Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Orang-Orang yang Malang

Untuk ketujuh kalinya, novel sastra karya Victor Hugo difilmkan. Sutradara Bille August, langganan pemenang Palme d’Or, menyutradarai film ini.

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LES MISERABLES

Sutradara : Bille August
Skenario : Rafael Yglesias
Pemain : Leam Neeson, Geoffrey Rush, Uma Thurman
Produksi : Columbia Tristar Toulon, Prancis, 1812.

Tubuh besar itu tetap tegap berkilat meski telah dihajar 19 tahun kerja paksa. Jean Valjean (Leam Neeson), yang dihukum karena mencuri sekerat roti, kini lepas dari penjara. Di rumah seorang uskup yang sederhana, Valjean yang letih kemudian ditawari untuk bermalam. Dengan mentalitas seorang penjahat, Valjean kemudian mencuri peralatan makan sang uskup. Dia tertangkap polisi dan diserahkan kepada sang uskup. Bukannya menghukum, sang uskup malah memberikan tempat lilin berlapis emas kepadanya seraya mengatakan, "Setelah hari ini berlalu, bertobatlah dan mulailah dengan hidup yang baru."

Dan dia memulai hidup baru itu.…

Tapi, apakah seorang kriminal--meski dia cuma mencuri sepotong roti-- bisa berubah menjadi orang yang baik hati? Bisakah seseorang yang 19 tahun mendekam di penjara menjelma menjadi seorang wali kota yang bijaksana dan bermoral? Di mata Kepala Polisi Javert (Geoffrey Rush), sekali kriminal, dia akan selalu menjadi kriminal. Entah dia berbungkus baju Wali Kota Vigau atau bulu domba, tidak ada orang jahat yang bisa mengubah nasib dirinya menjadi baik. Sebagai seorang putra pelacur dan pemabuk, Javert tumbuh menjadi seorang penegak hukum yang keras, rigid, kaku, dan dingin. Sementara itu, Valjean adalah seorang narapidana yang menemui pencerahan melalui pertemuannya dengan sang uskup dan mencoba memulai sebuah kehidupan baru. Namun, yang terjadi adalah sebuah peristiwa kejar-mengejar antara Kepala Polisi Javert dan Valjean sebagai buruannya sampai ke taraf yang sangat obsesif.

Film Les Miserables, sebuah karya klasik yang dibuat menjadi film layar lebar sepanjang dua setengah jam oleh Bille August ini, memang bukan interpretasi pertama terhadap karya akbar sastrawan Prancis Victor Hugo. Sebelumnya, sudah sekitar enam kali film ini diproduksi oleh perusahaan film Inggris, Prancis, dan Itali. Versi panggung musikal Broadway sudah berlangsung bertahun-tahun dengan sukses--secara komersial--hingga karya klasik ini selama satu dekade terjual melalui t-shirt, kaset, dan poster murah meriah. Yang terakhir, tiga tahun silam, sutradara Claude Lelouch memindahkan setting film Les Miserables ke masa Perang Dunia II, menampilkan tokoh Valjean yang menolong sebuah keluarga Yahudi dari cengkeraman Nazi.

Kali ini, sutradara Bille August--yang dikenal sebagai anak didik sutradara Ingmar Bergman--meringkas novel sepanjang 1.100 halaman itu menjadi dua fokus utama: peristiwa pengejaran Javert terhadap Jean Valjean dan kehidupan Valjean yang baru dengan Cossette, putri Fantine.

Untuk memeras novel yang begitu kompleks, masif, diskursif, dan riuh rendah dengan adegan pengadilan, pengejaran dan penyiksaan, menjadi sebuah film sepanjang dua setengah jam, tentu tidak mudah. Namun, dengan cerdik, sutradara August dan penulis skenario Rafael Yglesias sengaja memilih pertumbuhan karakterisasi kedua peran utama novel ini. Valjean dan Javert sesungguhnya adalah dua sosok dengan problem psikologis yang sama. Mereka sama-sama hidup dalam ketakutan. Javert yang takut akan sejarah orang tuanya kemudian tumbuh menjadi obsesif dalam mengejar dan memburu "mereka yang bermoral rendah", sedangkan Valjean berambisi membuat dirinya bersih dan baik hingga ia terus-menerus bertarung dengan nuraninya agar tidak perlu menghabisi nyawa musuh abadinya, Javert. Mereka bertemu secara berkala, bertengkar, saling mengejek, mengancam, dan menyindir, tetapi tidak pernah terjadi pembunuhan. Hubungan keduanya begitu aneh, saling membenci dengan hanya dibatasi oleh seperangkat hukum yang ketat, tetapi toh mereka saling menghormati.

Sayang sekali, kemampuan Bille August untuk menyentuh tanpa menjadi cengeng--seperti dalam karyanya yang terdahulu Pelle, the Conqueror dan Best Intention yang keduanya memenangkan Palme d’Or di Festival Film Cannes--tidak tampil dalam film ini. Sesungguhnya, Les Miserables, seperti disarankan judulnya, adalah sebuah kisah tentang orang-orang yang malang, orang-orang yang penuh dengan sejarah kepedihan, tetapi seluruhnya disajikan dengan dingin dan matematis. Luka dan penderitaan Valjean sebagai seseorang yang berjuang untuk menjadi orang yang baik--sebagaimana tergambar di dalam novel--tidak terpancar karena skenario lebih bertumpu pada kisah pengejaran Javert terhadap Valjean yang kemudian berkembang menjadi sebuah permainan kekuasaan. Apalagi, setelah revolusi pecah dan anak angkat Valjean yang berpacaran dengan seorang aktivis itu terlibat dalam perjuangan, permusuhan Javert dan Valjean kemudian menjadi sebuah antiklimaks.

Tetapi, bagaimanapun, film yang dibuat berdasarkan sebuah novel klasik, apalagi dengan sutradara berkelas Cannes seperti Bille August, tetap layak tonton. August, dengan prestasinya sebagai peraih Palme d’Or, ternyata juga harus jatuh pada dikte studio besar Hollywood. Orang-orang malang ciptaan Victor Hugo kemudian menjadi orang-orang bahagia di akhir cerita.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum