Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA puluh gulungan kain yang masih mulus terhampar di halaman Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Kamis, 12 September lalu. Letaknya di tengah, terapit sepatu-sepatu yang masih baru dan pakaian bekas. Kelirnya beragam, dari merah, cokelat, hijau tua, sampai hijau pupus. Ada juga yang polos dan bermotif bunga.
Kepala Sub-Direktorat Perindustrian dan Perdagangan Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Sutarmo bercerita, saat ditemukan, gulungan kain itu sabur limbur dengan sandang apkiran, berbaur di satu kantong dengan berbal-bal pakaian bekas selundupan. “Setelah masuk satu kantong, baru ditekan,” kata Sutarmo di kantornya, Rabu, 18 September lalu.
Dari penggerebekan di tiga tempat sepanjang Juli-Agustus 2019, polisi menemukan 438 gulungan kain, melengkapi temuan 259 koli kantong berisi pakaian bekas dan 5.668 koli yang memuat 120 ribu pasang sepatu. “Ada kain bahan gorden, kain biasa, dan lain-lain,” ujar Sutarmo. Tiga tempat penggerebekan itu berlokasi di Pelabuhan Tegar atau Marunda Center Terminal; sebuah tempat di Senen, Jakarta Pusat; dan sebuah gudang di kompleks rumah dan kantor Permata Ancol, Jakarta Utara.
Kepolisian memperkirakan nilai tekstil dan pakaian bekas selundupan itu sebesar Rp 9,02 miliar dengan kerugian dari kebocoran bea masuk dan pajak mencapai Rp 4,9 miliar. Namun nilai barang dan kerugian negara berpotensi melompat. Sebab, berdasarkan pengakuan tersangka dan penelusuran sejumlah bukti, impor bisa dilakukan empat kali setiap bulan.
Impor pakaian bekas sebetulnya sudah dilarang sejak 1982. Ketika Undang-Undang Perdagangan terbit pada 2014, larangan impor itu ditegaskan. Namun gelombang pakaian bekas impor tak pernah surut.
Pada 2015, Kementerian Perdagangan menerbitkan aturan baru larangan impor pakaian bekas. Terjadi eskalasi operasi baju bekas. Belakangan, di sela-sela pakaian loak itu makin banyak terselip tekstil impor.
Pada tahun itu, Asosiasi Pertekstilan Indonesia juga mengeluhkan banjirnya tekstil ilegal. Tak lama kemudian, pada Oktober 2015, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyita tekstil impor ilegal sebanyak 3.519 gulung senilai US$ 1,28 juta atau sekitar Rp 14 miliar. “Negara juga dirugikan karena mereka tidak bayar bea masuk Rp 2,3 miliar,” tutur Presiden Joko Widodo di kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Rawamangun, Jakarta Timur, pertengahan Oktober 2015.
Saat itu industri tekstil dalam negeri berteriak. Produknya tidak bisa bersaing dengan tekstil ilegal. “Penjualan ataupun harga tekstil merosot 30-40 persen akibat praktik kejahatan ini,” ujar Jokowi. Tekstil gelap dihargai lebih murah.
Namun gelontoran tekstil impor ilegal terus mengalir. “Seperti narkoba. Kalau ketahuan, ya pada tiarap,” ucap Sutarmo. “Pemainnya juga orang-orang lama.”
Salah satu pelaku lawas itu Po Lay, yang juga dikenal dengan nama Lay Khatulistiwa. Pria 63 tahun asal Pontianak yang delapan tahun terakhir tinggal di Jakarta tersebut menyelundupkan pakaian seken, sepatu baru kelas dua, dan tekstil. Dari enam tersangka yang ditangkap kepolisian pada Juli-Agustus 2019, Po Lay adalah yang terbesar, pengimpor sekaligus penanggung jawabnya.
ALUR tekstil dan pakaian usang selundupan agak rumit. Masalahnya, kata Ajun Komisaris Besar Sutarmo, kepolisian tidak boleh merazia atau menyita pakaian bekas yang sudah ada di toko. Padahal itu langkah paling mudah. “Tokonya kami biarkan,” ujarnya.
Namun kepolisian memantau pemasok toko-toko itu sambil memetakan penyuplai besarnya. Toko-toko penyerap baju bekas tersebar di Ciledug, Cengkareng, dan Senen untuk kawasan Jakarta. Adapun tekstil kebanyakan beredar di Bandung. Dari penelusuran itulah kepolisian menemukan Po Lay, importir kakap.
Po Lay mengimpor tekstil dari Cina bersama pakaian usang, sandang baru, dan sepatu anyar. Dari Cina, barang-barang haram itu berlayar menuju Hong Kong untuk selanjutnya ke Malaysia, berlabuh di Pelabuhan Pasir Gudang, Johor.
Sesampai di ujung Semenanjung Malaya itu, selundupan menyeberang ke Pelabuhan Kuching di Sarawak, yang berada di Pulau Borneo. Barang-barang tersebut kemudian dibongkar dan dipindahkan ke truk.
Truk selanjutnya melaju ke perbatasan Malaysia-Indonesia di Jagoi Babang, kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Tujuan selanjutnya adalah Pelabuhan Dwikora di Pontianak.
Sudah ada kapal yang menunggu di sana. Salah satunya Fajar Bahari, satu dari tiga kapal yang kedapatan mengangkut smokel itu. Fajar Bahari lalu berlayar ke Jakarta dan berlabuh di Pelabuhan Tegar.
Ini jalur smokel langganan, masuk dari Malaysia, lalu merayap lewat jalan tikus di Kalimantan. Selain Jagoi Babang, ada jalur Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Pada Januari lalu, misalnya, Kantor Wilayah Bea-Cukai Kalimantan Bagian Barat meringkus dua truk yang mengangkut 58 bal pakaian loak di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Pakaian-pakaian usang itu diduga berasal dari Malaysia. Truk sedang menuju Pontianak.
Pada Oktober tahun lalu, Bea-Cukai Entikong memusnahkan 628 bal pakaian bekas seberat 10,23 ton dan 1.047 gulung kain seberat 31,41 ton. Itu hasil penindakan sejak 2009 sampai 2018. Selundupan itu masuk lewat Pos Lintas Batas Negara di Entikong dan jalur-jalur tikus di sepanjang perbatasan Sanggau-Sarawak.
Berdasarkan catatan Bea-Cukai, sepanjang 2015-2017, mereka menjaring 358 kasus penyelundupan pakaian bekas yang bercampur dengan tekstil. Temuan itu antara lain berasal dari patroli di perairan Selat Malaka, satu dari banyak jalur tikus untuk masuk ke Indonesia. Jika ditotal, selama dua tahun itu Bea-Cukai menggasak 1.477 kasus pelanggaran ekspor-impor tekstil dan garmen.
Potensi impor ilegal tekstil terlihat dari selisih data perdagangan dengan Cina, eksportir tekstil dan pakaian bekas terbesar ke Indonesia. Mengacu pada data lembaga multilateral International Trade Centre, Indonesia melapor mengimpor tekstil serta pakaian baru dan bekas senilai US$ 96,256 juta pada 2018. Namun Cina melapor mengekspor ke Indonesia senilai US$ 180,587 juta. Selisih dalam dua laporan itu ditengarai sebagai pasar impor ilegal.
Selisih serupa dilaporkan Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan pada 2015 saat menyusun laporan “Analisis Impor Pakaian Bekas”.
Pada 2014, Cina melapor mengekspor pakaian bekas ke Indonesia senilai US$ 6 juta, tapi Indonesia hanya melaporkan US$ 452. Adapun pada tahun yang sama, sepanjang Januari-Oktober, Malaysia melapor mengekspor pakaian bekas ke Indonesia senilai US$ 27 juta. Namun Indonesia melapor tidak ada impor pakaian bekas dari Malaysia sepeser pun.
Menurut Sutarmo, sementara pakaian bekas langsung masuk ke pasar dan toko pakaian, tekstil selundupan diserap toko kain dan industri garmen lokal. Dalam kasus tekstil selundupan Po Lay, kata dia, tekstil itu mengalir ke Bandung, salah satu sentra industri tekstil; dan Tanah Abang, pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. “Ke Pasar Mayestik, Jakarta Selatan, juga ada,” tuturnya. “Tapi kami belum mengungkap detail sampai ke sana.”
Khairul Anam, Yusuf Manurung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo