Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masih Cerita Yang Dulu Juga

Arus penumpang pulang lebaran dari tahun ini meningkat. Pemerintah mengusahakan peningkatan kapasitas angkutan, karena pemakai lebih banyak akibatnya tidak semua terangkut dan calo-calo panen. (nas)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Hamid, 23 tahun, berlebaran dengan keluarga tahun ini mempunyai arti tersendiri. "Sudah lima tahun saya tak pulang. Bagaimana kalau gaji sebulan cuma Rp 30 ribu ?" katanya. Hamid, karyawan Bank Pasar Jakarta Utara, orang tuanya tinggal di Wawo. Satu kota kecamatan di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Awal Agustus diterimanya surat. Isinya menyatakan mereka kangen. Bagi Fauzi, 22 tahun, pemuda asal Batang, Jawa tengah yang sehari-hari di Jakarta menjadi loper koran, kapan pun berlebaran dengan keluarga sama saja. Soalnya tiap tahun ia pulang. Pertama, karena rezekinya sehari Rp 2000 memungkinkan untuk itu. Kedua, karena banyak orang mudik lebaran, di Jakarta dianggapnya sepi. Tapi, apa komentar Sahudi, pemuda asal Bangkalan, Madura, yang satu kereta bersama Hamid dan Fauzi pulang lebaran pekan lalu? "Saya terpaksa pulang karena bekal habis," katanya kepada Aris Amiris dari TEMPO yang juga sekereta. Menurut Sahudi, ia sudah 5 bulan nganggur. Semula ia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan di kapal. Lima bulan menunggu tak kunjung ada panggilan. Bekal pun habis. Itu sebabnya dia pulang. Menurut perkiraan, arus penumpang yang pulang lebaran dari Jakarta tahun ini bakal lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Ini bukan hanya tergambar dari jumlah penumpang KA Gaya Baru Malam yang ditumpangi ketiga orang tadi yang kebetulan berjubel. Tapi lantaran beberapa hal. Pertama lantaran kecenderungan orang-orang daerah sendiri yang di Jakarta kebetulan terbilang perantauan. Kedua, karena anak-anak sekolah baru libur pada hari-hari terakhir bulan puasa. Terakhir, disebut-sebut juga adanya kabar kaum transmigran yang sukses dalam usaha pertaniannya. Dan kaum transmigran dari Lampung misalnya biasanya hanya naik feri atau kapal sampai di Merak dan Tanjung Priok. Mau tahu angkanya? Yang persis tentu saja tak bisa dikarang-karang pada hari-hari sebelumnya. Namun berdasar pengalaman penumpang kereta api bisa lebih dari 500 ribu orang sementara penumpang bis bisa dua kali dari itu. Baik Kepala PJKA Eksploitasi Barat ir Soetarno yang mengurus soal kereta api maupun Kepala DLLAJR DKI F. Suwarto MSc merasa yakin tak akan ada masalah. Hanya, menurut kedua pejabat tersebut, masyarakat perlu menaati peraturan yang ada. Maksudnya tak salah lagi, janganlah misalnya karena mentang-mentang punya duit lumayan berusaha membeli karcis dari calo. Sebab hal demikian justru memberi kesempatan pada calo-calo tersebut untuk terus beraksi. Harap maklum, itu tak berarti celah-celah untuk munculnya calo tak ditutup. Lihat saja. Di setiap stasiun sejak dulu sudah ada pamflet sindiran: Tak mungkin ada calo kalau tak ada pembelinya. Bahkan, untuk menunjukkan kesungguhan ingin memberi pelayanan yang baik masih juga ada pengumuman yang mengatakan, bagi setiap orang yang bisa menangkap calo dan menyerahkannya kepada kepala stasiun akan diberi karcis cuma-cuma ke manapun orang itu akan peri. BELUM lagi usaha PJKA buat pelayanan kereta api dan DLLAJR untuk angkutan bis yang membatasi jumlah tempat penjualan karcis. Karcis kereta api maupun bis-bis kelas tertentu selama ini diedarkan juga lewat sejumlah agen. Khusus dalam hubungan kesibukan lebaran agen-agen tersebut tak diberi jatah lagi. Masalahnya memang tak sampai di situ. Apa boleh buat. Pemerintah sudah mengusahakan peningkatan kapasitas angkutan sejak Pelita I. Itu kata Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin. Sejauh itu penambahan calon pemakai jasa sektor ini lebih menggebu, seperti kata Menteri pula. Akibatnya bisa diduga: penumpang pasti terangkut, meskipun tak semua. Dan masyarakat tampaknya menyadari hal ini. Hamid tadi misalnya, khawatir tak bisa jadi pulang, sudah datang ke stasiun Pasar Senen agak pagi. Yang pasti, karena kebetulan kerumunan manusia di altar stasiun itu bukan main banyaknya. Dia pun terpaksa antri berdesak-desakan. Padahal karcis untuk kereta yang bakal ditumpanginya baru dijual pukul 4 sore. Dan Hamid berhasil mendapat satu di antara 560 tempat duduk dalam rangkaian 8 gerbong KA Gaya Baru Malam. Tapi tak demikian halnya sejumlah orang yang lain. Tak heran sejumlah orang pun kemudian memerlukan buka baju di kereta karena kegerahan akibat kelewat banyaknya penumpang, ada pula yang karena letih dan capek menggelar tikar di lorong-lorong kereta tadi. Yang menarik adalah seorang bernama Ahmad. Lelaki 36 tahun ini rupanya terbilang cerdik. Buktinya ia berhasil mengambil oper satu kamar yang meski cuma berukuran 80 x 80 cm dan terletak persis depan WC tapi kamar itu sebenarnya merupakan tempat istirahat bagi kondektur. Caranya? "Seorang calo menawarkan tempat ini Rp 500 dan karcis ke Semarang Rp 1800," katanya. Adalah seorang berbaju kuning dengan celana warna coklat. Orang ini datang kebetulan kepada Aris Amiris dari TEMPO menawarkan karcis untuk jurusan Surabaya seharga Rp 3.250 (harga resmi Rp 2.650). Dari omong-omong dengan calo yang satu ini diketahuilah keuntungan mereka dibagi-bagi kepada sejumlah orang. "Saya harus berbagi dengan orang dalam, jatah saya sendiri cuma Rp 200," katanya. Lebih dari itu, percaloan terpaut dengan ulah orang dalam, bisa diketahui dari seragam yang dikenakan calo yang bersangkutan. Sepanjang yang nampak calo-calo itu pakaiannya sama: di atas kuning, di bawah coklat. Itu adalah seragam orang PJKA dengan status kuli. Percaloan, dari dulu sampai sekarang memang tak hanya terdapat di lingkungan perkereta-apian. Di terminal bis Pulogadung sedikitnya terdapat sekitar 70 calo yang sehari-hari suka memburu setiap calon penumpang. Di Jawa Timur malah tampil secara gagah dengan satu organisasi bernama Massa Tiga-Tiga. Organisasi ini diakui resmi baik oleh pimpinan terminal bis maupun oleh para pengusaha bis sendiri. Dan, di balik semua itu, para calo bis ini pun acap kali terdengar memang kurang ajar. Setidaknya sejumlah calo yang biasa berkeliaran di terminal bis Semarang. ADA dua bis Saptana masing-masing bernomor polisi B 7040 EF dan B 7041 EF. Kedua bis ini, 5 Juli lalu, beriringan masing-masing menuju Yogyakarta dan Solo. Sampai di terminal Semarang ternyata berhenti. Ada apa? Semua penumpang disuruh turun. Perjalanan mereka selanjutnya katanya harus dengan bis lain yang ternyata bukan dicarikan oleh kondektur bis tadi, melainkan oleh calo. Penumpang, sekalipun pada mulanya protes, akhirnya tunduk juga pindah ke bis lain. Tapi, celakanya, penumpang ke Solo misalnya, di tengah perjalanan diminta uang lagi masing-masing Rp 700: seharga karcis Semarang-Solo. Padahal, baik semua penumpang menuju Yogyakarta maupun Solo sebelumnya sudah membayar penuh untuk masing-masing sampai di tujuan. Dibandingkan dengan percaloan di kereta api, percaloan di lingkungan terminal bis tampaknya lebih rawan. Tak heran, dalam hubungan kasus bis Saptana tadi Permadi SH dari Yayasan Lembaga Konsumen menuding adanya percaloan di bidang angkutan sebagai satu sindikat ala Mafia. Sebab kasus Saptana tadi dilaporkan para korban, terjadi di depan hidung para petugas. Koesmono, petugas keamanan terminal Pulogadung, tak mau mengatakan orang-orang yang kerjanya memburu penumpang di lingkungan tempatnya bertugas sebagai calo. Alasannya mereka mempunyai tanda pengenal yang dikeluarkan oleh para pengusaha angkutan sendiri. Jelasnya, "mereka adalah pengurus yang ditugaskan perusahaan angkutan. Saya tidak tahu bagaimana mereka digaji oleh perusahaan bis, yang pasti kalau mereka calo liar saya tangkap," kata Koesmono kepada pembantu TEMPO Max S. Wangkar. Liar atau tidak, Yang namanya calo yang memakai seragam itu di mana pun terkenal memungut bayaran ekstra yang kadang tidak kepalang besarnya. Dan organisasinya ada juga yang terbilang rapi. Seperti Masa Tiga-Tiga, nama himpunan makelar bis di Surabaya itu, didirikan 1971 oleh Soegianto cs. Mulanya cuma beranggota 25 orang, tapi sekarang sudah mencapai 2000 orang yang tersebar di beberapa kota Jawa Timur dan Solo. Dan khusus di terminal Joyoboyo, Surabaya saja sebanyak 1.000 orang yang 90% di antaranya ex residivis, penjambret. "Dulu status mereka sebagai makelar tak ubahnya seperti pengemis," cerita Soegianto kepada Ibrahim Husni dari TEMPO Sekarang, setelah menjadi pembantu perusahaan bis yang ditempatkan di terminal, lumayan juga. Ada surat pengangkatan dan mendapat honor tetap setiap bulan antara Rp 5 sampai Rp 10 ribu, plus honor harian rata-rata Rp 1.000/bis sekali jalan. Cara kerjanya, Soegianto sebagai ketua oleh perusahaan bis ditunjuk sebagai koordinator mandor. Dia kemudian menunjuk anggotanya yang bertugas di masing-masing perusahaan yang dibagi menurut jumlah bisnya. Tugas mereka menunjukkan penumpang bis mana yang harus mereka tumpangi, menurut nomor urut pemberangkatan. Peranan yang lain adalah membendung penumpang jarak dekat. Ketika ramai penumpang, para calo itu akan menghalangi penumpang jarak dekat itu naik. Padahal DLLAJR menentukan dua bangku dari belakang untuk penumpang jarak dekat. Tapi Abdurahman, kepala terminal Joyoboyo beranggapan, organisasi Masa Tiga-Tiga itu "bisa kami jinakkan" dan "positif". Demikian pula komentar pengusaha bis C. Gunawan Endramukti Direktur Agung Expres dan Soenarto, Direktur Mutiara Expres, yang menilai gerakan Soegianto cs itu "sama-sama menguntungkan." Dan menurut drs Hapsan, bagian angkutan DLLAJR Ja-Tim, mereka itu "lebih baik dikordinir." Cara kerja Masa Tiga-Tiga tampaknya memang rapih. Tapi di Jawa Tengah mereka bersatu juga. Seorang calo sebuah bis malam akan mendapat 10 persen dari banyaknya setoran. Jika setoran sekali jalan 50 ribu, maka lima ribu masuk kantong calo. Jadi jika sebuah perusahaan bis malam itu mendaratkan lima buah saja dari bisnya, maka 25 ribu buat calo, dari sekitar jam enam sore hingga sedikit lewat tengah malam, ketika bis-bis dari Jakarta tiba. "Uang sejumlah itu kalau dimakan sendiri waahh," kata salah seorang dari PO Periangan sambil menerangkan bahwa uang itu harus diberikan juga sebagian untuk para pembantunya -- yang berkeliaran mencari penumpang. "Maka jangan heran kalau sopir belum apa-apa kita sudah ngantongi duit," tambahnya. Bahkan seorang calo dari bis malam Aladin dari hasil kerjanya telah menghasilkan lima buah colt dan sejumlah sepeda motor di samping anak-anaknya sekolah di universitas. Jangan bayangkan enaknya saja dan jangan bayangkan seseorang bisa dengan begitu saja masuk dalam dunia percaloan di Terminal Bis Induk di Semarang ini. "Kerek bendera tinggi-tinggi dulu baru bisa kerja di sini," kata seorang dari PO Periangan tadi. Artinya sudah kebal terhadap senjata tajam dan sudah punya nama sebagai jagoan. Tapi syarat utama adalah memegang Surat Mandat. Surat Mandat -- yang bisa ratusan ribu rupiah harganya -- dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan bis diberikan kepada calo-calonya. Selanjutnya pemegang surat mandat ini, seperti tercantum pada lembaran resmi dengan kop perusahaan dan tanda tangan direksi, tidak dinamai sebagai calo. Lebih keren sebutannya: Anggota pengurus. Dengan menyebut nama dan umur pemegang -- disebutkan juga daerah operasi dan "bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengurus masalah penumpang di daerah Semarang dan sekitarnya." Tentu untuk pemegang di luar Semarang nama kota panas ini tak disebut -- disesuaikan daerahnya. Misalnya Yogya dan sekitarnya. Calo, seperti kata jurubicara PJKA Eksploitasi Barat, Jakarta, Oyet Ratma, memang ada di mana-mana. Di hampir setiap stasiun besar di Jawa bersarang organisasi calo. Juga di berbagai stasiun bis. Masuk akal kalau beberapa pegawai PJKA menganggap soal calo itu sebagai masalah nasional. Bagaimana memberantasnya? Menurut Oyet Ratma, selama angkutan kurang calo memang sulit diberantas. Barangkali dia benar. Tapi rakyat di Indonesia tampaknya masih harus hidup dengan segala keterbatasan sarana angkutan, kini dan nanti. Bukankah sembari menunggu tibanya saat cukup angkutan, yang entah kapan, orang tak boleh berpangku tangan? Pihak PJKA sendiri agaknya sudah beberapa kali berusaha untuk mengatasinya, mulai dari slogan yang terpampang sampai pada menindak pegawainya yang main dengan calo. Tapi yang tak kalah menariknya adalah usaha seperti dilakukan Dawam Rahardjo, Wakil Direktur LP3ES, salah seorang korban kasus bis Saptana. Dengan tekun ia melaporkan kasus yang menimpa dirinya dan sejumlah penumpang lain kepada pihak LBH, Lembaga Konsumen. Atas nama 30 penumpang yang dirugikan itu, Dawam bahkan akan menuntut pengusaha bis Saptana ke pengadilan. KALAU benar terjadi mungkin ini baru pertama kalinya di Indonesia. Penumpang berhasil membawa pengusaha bis ke depan hakim. Tapi di sana pula berbagai soal yang tadinya kurang terang akan terungkap, termasuk lika-liku percaloan tadi. Tapi sementara menunggu adanya sidang itu, gerakan pulang kampung untuk berlebaran tetap saja berlangsung. Dan cerita Dawam dkk mungkin menjadi omongan yang mengasyikkan di antara para pembaca koran di bis dan kereta-api, yang pulang berlebaran. Kereta-api dan bis ternyata masih penuh penumpang, sekalipun Lebaran sudah usai. Para penumpangnya -- keluarga, anak sekolah atau pun transmigran -- tampak lesu selama perjalanan. Juga pemuda Somad yang pulang ke Probolinggo. Dengan wajah yang agak kumal, karena sudah semalaman dalam bis Tjipto yang membawanya pulang ke Jakarta, Somad pun mulai menghitung isi dompetnya. "Sialan," keluhnya. "Hampir seratus ribu rupiah habis selama perjalanan pulang Lebaran ini." Adakah Somad kapok pulang kampung Lebaran tahun depan? Termenung sebentar, pemuda yang bekerja mencari langganan untuk sebuah perusahaan asuransi di Jakarta lalu membetulkan duduknya. Dan bergumam dalam hati "Ah, biarin, kan cuma setahun sekali."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus