mau beli karena persaingan dengan yang impor sangat berat.”
Persaingan harga tekstil di pasar memang cukup besar. Sementara harga pokok produksi pabrik dibanderol Rp 10 ribu per yard, denim impor dengan kualitas serupa atau lebih bagus hanya dipatok Rp 7.000-8.000 per yard. Para pelanggan berpaling satu per satu membeli produk impor. Karena produksi menurun, manajemen harus merumahkan 50 pekerja.
Di selatan Kabupaten Bandung, tepatnya di kompleks industri Baleendah, manajemen pabrik bahan kaus juga mengurangi kapasitas produksinya secara bertahap. Dari total 380 mesin rajut yang dimiliki- perusahaan, tersisa 100 mesin yang aktif saat ini. Tak banyak pekerja yang memantau mesin-mesin itu. “Kami bertahan beroperasi cuma agar mereka kerja. Sudah susah jualan,” kata Tuti, kepala produksi rajut di pabrik itu.
Sejak akhir 2018, stok produksi pabrik ini terus menumpuk. Rata-rata dalam sehari perusahaan bisa menghasilkan 30 ton kain. Karena produk tak terserap, kapasitas produksi dipangkas maksimal 15 ton kain per hari. Meski demikian, ribuan gulungan kain putih seberat 25 kilogram masih memenuhi gudang penyimpanan seluas 24 ribu meter persegi. Tumpukannya menjulang bertingkat-tingkat. Karena gudang penuh, ratusan gulungan kain terpaksa ditaruh di area gedung lain. Sebagian kain tampak lusuh karena debu dan bekas pijakan kaki.
Pengusaha tekstil Majalaya, Deden Suwega, juga mengakui ratusan pabrik kelas kecil hingga menengah di kampungnya mulai ngos-ngosan berproduksi. Kini pemilik-pemilik pabrik kain pelapis dan sarung di Majalaya mengurangi jam operasi. “Dari biasanya tujuh hari jadi cuma empat hari kerja dalam seminggu,” kata Deden.
Menurut Deden, meskipun tak berskala besar, pabrik tekstil di Majalaya rata-rata memiliki seratus mesin tenun yang dioperasikan ratusan pekerja. Sejak puluhan tahun lalu, sebagian besar warga Majalaya menggantungkan nasibnya pada industri tekstil.
ASOSIASI Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan industri tekstil dan produk tekstil domestik memang sedang di ujung tanduk. Ketua Umum API Ade Sudrajat menyebutkan sembilan perusahaan tekstil gulung tikar sejak 2017 lantaran produknya kalah bersaing dengan barang impor dari Cina yang dihargai murah. Perusahaan yang menutup usahanya adalah pabrik pemintalan, pertenunan, dan perajutan. “Yang tutup sembilan perusahaan dengan total hampir 2.000 pekerja,” kata Ade di Menara Kadin, Jakarta, Senin, 9 September lalu.
Menurut Sekretaris Jenderal API Jawa Barat Rizal Tanzil Rakhman, serbuan produk impor dari Cina menggerus industri tekstil di sektor hulu hingga hilir. Bukan hanya bahan baku, kain dan busana impor juga terus membanjiri pasar domestik. “Ongkos produksi kita besar. Berapa pun harga pokoknya, kalah jauh dengan produk impor,” tutur Rizal.
Selain terganjal biaya impor bahan baku benang, industri dalam negeri terbebani tingkat upah pekerja yang tinggi. Apalagi industri tekstil adalah jenis usaha padat karya yang mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang. Pabrik tekstil di Jawa Barat, Rizal menambahkan, bahkan cukup sulit bersaing dengan pabrik asal Jawa Tengah karena perbedaan tingkat upah pekerja.
Belum lagi soal standar baku mutu air limbah industri tekstil yang dianggap lebih ketat dibanding industri lain. Rizal mengatakan anggota API Jawa Barat mau tak mau harus berinvestasi sekitar Rp 15 miliar untuk membuat saluran pembuangan air limbah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Jika tak mampu merogoh kocek sedalam itu, pengusaha bisa membangun saluran air limbah bersama dengan tetap mematuhi parameter yang berlaku.
Rizal membantah anggapan bahwa produk industri dalam negeri tak mampu bersaing dengan barang impor karena kalah teknologi. Di pabrik denim tempat Leo Liandra bekerja, misalnya, alat tenun yang digunakan berasal dari Belgia dan terhitung baru. Namun, dengan mesin yang canggih, ongkos produksi tekstil domestik tetap lebih tinggi lantaran adanya praktik dumping dari negara asal barang impor. “Biaya produksi mereka murah dan dapat insentif jika bisa mengekspor,” ucap Rizal.
Di industri hulu, gempuran produk impor muncul lebih dulu. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta menyebutkan impor bahan baku tekstil kini melonjak hingga 800 ribu ton per tahun dari sebelumnya hanya 300 ribu ton per tahun.
Menurut Redma, banjir impor ini adalah buntut dari ketentuan impor tekstil dan garmen yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017. Lewat peraturan ini, bukan hanya produsen yang bisa mengimpor bahan baku. Agen kecil serta industri kecil-menengah dan pedagang juga dapat langsung memesan barang impor melalui pusat logistik berikat.
Sementara itu, pemilik produsen pakaian bayi Melly Garment, Daniel Tan, mengeluhkan diskriminasi dalam kewajiban penerapan Standar Nasional Indonesia untuk produk domestik dan impor. Setidaknya terdapat 17 tahap yang mesti diurus pelaku usaha domestik untuk mendapatkan label itu. Izin wajib diperbarui setiap enam bulan. Kebijakan yang sama tidak berlaku untuk produk impor. “Ini tidak masuk akal sekali,” kata Daniel.
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia Kementerian Perdagangan menyatakan lonjakan impor garmen sangat terlihat pada produk kain tenun khusus. Angkanya meningkat dari 5.402 ton pada 2016 menjadi 7.351 ton pada 2017 dan 16.013 ton pada 2018. Dari 15 produk kain tenun khusus, impor sembilan jenis melonjak cukup tinggi.
Beragam cara efisiensi telah dilakukan perusahaan. Salah satunya membuat program zero defect atau menekan tingkat kecacatan produk agar barang laku di pasar. Namun usaha ini tak membuahkan hasil. Sementara itu, ongkos produksi terus bertambah setiap saat. “Merumahkan pekerja berarti kami menggaji orang yang tidak produktif. Ini jadi beban biaya. Belum lagi dengan tagihan-tagihan bank,” kata Leo.
Putri Adityowati, Fajar Pebrianto
Banjir Barang di Bawah Harga/TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo