INI bukan OPEC, organisasi negara pengekspor minyak mentah,
yang dalam sidangnya di Jenewa pekan lalu membekukan harga
minyak dan kuota produksi mereka. Tapi OPIC (Overseas Private
Investment Corp.), korporasi semipemerintah di AS. Tugasnya
adalah membantu para pengusaha AS menanam modal di luar negeri.
Terdiri dari 23 pengusaha Amerika, OPIC mengakhiri misinya
selama sepekan di Jakarta, Jumat pekan lalu.
Hasilnya memang tidak spektakuler. Mereka baru menjajaki
kemungkinan investasi di Indonesia. Tapi yang menarik adalah:
tak kurang dari tiga menteri - yakni Ali Wardhana, J.B.
Sumarlin, dan B.J. Habibie - serta ketua BKPM Suhartoyo, silih
berganti menerima mereka. Delegasi besar OPIC juga bertemu
dengan tak kurang dari 65 pengusaha Indonesia.
Toh ada yang menaruh minat besar untuk membuka usaha patungan di
Indonesia. Agaknya, sudah ada studi tentang itu. Seperti kata
Craig A. Nalen, presiden OPIC, yang mengetuai delegasi itu,
"Beberapa dari kami tahun depan akan datang lagi untuk
melanjutkan rencana penanaman modal di sini." Orang-orang OPIC
yang punya minat besar itu, menurut Craig, sudah pula menemukan
rekanan di sini dan memang sudah merencanakan membuka usaha
patungan.
PT Santi Bakti, misalnya, akan menjadi rekanan Babcox and
Wilcox, swasta AS pembuat komponen ketel uap dan listrik. Lalu
perusahaan Stratagraph, yang sudah menandatangani kontrak kerja
sama dengan PT Gondwana untuk mendirikan perusahaan leasing.
Dan Chemtex Fibers, yang berminat mendirikan pabrik kertas
terintegrasi di Sumatera Selatan dan Kalimantan.
Sebagian besar dari anggota misi OPIC itu memang bukan muka
baru, tapi yang juga hadir ketika misi OPIC pertama datang ke
mari, tahun 1979. Dibandingkan dengan gerak perusahaan Jepang,
tak heran kalau ada yang beranggapan bahwa gerak mereka agak
lamban. Sejak PMA dibuka tahun 1967, perusahaan AS yang
beroperasi di Indonesia - yang dirintis Freeport Indonesia -
hanya 73. Dalam dua tahun ini, jumlah itu tak banyak berubah.
Dari seluruh investasi (di luar minyak) yang disetujui BKPM
sejak 1967 hingga 1982 yang berjumlah US$ 11,79 milyar porsi
mereka hanya 5,6%. Jauh di bawah Jepang yang 37%, atau Hong Kong
yang 10%. Pada tahun-tahun terakhir, sebelum kunjungan
kenegaraan Presiden Soeharto ke AS, Oktober tahun lalu,
investasi baru pun hanya satu-dua, merosot dari empat proyek
yang disetujui tahun 1979 dan enam proyek pada 1980.
Itulah sebabnya, ketika bertemu dengan Presiden Ronald Reagan di
Washington, Presiden Soeharto sempat mengimbau kepala negara AS
itu agar mendorong perusahaan swastanya menanam modal di
Indonesia. Kebetulan, AS memang punya alat untuk itu, yakni
OPIC, yang antara lain bertugas menjamin dengan asuransi dan
bantuan modal para pengusaha AS yang bermmat dagang, terutama di
dunia ketiga. Tahun lalu pemerintah AS menyediakan dana asuransi
US$ 3 milyar danmemberikan pinjaman US$ 100 juta lebih lewat
OPIC.
Khusus buat Indonesia, kata Nalen, OPIC "bersiap selama 11
bulan." Sesudah berusaha menyeleksi, OPIC akhirnya memilih 23
pengusaha yang mewakili hampir semua kegiatan yang
diprioritaskan Indonesia, yakni sektor industri, agribisnis, dan
keuangan.
Apa pendapat mereka setelah bertemu dengan pejabat dan pengusaha
Indonesia? "Saya sudah memutuskan akan pindah dan bermukim di
sini," kata Martin Washburn pemilik perusahaan pembersih dan
pembuka areal pertanian Washburn Development Corporation dari
Florida. Dia berminat memperkenalkan sistem baru untuk membantu
percepatan pembukaan serta penyuburan lahan pertaman dan
transmigrasl, dengan alatnya, mesin traktor 34 ton seharga Rp
300 juta. April tahun depan, dia akan datang lagi dengan mesin
itu dan rencana untuk pembangunan pabrik baru di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini