Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Ogah Ikut Tarif Baru, GIPI Imbau Pengusaha Bayar Pajak Hiburan Pakai Tarif Lama

DPP GIPI menghimbau pengusaha hiburan bayar pajak hiburan pakai tarif lama kendati tarif sudah naik 40%.

9 Februari 2024 | 14.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani mengatakan akan menghimbau anggotanya untuk membayar pajak hiburan dengan tarif lama kendati sejumlah pemerintah daerah telah mengeluarkan tarif baru yang naik signifikan. Menurut Hariyadi, Dewan Pengurus Pusat (DPP GIPI) bakal segera mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait himbauan tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hariyadi mengatakan pengusaha akan tetap membayar pajak dengan tarif lama sembari menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi. DPP GIPI sebelumnya telah mengajukan uji materi atau judicial review (JR) Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) yang menjadi acuan pemerintah daerah menaikkan pajak hiburan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 7 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“SE DPP GIPI intinya menyampaikan sikap bahwa selama menunggu putusan uji materi dari MK, maka pengusaha jasa hiburan karaoke, mandi uap/spa, kelab malam, diskotek, dan bar, membayar pajak hiburan dengan tarif lama,” ujar Hariyadi ketika dihubungi Tempo, Jumat, 9 Februari 2024. 

Sebelumnya, Hariyadi mengatakan DPP telah mengajukan uji materi UU HKPD pasal 58 ayat 2 berkaitan dengan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas lima jasa hiburan, yakni diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Isi pasal tersebut menyebutkan bahwa khusus tarif pajak hiburan atas lima jasa tersebut ditetapkan pajak paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen. 

“Gugatan kami khususnya meminta dan memohon kepada MK untuk membatalkan Pasal 58 Ayat 2, yang mana kita ketahui bahwa pasal tersebut mengandung diskriminasi antara lima jasa hiburan,” kata Hariyadi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 7 Februari 2024. 

Haryadi berharap hasil pengujian materil ini dapat mencabut pasal dimaksud, sehingga penetapan PBJT yang termasuk dalam jasa kesenian dan hiburan adalah sama, yaitu antara 0 hingga 10 persen.

“Karena kalau ini nanti mereka itu membayar sesuai dengan tarif yang baru, dapat dipastikan mereka pasti akan mengalami kesulitan, bahkan nanti bisa berhenti operasi,” tuturnya.

Lebih lanjut, Hariyadi menyebut penerapan kebijakan itu akan berdampak signifikan terhadap sektor pariwisata. Usaha hiburan akan kehilangan konsumen dan berakhir pada penutupan usaha, serta banyaknya pekerja yang akan kehilangan pekerjaannya. 

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah akan meminta sejumlah kepada daerah buat memberikan insentif pajak hiburan terkait polemik kenaikan pajak hiburan tersebut. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno juga merekomendasikan para kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal untuk meringankan pajak hiburan tertentu paling lambat pertengahan Februari 2024.

Sandiaga juga mengajak pemerintah daerah (pemda) untuk menahan diri menerapkan tarif pajak hiburna yang baru, sambil menunggu hasil uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Sejumlah daerah diketahui sudah menaikkan tarif pajak hiburan menjadi minimal 40 persen. Di antaranya DKI Jakarta dan Kabupaten Badung (Bali). 

DEFARA DHANYA PARAMITHA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus