BAGI Hamid, 23 tahun, berlebaran dengan keluarga tahun ini
mempunyai arti tersendiri. "Sudah lima tahun saya tak pulang.
Bagaimana kalau gaji sebulan cuma Rp 30 ribu ?" katanya.
Hamid, karyawan Bank Pasar Jakarta Utara, orang tuanya tinggal
di Wawo. Satu kota kecamatan di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara
Barat. Awal Agustus diterimanya surat. Isinya menyatakan mereka
kangen.
Bagi Fauzi, 22 tahun, pemuda asal Batang, Jawa tengah yang
sehari-hari di Jakarta menjadi loper koran, kapan pun berlebaran
dengan keluarga sama saja. Soalnya tiap tahun ia pulang.
Pertama, karena rezekinya sehari Rp 2000 memungkinkan untuk itu.
Kedua, karena banyak orang mudik lebaran, di Jakarta dianggapnya
sepi.
Tapi, apa komentar Sahudi, pemuda asal Bangkalan, Madura, yang
satu kereta bersama Hamid dan Fauzi pulang lebaran pekan lalu?
"Saya terpaksa pulang karena bekal habis," katanya kepada Aris
Amiris dari TEMPO yang juga sekereta.
Menurut Sahudi, ia sudah 5 bulan nganggur. Semula ia datang ke
Jakarta untuk mencari pekerjaan di kapal. Lima bulan menunggu
tak kunjung ada panggilan. Bekal pun habis. Itu sebabnya dia
pulang.
Menurut perkiraan, arus penumpang yang pulang lebaran dari
Jakarta tahun ini bakal lebih banyak ketimbang tahun-tahun
sebelumnya. Ini bukan hanya tergambar dari jumlah penumpang KA
Gaya Baru Malam yang ditumpangi ketiga orang tadi yang kebetulan
berjubel. Tapi lantaran beberapa hal.
Pertama lantaran kecenderungan orang-orang daerah sendiri yang
di Jakarta kebetulan terbilang perantauan. Kedua, karena
anak-anak sekolah baru libur pada hari-hari terakhir bulan
puasa. Terakhir, disebut-sebut juga adanya kabar kaum
transmigran yang sukses dalam usaha pertaniannya. Dan kaum
transmigran dari Lampung misalnya biasanya hanya naik feri atau
kapal sampai di Merak dan Tanjung Priok.
Mau tahu angkanya? Yang persis tentu saja tak bisa
dikarang-karang pada hari-hari sebelumnya. Namun berdasar
pengalaman penumpang kereta api bisa lebih dari 500 ribu orang
sementara penumpang bis bisa dua kali dari itu.
Baik Kepala PJKA Eksploitasi Barat ir Soetarno yang mengurus
soal kereta api maupun Kepala DLLAJR DKI F. Suwarto MSc merasa
yakin tak akan ada masalah. Hanya, menurut kedua pejabat
tersebut, masyarakat perlu menaati peraturan yang ada. Maksudnya
tak salah lagi, janganlah misalnya karena mentang-mentang punya
duit lumayan berusaha membeli karcis dari calo. Sebab hal
demikian justru memberi kesempatan pada calo-calo tersebut untuk
terus beraksi.
Harap maklum, itu tak berarti celah-celah untuk munculnya calo
tak ditutup. Lihat saja. Di setiap stasiun sejak dulu sudah ada
pamflet sindiran: Tak mungkin ada calo kalau tak ada pembelinya.
Bahkan, untuk menunjukkan kesungguhan ingin memberi pelayanan
yang baik masih juga ada pengumuman yang mengatakan, bagi setiap
orang yang bisa menangkap calo dan menyerahkannya kepada kepala
stasiun akan diberi karcis cuma-cuma ke manapun orang itu akan
peri.
BELUM lagi usaha PJKA buat pelayanan kereta api dan DLLAJR untuk
angkutan bis yang membatasi jumlah tempat penjualan karcis.
Karcis kereta api maupun bis-bis kelas tertentu selama ini
diedarkan juga lewat sejumlah agen. Khusus dalam hubungan
kesibukan lebaran agen-agen tersebut tak diberi jatah lagi.
Masalahnya memang tak sampai di situ. Apa boleh buat. Pemerintah
sudah mengusahakan peningkatan kapasitas angkutan sejak Pelita
I. Itu kata Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin. Sejauh itu
penambahan calon pemakai jasa sektor ini lebih menggebu, seperti
kata Menteri pula. Akibatnya bisa diduga: penumpang pasti
terangkut, meskipun tak semua.
Dan masyarakat tampaknya menyadari hal ini. Hamid tadi misalnya,
khawatir tak bisa jadi pulang, sudah datang ke stasiun Pasar
Senen agak pagi. Yang pasti, karena kebetulan kerumunan manusia
di altar stasiun itu bukan main banyaknya. Dia pun terpaksa
antri berdesak-desakan. Padahal karcis untuk kereta yang bakal
ditumpanginya baru dijual pukul 4 sore.
Dan Hamid berhasil mendapat satu di antara 560 tempat duduk
dalam rangkaian 8 gerbong KA Gaya Baru Malam. Tapi tak demikian
halnya sejumlah orang yang lain. Tak heran sejumlah orang pun
kemudian memerlukan buka baju di kereta karena kegerahan akibat
kelewat banyaknya penumpang, ada pula yang karena letih dan
capek menggelar tikar di lorong-lorong kereta tadi.
Yang menarik adalah seorang bernama Ahmad. Lelaki 36 tahun ini
rupanya terbilang cerdik. Buktinya ia berhasil mengambil oper
satu kamar yang meski cuma berukuran 80 x 80 cm dan terletak
persis depan WC tapi kamar itu sebenarnya merupakan tempat
istirahat bagi kondektur. Caranya? "Seorang calo menawarkan
tempat ini Rp 500 dan karcis ke Semarang Rp 1800," katanya.
Adalah seorang berbaju kuning dengan celana warna coklat. Orang
ini datang kebetulan kepada Aris Amiris dari TEMPO menawarkan
karcis untuk jurusan Surabaya seharga Rp 3.250 (harga resmi Rp
2.650). Dari omong-omong dengan calo yang satu ini diketahuilah
keuntungan mereka dibagi-bagi kepada sejumlah orang. "Saya harus
berbagi dengan orang dalam, jatah saya sendiri cuma Rp 200,"
katanya.
Lebih dari itu, percaloan terpaut dengan ulah orang dalam, bisa
diketahui dari seragam yang dikenakan calo yang bersangkutan.
Sepanjang yang nampak calo-calo itu pakaiannya sama: di atas
kuning, di bawah coklat. Itu adalah seragam orang PJKA dengan
status kuli.
Percaloan, dari dulu sampai sekarang memang tak hanya terdapat
di lingkungan perkereta-apian. Di terminal bis Pulogadung
sedikitnya terdapat sekitar 70 calo yang sehari-hari suka
memburu setiap calon penumpang. Di Jawa Timur malah tampil
secara gagah dengan satu organisasi bernama Massa Tiga-Tiga.
Organisasi ini diakui resmi baik oleh pimpinan terminal bis
maupun oleh para pengusaha bis sendiri. Dan, di balik semua itu,
para calo bis ini pun acap kali terdengar memang kurang ajar.
Setidaknya sejumlah calo yang biasa berkeliaran di terminal bis
Semarang.
ADA dua bis Saptana masing-masing bernomor polisi B 7040 EF
dan B 7041 EF. Kedua bis ini, 5 Juli lalu, beriringan
masing-masing menuju Yogyakarta dan Solo. Sampai di terminal
Semarang ternyata berhenti.
Ada apa? Semua penumpang disuruh turun. Perjalanan mereka
selanjutnya katanya harus dengan bis lain yang ternyata bukan
dicarikan oleh kondektur bis tadi, melainkan oleh calo.
Penumpang, sekalipun pada mulanya protes, akhirnya tunduk juga
pindah ke bis lain. Tapi, celakanya, penumpang ke Solo misalnya,
di tengah perjalanan diminta uang lagi masing-masing Rp 700:
seharga karcis Semarang-Solo. Padahal, baik semua penumpang
menuju Yogyakarta maupun Solo sebelumnya sudah membayar penuh
untuk masing-masing sampai di tujuan.
Dibandingkan dengan percaloan di kereta api, percaloan di
lingkungan terminal bis tampaknya lebih rawan. Tak heran, dalam
hubungan kasus bis Saptana tadi Permadi SH dari Yayasan Lembaga
Konsumen menuding adanya percaloan di bidang angkutan sebagai
satu sindikat ala Mafia. Sebab kasus Saptana tadi dilaporkan
para korban, terjadi di depan hidung para petugas.
Koesmono, petugas keamanan terminal Pulogadung, tak mau
mengatakan orang-orang yang kerjanya memburu penumpang di
lingkungan tempatnya bertugas sebagai calo. Alasannya mereka
mempunyai tanda pengenal yang dikeluarkan oleh para pengusaha
angkutan sendiri. Jelasnya, "mereka adalah pengurus yang
ditugaskan perusahaan angkutan. Saya tidak tahu bagaimana mereka
digaji oleh perusahaan bis, yang pasti kalau mereka calo liar
saya tangkap," kata Koesmono kepada pembantu TEMPO Max S.
Wangkar.
Liar atau tidak, Yang namanya calo yang memakai seragam itu di
mana pun terkenal memungut bayaran ekstra yang kadang tidak
kepalang besarnya. Dan organisasinya ada juga yang terbilang
rapi. Seperti Masa Tiga-Tiga, nama himpunan makelar bis di
Surabaya itu, didirikan 1971 oleh Soegianto cs. Mulanya cuma
beranggota 25 orang, tapi sekarang sudah mencapai 2000 orang
yang tersebar di beberapa kota Jawa Timur dan Solo. Dan khusus
di terminal Joyoboyo, Surabaya saja sebanyak 1.000 orang yang
90% di antaranya ex residivis, penjambret.
"Dulu status mereka sebagai makelar tak ubahnya seperti
pengemis," cerita Soegianto kepada Ibrahim Husni dari TEMPO
Sekarang, setelah menjadi pembantu perusahaan bis yang
ditempatkan di terminal, lumayan juga. Ada surat pengangkatan
dan mendapat honor tetap setiap bulan antara Rp 5 sampai Rp 10
ribu, plus honor harian rata-rata Rp 1.000/bis sekali jalan.
Cara kerjanya, Soegianto sebagai ketua oleh perusahaan bis
ditunjuk sebagai koordinator mandor. Dia kemudian menunjuk
anggotanya yang bertugas di masing-masing perusahaan yang dibagi
menurut jumlah bisnya. Tugas mereka menunjukkan penumpang bis
mana yang harus mereka tumpangi, menurut nomor urut
pemberangkatan.
Peranan yang lain adalah membendung penumpang jarak dekat.
Ketika ramai penumpang, para calo itu akan menghalangi penumpang
jarak dekat itu naik. Padahal DLLAJR menentukan dua bangku dari
belakang untuk penumpang jarak dekat.
Tapi Abdurahman, kepala terminal Joyoboyo beranggapan,
organisasi Masa Tiga-Tiga itu "bisa kami jinakkan" dan
"positif". Demikian pula komentar pengusaha bis C. Gunawan
Endramukti Direktur Agung Expres dan Soenarto, Direktur Mutiara
Expres, yang menilai gerakan Soegianto cs itu "sama-sama
menguntungkan." Dan menurut drs Hapsan, bagian angkutan DLLAJR
Ja-Tim, mereka itu "lebih baik dikordinir."
Cara kerja Masa Tiga-Tiga tampaknya memang rapih. Tapi di Jawa
Tengah mereka bersatu juga. Seorang calo sebuah bis malam akan
mendapat 10 persen dari banyaknya setoran. Jika setoran sekali
jalan 50 ribu, maka lima ribu masuk kantong calo. Jadi jika
sebuah perusahaan bis malam itu mendaratkan lima buah saja dari
bisnya, maka 25 ribu buat calo, dari sekitar jam enam sore
hingga sedikit lewat tengah malam, ketika bis-bis dari Jakarta
tiba.
"Uang sejumlah itu kalau dimakan sendiri waahh," kata salah
seorang dari PO Periangan sambil menerangkan bahwa uang itu
harus diberikan juga sebagian untuk para pembantunya -- yang
berkeliaran mencari penumpang. "Maka jangan heran kalau sopir
belum apa-apa kita sudah ngantongi duit," tambahnya. Bahkan
seorang calo dari bis malam Aladin dari hasil kerjanya telah
menghasilkan lima buah colt dan sejumlah sepeda motor di samping
anak-anaknya sekolah di universitas.
Jangan bayangkan enaknya saja dan jangan bayangkan seseorang
bisa dengan begitu saja masuk dalam dunia percaloan di Terminal
Bis Induk di Semarang ini. "Kerek bendera tinggi-tinggi dulu
baru bisa kerja di sini," kata seorang dari PO Periangan tadi.
Artinya sudah kebal terhadap senjata tajam dan sudah punya nama
sebagai jagoan. Tapi syarat utama adalah memegang Surat Mandat.
Surat Mandat -- yang bisa ratusan ribu rupiah harganya --
dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan bis diberikan kepada
calo-calonya. Selanjutnya pemegang surat mandat ini, seperti
tercantum pada lembaran resmi dengan kop perusahaan dan tanda
tangan direksi, tidak dinamai sebagai calo. Lebih keren
sebutannya: Anggota pengurus.
Dengan menyebut nama dan umur pemegang -- disebutkan juga daerah
operasi dan "bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengurus masalah
penumpang di daerah Semarang dan sekitarnya." Tentu untuk
pemegang di luar Semarang nama kota panas ini tak disebut --
disesuaikan daerahnya. Misalnya Yogya dan sekitarnya.
Calo, seperti kata jurubicara PJKA Eksploitasi Barat, Jakarta,
Oyet Ratma, memang ada di mana-mana. Di hampir setiap stasiun
besar di Jawa bersarang organisasi calo. Juga di berbagai
stasiun bis. Masuk akal kalau beberapa pegawai PJKA menganggap
soal calo itu sebagai masalah nasional.
Bagaimana memberantasnya? Menurut Oyet Ratma, selama angkutan
kurang calo memang sulit diberantas. Barangkali dia benar. Tapi
rakyat di Indonesia tampaknya masih harus hidup dengan segala
keterbatasan sarana angkutan, kini dan nanti. Bukankah sembari
menunggu tibanya saat cukup angkutan, yang entah kapan, orang
tak boleh berpangku tangan?
Pihak PJKA sendiri agaknya sudah beberapa kali berusaha untuk
mengatasinya, mulai dari slogan yang terpampang sampai pada
menindak pegawainya yang main dengan calo. Tapi yang tak kalah
menariknya adalah usaha seperti dilakukan Dawam Rahardjo, Wakil
Direktur LP3ES, salah seorang korban kasus bis Saptana. Dengan
tekun ia melaporkan kasus yang menimpa dirinya dan sejumlah
penumpang lain kepada pihak LBH, Lembaga Konsumen. Atas nama 30
penumpang yang dirugikan itu, Dawam bahkan akan menuntut
pengusaha bis Saptana ke pengadilan.
KALAU benar terjadi mungkin ini baru pertama kalinya di
Indonesia. Penumpang berhasil membawa pengusaha bis ke depan
hakim. Tapi di sana pula berbagai soal yang tadinya kurang
terang akan terungkap, termasuk lika-liku percaloan tadi.
Tapi sementara menunggu adanya sidang itu, gerakan pulang
kampung untuk berlebaran tetap saja berlangsung. Dan cerita
Dawam dkk mungkin menjadi omongan yang mengasyikkan di antara
para pembaca koran di bis dan kereta-api, yang pulang
berlebaran.
Kereta-api dan bis ternyata masih penuh penumpang, sekalipun
Lebaran sudah usai. Para penumpangnya -- keluarga, anak sekolah
atau pun transmigran -- tampak lesu selama perjalanan.
Juga pemuda Somad yang pulang ke Probolinggo. Dengan wajah yang
agak kumal, karena sudah semalaman dalam bis Tjipto yang
membawanya pulang ke Jakarta, Somad pun mulai menghitung isi
dompetnya. "Sialan," keluhnya. "Hampir seratus ribu rupiah habis
selama perjalanan pulang Lebaran ini."
Adakah Somad kapok pulang kampung Lebaran tahun depan? Termenung
sebentar, pemuda yang bekerja mencari langganan untuk sebuah
perusahaan asuransi di Jakarta lalu membetulkan duduknya. Dan
bergumam dalam hati "Ah, biarin, kan cuma setahun sekali."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini