Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 11 perusahaan penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum. Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, menyebut sejumlah perusahaan itu belum mengantongi modal sebesar Rp 7,5 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dari 11 penyelenggara P2P lending tersebut, 5 penyelenggara sedang dalam proses analisis atas permohonan peningkatan modal disetor,” kata Agusman dalam keterangan resmi, dikutip Jumat, 7 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OJK, lanjut dia, terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan progress action plan upaya pemenuhan kewajiban ekuitas minimum dimaksud. “Berupa injeksi modal dari pemegang saham, maupun dari strategic investor lokal/asing yang kredibel, termasuk pengembalian izin usaha,” ujarnya.
Aturan mengenai permodalan atau ekuitas minimum penyelenggara fintech lending tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022. Dalam POJK yang terbit pada 29 Juni 2022 itu, ketentuan ekuitas minimum diatur dalam Pasal 50. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap penyelenggara pinjaman daring setiap saat wajib memiliki ekuitas setidaknya Rp 12,5 miliar.
Namun, aturan mengenai ekuitas minimum ini diberlakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama berlaku satu tahun setelah aturan ditetapkan, yakni pada 29 Juni 2023. Pada tahap itu, setiap penyelenggara fintech lending harus memiliki ekuitas Rp 2,5 miliar.
Untuk tahap kedua, kewajiban ekuitas minimum diberlakukan dua tahun setelah POJK ditetapkan, yakni pada 29 Juni 2024. Pada tahap kedua, penyelenggara fintech lending wajib memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp 7,5 miliar.
Sementara pada tahap ketiga, aturan berlaku tiga tahun sejak POJK digulirkan, yaitu pada 29 Juni 2025 mendatang. Artinya, mulai tahun ini nilai ekuitas minimum setiap penyelenggara fintech harus sebesar Rp 12,5 miliar.
Menyitir POJK 10/2022, penyelenggara fintech lending yang melanggar ketentuan Pasal 50 akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin.
Sementara itu, Agusman menyampaikan OJK telah menjatuhkan sanksi administratif terhadap 32 perusahaan fintech lending. Sanksi diberikan lantaran adanya pelanggaran terhadap POJK yang berlaku dan berdasarkan hasil pengawasan atau tindak lanjut pemeriksaan.
OJK mengharapkan upaya penegakan kepatuhan dan pengenaan sanksi tersebut dapat mendorong pelaku industri sektor PVML meningkatkan aspek tata kelola yang baik, kehati-hatian, dan pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Sehingga, lanjut dia, pada akhirnya dapat berkinerja lebih baik dan berkontribusi secara optimal.
Diketahui, nilai outstanding pembiayaan industri fintech lending pada Januari 2025 tercatat mencapai Rp 78,50 triliun. Angka ini tumbuh 29,94 persen secara tahunan. Pada Januari 2024 lalu, outstanding pembiayaan fintech lending sebesar Rp 60,42 triliun.
OJK menyampaikan tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) berada di posisi 2,52 persen. Angka ini menurun dari bulan sebelumnya, yakni Desember 2024 sebesar 2,60 persen.
Adapun TWP90 merujuk pada tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban yang tertera dalam perjanjian pendanaan di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. OJK sendiri menetapkan batas TWP90 yang dapat ditoleransi di sektor fintech lending maksimal 5 persen.