SUATU hari di pertengahan Agustus, dua orang perempuan
tergopoh-gopoh menuju loket pegadaian di Kantor Pegadaian
Ngupasan, Yogyakarta. Jam sudah menunjuk 12.30. Mereka langsung
membuka tas lalu mengeluarkan tape recorderd. Ternyata tak
diterima pegawai pegadaian karena tak ada kwitansinya. Juga
arloji yang dibawanya terpaksa gagal digadaikan karena sebab
yang sama.
Akhirnya dikeluarkannya harapannya terakhir: kalung emas
berbentuk balok, berat 20 gram. "Hanya bisa Rp 56 ribu," kata
petugas loket. Perempuan itu setuju, dan secarik kertas cepat
diterimanya untuk ditukar uang di loket sebelah.
Perempuan tersebut mungkin merupakan satu kekecualian. Mungkin
dia terpaksa. "Agak jarang yang menggadaikan emas sekarang.
Justru banyak yang menebus emas gadaiannya. Yang ramai orang
menggadaikan kain," kata pegawai pegadaian terbesar di
Yogyakarta itu.
Begitu pula di Medan. Kepada TEMPO seorang pegawai pegadaian
Medan mengatakan: "Ada semacam gerakan beramai-ramai menebus
barang." Dan yang disebut barang di situ tak lain dan tak bukan
hanyalah logam mulia saja, yang pekan lalu bertahan Rp 6.250 per
gram di Medan. Sedang emas 24 karat, pertengahan Agustus lalu
mencapai Rp 6.150 segram.
Itulah kenapa kini pegadaian di daerah Justru menantang orang
untuk datang, tak lagi membatasi nilai gadai, apalagi
mengembalikan yang hendak menggadaikan karena pegadaian
kehabisan uang. "Pokoknya kita siap. Silakan yang kesulitan uang
datang ke mari," tantang seorang pegawai pegadaian negara di
Padang.
Kain, Pacul
Memang hal itu bukan hanya disebabkan banyak orang yang menebus
gadai emasnya saja. Droping uang dari pemerintah Agustus ini
juga menyebabkan pegadaian kini tak menolak orang.
Tapi agaknya -- pegadaian di daerah lain dengan yang di pusat.
Di Jakarta sejak pertengahan Juli sampai akhir Juli pegadaian
menurunkan batas maksimum gadai. Setelah ada droping uang, batas
itu dinaikkan lagi sampai Rp 100 ribu.
Di Yogyakarta, seorang pegawai pegadaian justru bingung ketika
ditanya soal batas maksimum ini. "Apa itu batas maksimum?"
tanyanya. Diceritakannya, beberapa hari yang lalu ada orang
menggadaikan emas mencapai nilai Rp 200 ribu. Tapi memang nilai
itu dicapai tidak dengan satu barang saja. "Ada enam kwitansi,"
lanjut pegawai itu. Dan menurut pegawai tersebut, selama ini
memang belum ada yang menggadaikan satu barang mencapai Rp 100
ribu. "Karena biasanya memang tak ada barang-barang besar yang
dibawa ke gadai."
Seperti halnya di pegadaian Kecamatan Cilamaya, Karawang, di
daerah umumnya barang yang digadaikan tak begitu mencapai nilai
tinggi. Bagaimana bisa mencapai nilai tinggi, apabila yang
digadaikan hanya berupa kain, barang pecah-belah atau pacul.
Jelasnya, mereka yang terpaksa pergi ke pegadaian adalah rakyat
kecil yang memang tak menyimpan barang mahal. Bahkan di
Pekalongan sempat dicatat pembantu TEMPO di kota itu, sering
orang menebus barang keliru kepunyaan orang lain. Sebabnya,
pemilik barang dari desa mnder pergi ke pegadaian dan menyuruh
orang lain yang kebetulan buta huruf.
Begitu pun di Yogyakarta. Hanya orang-orang kecil saja yang
pergi ke pegadaian. Padahal, "bunganya yang kecil sangat
menguntungkan," tutur seorang pegawai pegadaian. Dan "kantor
pegadaian di sini 'kan bersih-bersih, kayak bank saja," tambah
pegawai itu.
Lalu ke mana mereka yang malu itu kalau membutuhkan uang? Tentu
saja ke pegadaian swasta atau bahkan ke rentenir. Di pegadaian
swasta syarat-syarat memang lebih gampang. Tapi seperti Lestari
Mulyo di Yogyakarta -- resminya ini koperasi tapi bergerak di
bidang gadai-menggadai -- bunganya mencapai 10% sebulan. Tiap
hari bisa dilihat orang antri untuk menggadaikan barangnya. "Di
sini gampang. Tidak ditanya kwitansi atau surat keterangan
segala," kata seorang ibu yang sedang antri.
Rupanya, terutama untuk pegadaian daerah, droping uang memang
menolong. Pegadaian tak lagi menolak orang dan calo-calo yang
biasanya berkeliaran di halaman rumah gadai tak lagi mendapat
pasaran. Tapi ngomong-ngomong berapa sih besar droping menjelang
lebaran ini? "Sekarang baru Rp 125 juta, pak," bisik seorang
pegawai pegadaian di Medan.
Tapi yang agaknya amat menarik adalah pegadaian di Banjarmasin.
Berbeda dengan banyak jawatan pegadaian lainnya, Botutihehe,
kepala kantor cabang jawatan pegadaian Banjarmasin, merasa uang
di kasnya cukup melimpah sekalipun sebelum ada droping.
Kepada koresponden TEMPO di sana, Botutihehe menjelaskan, tak
banyak peminjam yang bersifat konsumtif. Lalu? "Ya kebanyakan
peminjam malah menggadaikan barangnya untuk tujuan produktif,"
katanya. Belum dijelaskan kenapa para pengusaha kecil itu tak
pergi meminta KIK saja. Kalau benar demikian, mungkin prosedur
yang tak berbelit-belit di pegadaian itulah yang merangsang
orang untuk mencari modal ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini