Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ombudsman Investigasi Kasus Pagar Laut: Pelaku Bukan Orang Biasa

Anggota Ombudsman Bidang Kemaritiman dan Investigasi Hery Susanto mengatakan lembaganya melakukan investigasi kasus pagar laut di perairan Tangerang.

21 Januari 2025 | 19.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto. Anggota Ombudsman Bidang Kemaritiman dan Investigasi Hery Susanto mengatakan lembaganya melakukan investigasi kasus pagar laut di perairan Tangerang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman Bidang Kemaritiman dan Investigasi Hery Susanto mengatakan pihaknya telah melakukan investigasi mandiri dalam kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten. Ia mengaku tidak bisa mengungkap penemuannya lantaran kasus tersebut masih harus di-private.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tidak tanggung-tanggung sih yang terlibat di dalam kasus ini. Nantilah ada topik yang berikutnya,” ucap Hery dalam konferensi pers proyeksi 2025, di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hery tidak menjelaskan lebih lanjut soal apa yang dimaksud dengan tak tanggung-tanggung. Ia hanya mengatakan bahwa kasus ini bukan kasus biasa. Ia mengumpamakan perbuatan para pelaku itu seperti pagar makan tanaman. “Dulunya pagar makan tanaman, masuk hutan, sampai-sampai konflik dengan satwa, dengan harimau, dengan gajah, dengan babi, hutan dan lain-lain,” ucapnya. “Sekarang konflik dengan nelayan, termasuk ikan-ikan dan kepiting.Nanti mungkin akan hijrah kemana lagi. Karena luas perairan kita semakin terancam,” ucap dia menambahkan.

Ia mengatakan apa yang dilakukannya sudah cukup membuktikan bahwa pemagaran laut tersebut ilegal dan tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Saat ini, Hery mengaku tengah menunggu langkah selanjutnya dari Kementerian KKP usai menyegel bilah-bilah bambu itu. Tak hanya itu, Hery juga mengaku menemukan pola yang sama dari pemagaran laut di Tangerang dan Bekasi. Bahkan, dia berujar, kasus serupa juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

“Karena tersistem ini, sepertinya polanya itu. Tidak saja terjadi di Jawa, tapi juga dari Sabang sampai Merauke dengan keberagaman peruntukan, baik untuk permukiman, bisnis wisata, bisnis tambang, bisnis pelabuhan komoditi pertanian, Perkebunan bahkan pertambangan,” tuturnya menjelaskan. 

Perihal penerbitan Hak Guna Bangunan dan Surat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hery berkomentar hal tersebut terjadi karena buruknya kerja sama antar instansi dan masih ada ego sektoral. 

“Misalnya ATR/BPN ini ada satu pendekatan yang konon katanya dulunya darat tapi karena terjadi abrasi lalu menjadi laut. Sementara di sisi lain ada kementerian KKP yang mainstreamnya adalah menjaga kelautan dan perikanan nasional ini juga punya ranah kebijakan di sektor perikanan laut,” tutur Hery.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa pemberian HGB dan SHM seluas 30 hektare di laut merupakan sebuah pelanggaran. Menurutnya, izin usaha itu memang bisa diberikan di wilayah perairan, hanya tidak sampai seluas itu, dan tidak boleh menggunakan SHM. 

“Kalau untuk perusahaan itu seharusnya pakai Sertifikat Hak Guna Bangunan atau Sertifikat Hak Guna Usaha,” ujar dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus