Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo terkesiap mendengar keluhan pebisnis tekstil mengenai produk impor yang telah menggerus pasar lokal. Apalagi saat dia tahu sejumlah pabrik tutup dan ribuan pekerja dirumahkan gara-gara ada regulasi yang dinilai terlalu membuka keran impor. Para pengusaha menyampaikan unek-unek itu di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 16 September lalu.
“Industri tekstil Tanah Air dalam keadaan darurat,” begitu paparan ringkas anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa, seperti dikutip Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Kamis, 19 September lalu. Redma menghadiri pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu. Ketua Umum APSyFI Ravi Shankar menemaninya.
Dalam pertemuan, Presiden Jokowi didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Thomas Lembong, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, serta Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo. Adapun perwakilan API yang hadir antara lain Ketua Umum Ade Sudrajat. Wakil ketua umumnya, Anne Sutanto, Iwan Lukminto, Michelle Tjokrosaputro, Hanan Supangkat, dan M. Maniwanen, juga hadir bersama beberapa anggotanya.
Musim Rontok Industri Sandang/TEMPO/Prima Mulia
Di Istana, Redma menyampaikan dua poin utama yang sejalan dengan unek-unek pembicara sebelumnya. APSyFI meminta pemerintah menyetop impor tekstil sampai ada revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017. Peraturan ini dinilai sebagai biang kerok membanjirnya tekstil luar negeri. Melalui aturan ini, pemerintah membuka keran impor sekaligus mengizinkan penjualan ke pasar lokal.
Peraturan itu lahir menggantikan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 85 Tahun 2015, yang hanya membolehkan impor oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, bukan untuk diperjualbelikan. Yang masuk kategori ini adalah pemegang Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). Menurut Redma, hujan barang impor mereda ketika ketentuan ini berlaku. Pabrik-pabrik mulai meningkatkan kapasitas.
Masalah muncul setelah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 85 Tahun 2015 direvisi. Pemerintah beralasan industri kecil-menengah berteriak mengalami kesulitan bahan baku. Kelompok usaha ini tak bisa langsung mengimpor karena ukuran perusahaan terlalu kecil. Adapun pemerintah melarang mekanisme impor borongan—berbagai komoditas dalam satu kontainer—yang sebelumnya digunakan. Maka pemegang Angka Pengenal Importir Umum (API-U) memperoleh izin impor sekaligus berjualan bahan baku.
Redma menilai tujuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 mengakomodasi industri kecil-menengah hanya alasan pedagang yang selama ini menikmati untung melalui impor borongan. Kelompok pedagang inilah yang disinyalir mengguyur pasar lokal dengan produk impor. Berbekal dokumen purchase order dari industri, mereka memohon izin impor dalam jumlah besar. “Siapa yang menjamin pesanan pembelian itu tidak dimanipulasi,” ujar Redma.
Maka APSyFI meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut. Sembari menunggu hasil evaluasi, pemerintah diminta mengeluarkan impor tekstil dan garmen dari pusat logistik berikat (PLB).
PLB adalah tempat penyimpanan barang asal luar daerah pabean atau dari tempat lain di dalam area pabean. PLB dibentuk berdasarkan regulasi Menteri Keuangan. Tekstil dan produk tekstil yang didatangkan importir API-U harus melewati PLB.
Pemerintah juga mempermudah importir dengan menggeser pengawasan barang yang terkena ketentuan larangan dan pembatasan dari border ke post-border. Kebijakan yang berlaku mulai 1 Februari 2018 ini diatur melalui peraturan Menteri Perdagangan.
Berbagai fasilitas itu sebenarnya diluncurkan untuk mempercepat waktu bongkar-muat barang ekspor-impor di pelabuh-an (dwelling time). Tujuannya antara lain menurunkan biaya logistik agar produk Indonesia kompetitif. Presiden Jokowi sempat marah karena angka dwelling time di Indonesia lebih dari empat hari, sementara di negara lain hanya sehari.
Tapi banyak produsen tekstil mengeluhkan kawasan PLB yang diduga menjadi sumber membanjirnya barang impor. Bahkan praktik menurunkan harga dan volume marak terjadi. Pada 2018, misalnya, praktik penurunan harga mencapai 73 persen. Itu berarti barang impor yang melalui PLB hanya membayar pajak tak sampai 30 persen di pelabuhan. Pendapatan negara yang hilang dari pajak impor di PLB ditaksir sekitar Rp 456,34 miliar.
Sejumlah kalangan mengkonfirmasi kabar adanya penyimpangan di kawasan PLB. “Betul,” kata Benny Soetrisno, anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional. Tapi mantan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia yang juga pendiri pabrik tekstil itu enggan memberikan penjelasan lebih lanjut.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga menemukan akal-akalan para pemain impor umum. Tim Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan telah melakukan pengecekan secara acak, terutama terhadap importir yang meminta kuota besar. Hasilnya: tim menemukan sejumlah industri kecil-menengah (IKM) fiktif yang disebut bekerja sama dengan importir API-U.
“Ada IKM tekstil betulan, tapi tak sedikit yang palsu. Bahkan pedagang bakso juga dimasukkan,” kata Enggar, Jumat, 20 September lalu. Tim menelusuri lebih lanjut. Ternyata barang impor itu dijual ke pasar.
Penyalahgunaan jalur PLB tersebut membuat Enggar tak menindaklanjuti semua permohonan impor pemegang API-U tujuh bulan terakhir. Ia memastikan impor oleh pemegang API-U kosong karena tak ada izin yang terbit. Artinya, barang yang membanjiri pasar lokal saat ini berasal dari izin API-P atau fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor. Kedua fasilitas itu mendapat rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian. Perizinan diproses secara online dan izin otomatis keluar dari Kementerian Perdagangan. Tujuannya: memperlancar arus bahan baku untuk pabrik.
Menurut Enggar, ada yang mengaku sebagai produsen mengajukan permohonan impor tekstil dalam jumlah besar. “Setelah diverifikasi, kapasitas produksi hanya 1.000, tapi minta kuota 5.000.”
Kalangan produsen industri tekstil menduga importir pemegang API-U bersalin baju menjadi pemegang API-P. Kelompok produsen abal-abal ini hanya memiliki beberapa unit mesin jahit dan pekerja, tapi meminta kuota impor dalam jumlah besar. Sisa barang yang tak terserap industri kecil-menengah disinyalir bocor ke pasar lokal. Padahal, menurut Redma, tak sulit bagi pemerintah untuk memverifikasinya. “Bisa dicek tagihan listriknya, pembayaran BPJS-nya.”
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan rekomendasi impor yang dikeluarkannya sesuai dengan kebutuhan industri nasional serta kapasitas peralatan untuk produksi dalam negeri dan ekspor. “Tidak mungkin berlebih dan tidak boleh dijual ke lain perusahaan,” ujarnya.
Achmad tak yakin ada importir abal-abal yang banyak disebut-sebut oleh pelaku sektor tekstil. “Tidak mungkin karena disurvei oleh surveyor independen.”
setkab.go.id
BELUM juga meninggalkan kompleks Istana Kepresidenan, pengurus pusat Asosiasi Pertekstilan Indonesia mencak-mencak. Wakil Ketua Umum API Anne Sutanto sampai mengeluarkan kalimat pedas berintonasi tinggi. “Kalian pengkhianat,” ujarnya, seperti ditirukan seorang pejabat yang mengetahui peristiwa itu. Sasarannya adalah Jemmy Kartiwa dan Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta. Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, keduanya dinilai telah menyampaikan sesuatu di luar kesepakatan.
Sehari sebelum pertemuan di Istana, para pelaku industri tekstil berkonsolidasi. Mereka membahas poin-poin yang akan disampaikan kepada Jokowi. Seorang pebisnis bercerita, dalam pertemuan itu, Anne meminta pusat logistik berikat tidak menjadi poin yang akan disampaikan.
Ditemui pada Kamis, 19 September lalu, Anne mengaku menegur anggotanya. “Saya marah karena enggak suka main drama. Ngapain ngomongin sesuatu yang sedang diproses pemerintah,” katanya. Ia menjelaskan, regulasi yang dinilai membuat industri ini tersendat, seperti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017, sedang dalam proses revisi sesuai dengan usul Asosiasi. “Jangan malah seolah-olah kita yang minta diganti. Itu yang kami tidak setuju.”
Adapun Redma diprotes Anne lantaran meminta Presiden mengeluarkan impor tekstil dari kawasan PLB. Menurut Anne, aktivitas importasi di PLB adalah lingkup industri tekstil sisi hilir, yang merupakan bagian dari API. Sedangkan APSyFI mengurus sisi hulu. “Buat apa APSyFI mengurusi hilir?” kata Anne.
Menurut Anne, sebenarnya tidak ada masalah dengan fasilitas post-border dan PLB karena aturannya jelas. Persoalan muncul karena ada “penumpang” yang memanfaatkan. “Ini yang harus dimonitor, dikontrol, dan dieliminasi,” ucapnya. Ia menambahkan, API telah menyampaikan hal ini kepada pemerintah. Kementerian pun berjanji menindaklanjutinya. “Sudah ada komitmen waktunya. Akan ada pidana tegas terhadap free rider.”
Anne menambahkan, impor yang masuk melalui PLB pun tidak banyak, 2-4 persen dari total impor tekstil nasional. Tidak semua importir di PLB penumpang gelap. Ke depan, API akan terus memperbarui data kebutuhan dan kapasitas industri tekstil hulu-hilir. Dengan begitu, Kementerian Perindustrian bisa menghitung lebih akurat volume impor riil yang diperlukan.
Adapun mengenai praktik penyimpangan, seperti menurunkan harga, akan dilawan dengan kebijakan safe guard. Ketua Umum API Ade Sudrajat mengatakan Asosiasi telah mengusulkannya kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia dua pekan lalu. “Sudah ada pengumuman dimulainya penyelidikan dan penyidikan, yang akan diumumkan ke luar negeri. Selanjutnya menanti sanggahan dari negara-negara yang keberatan.”
Toh, kode darurat SOS industri tekstil Tanah Air yang disampaikan salah satu anggota API telah mencuri perhatian Presiden. Jokowi tak menyangka pembukaan pintu impor yang dimaksudkan untuk memperlancar pasokan bahan baku malah menyusutkan kinerja industri tekstil. Ia mencatat pertumbuhan ekspor tekstil dan produk tekstil turun 0,6 persen pada kuartal II 2019 dibanding periode yang sama tahun lalu.
Pangsa pasar Indonesia di dunia pun cuma 1,6 persen, di bawah Vietnam (4,59 persen) dan Bangladesh (4,72 persen). Adapun Cina menguasai 31,8 persen. “Ini disebabkan oleh tingginya biaya produksi lokal, fasilitas dan kebijakan dagang yang berpihak pada impor, dan kurangnya perencanaan jangka panjang, yang berdampak pada minimnya investasi,” kata Jokowi.
Direktur Jenderal Bea-Cukai Heru Pambudi berjanji menindaklanjuti arahan Presiden. “Kalau memang ada yang melanggar, kami lakukan penindakan,” tuturnya.
RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo