Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Pintas Swasembada Pangan

Pemerintah menaikkan harga pembelian gabah dan menyetop impor empat bahan pangan. Berharap swasembada.

19 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah petani memanen padi di kawasan persawahan Singosari, Malang, Jawa Timur, 25 September 2024. ANTARA/Muhammad Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Prabowo Subianto menargetkan swasembada pangan terwujud pada 2025.

  • Impor beras dihentikan karena masih ada sisa stok dari pengadaan 2024.

  • Kenaikan HPP gabah berisiko memicu inflasi pangan.

PERUSAHAAN Umum Badan Urusan Logistik mematok target tinggi untuk pengadaan beras domestik tahun ini. Perusahaan pelat merah ini berniat membeli gabah dan beras dari petani hingga 3 juta ton, lebih dari dua kali lipat pembelian tahun lalu yang mencapai 1,26 juta ton. “Sekitar 80 persen di antaranya pada puncak masa panen,” kata Kepala Divisi Hubungan Kelembagaan Perum Bulog Epi Sulandari dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah, Senin, 13 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puncak masa panen beras tahun ini diperkirakan berlangsung pada Maret-Mei. Bulog akan membeli 1,2 juta gabah kering panen, 1,4 juta ton gabah kering giling, dan 1,5 juta ton beras dari petani. Menurut Epi, Bulog menggandeng pemerintah daerah untuk memantau sentra penanaman yang mulai memasuki masa panen atau harga gabahnya jatuh di bawah batas harga pembelian pemerintah (HPP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani pun bakal ketiban rezeki karena mulai 15 Januari 2025 pemerintah menaikkan HPP gabah dan beras. Menurut Keputusan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2025, HPP gabah kering panen di tingkat petani Rp 6.500 per kilogram dengan kualitas kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa paling banyak 10 persen. Harganya naik dari sebelumnya Rp 6.000 per kilogram. Apabila terdapat gabah di luar ketentuan kualitas yang telah ditetapkan, Bulog dapat tetap membelinya dengan harga penyesuaian atau rafaksi. 

Melalui skema pengadaan ini, Bulog mengamankan cadangan beras pemerintah yang akan dipakai dalam program stabilitas harga alias operasi pasar atau kebutuhan lain. Apalagi pada tahun ini pemerintah akan menyalurkan bantuan pangan beras selama enam bulan. Penyaluran bantuan tahap awal akan berjalan pada Januari dan Februari, sementara untuk empat bulan sisanya ditentukan selanjutnya dengan memperhitungkan berbagai faktor.

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, 5 Januari 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Berdasarkan perkiraan Badan Pangan Nasional, sebanyak 160 ribu ton beras digelontorkan dalam setiap program bantuan pangan. Pemerintah menargetkan 16 juta penerima bantuan pangan. Tiap penerima mendapatkan 10 kilogram beras. Jika program bantuan akan berjalan selama enam bulan, diperlukan pasokan beras 960 ribu ton. Saat ini Bulog masih menguasai pasokan beras 2 juta ton yang paling banyak berasal dari impor tahun lalu. 

Sekretaris Perusahaan Bulog Arwakhudin Widiarso mengatakan akan memantau lokasi sentra penanaman padi menjelang masa panen. Bulog juga akan membentuk Tim Jemput Gabah untuk membeli gabah petani di lokasi panen. Menurut dia, target penyerapan beras Bulog akan disesuaikan dengan kondisi panen dan operasi.

Kenaikan target penyerapan beras Bulog itu selaras dengan bertambahnya target produksi padi nasional. Kementerian Pertanian menargetkan jumlah produksi padi nasional mencapai 32 juta ton tahun ini. Berdasarkan Kerangka Sampel Area Beras Amatan November 2024, jumlah produksi padi tahun lalu sebesar 30,41 juta ton. Ini adalah angka terendah dalam lima tahun terakhir, yang rata-rata di atas 31 juta ton.

Untuk mencapai target peningkatan produksi beras, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, Kementerian telah menganggarkan Rp 12 triliun untuk pembangunan dan revitalisasi infrastruktur jaringan irigasi pertanian. Pada akhir 2024, Kementerian Pertanian juga mengusulkan pemanfaatan anggaran 2025 sebesar Rp 23,61 triliun untuk mendukung upaya mewujudkan swasembada beras. Anggaran itu akan digunakan untuk optimasi lahan seluas 851 ribu hektare, cetak sawah 225 ribu hektare, juga pemompaan lahan tadah hujan 500 ribu hektare.

Petani meratakan gabah yang dijemur di areal persawahan Amohalo, Kecamatan Baruga, Kendari, Sulawesi Tenggara, 3 November 2024. ANTARA/Andry Denisah

Namun, bagi Ketua Kelompok Tani Kampung Darim Indramayu, Ruskiyah, rencana pemerintah itu belum terasa. Di Kampung Darim, Jawa Barat, sarana irigasi belum rampung sehingga petani harus menunggu musim hujan untuk mulai menanam padi. “Walau mulai ada hujan, petani masih ragu karena irigasi belum siap,” tutur Ruskiyah. Belum lagi soal stok pupuk yang tak cukup. Padahal peningkatan produksi beras hanya bisa dilakukan dengan mempercepat masa tanam, yang memerlukan dukungan irigasi, benih, pupuk, juga modal. 

Keluhan serupa disampaikan Hasan, petani di Desa Kabba, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Ia mengatakan program yang dicanangkan Presiden Prabowo belum terasa. “Mungkin satu atau dua tahun baru dirasakan,” ucapnya. Namun, berbeda dengan di Indramayu, tak ada kelangkaan pupuk di Sulawesi Selatan. “Pupuk subsidi lancar, ada juga pembagian pestisida gratis.”

•••

SAAT dilantik menjadi presiden, Prabowo Subianto menyatakan pencapaian swasembada pangan dan energi adalah langkah utama guna menghadapi tantangan global yang makin kompleks. Karena itu, “Indonesia harus segera mencapai swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya,” katanya dalam pidato pertama seusai pengucapan sumpah presiden di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 20 Oktober 2024. Prabowo rupanya yakin swasembada pangan bisa terwujud dalam empat atau lima tahun ke depan. Tak hanya itu, ia pun menargetkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia. 

Soal ketahanan pangan, Prabowo menggelar rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 30 Desember 2024. Rapat yang berlangsung selama dua jam itu menghasilkan beberapa kebijakan. Prabowo antara lain memerintahkan jajaran menterinya menyetop impor beras, garam konsumsi, gula konsumsi, dan jagung pada 2025. Karena itu, Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan memastikan pemerintah tidak akan mengeluarkan kuota impor untuk komoditas-komoditas tersebut.

Pekerja melakukan bongkar muat beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 22 November 2023.. TEMPO/Tony Hartawan

Dalam rapat itu pula harga pembelian pemerintah gabah dan harga acuan pembelian jagung diputuskan naik. Zulkifli mengatakan pemerintah bakal membeli berapa pun produksi gabah, beras, dan jagung petani. “Berapa pun akan ditampung sesuai dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah,” ucapnya seperti dilansir Kantor Berita Antara pada Senin, 30 Desember 2024. Hasil panen petani itu nantinya ditampung di gudang-gudang Bulog dan induk koperasi. 

Keputusan pemerintah tak mengimpor beras pada tahun ini pun ditunjang cadangan beras yang dinilai masih cukup pada akhir 2024. Badan Pangan Nasional mengatakan Bulog masih menguasai cadangan beras lebih dari 2 juta ton sisa realisasi impor tahun lalu. Badan Pusat Statistik mencatat angka impor beras pada 2024 mencapai 4,5 juta ton. Ditambah pasokan di masyarakat, menurut Badan Pangan, stok beras diproyeksikan mencapai 8,398 juta ton pada awal 2025. Angka ini merupakan pengalihan dari stok akhir 2024. Adapun kebutuhan beras 2025 diperkirakan 31,04 juta ton. 

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan peningkatan produksi hingga mencapai target lebih dari 32 juta ton terus diupayakan untuk memastikan impor tak lagi diperlukan. Musababnya, pada tahun lalu, tingkat produksi beras nasional turun. “Kalau sekarang stok aman, itu karena impor, bukan karena produksi melimpah.”

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Ayip Said Abdullah, melihat niat pemerintah menghentikan impor baik untuk pertanian di dalam negeri. Namun ia mengingatkan bahwa penyetopan impor harus disertai pemenuhan berbagai prasyarat, seperti jumlah produksi dalam negeri yang mencukupi dan peta jalan yang jelas. Tanpa rencana yang matang, kebijakan ini bisa menimbulkan sederet risiko. Salah satunya kekurangan pasokan di dalam negeri yang ujung-ujungnya membuat harga melonjak.

Ayip juga khawatir situasi harga komoditas di dalam negeri yang lebih tinggi daripada di luar negeri akan dimanfaatkan para pemburu rente untuk mengambil untung. “Harus ada skenario pengurangan impor secara bertahap dibarengi dengan kenaikan produksi,” ujarnya. “Jangan sampai niat baik kemandirian pangan dilakukan secara tergesa-gesa tanpa perencanaan yang baik.”

Risiko lain yang harus diantisipasi adalah persaingan berebut pasokan antara Bulog dan perusahaan beras swasta setelah perusahaan pelat merah itu menargetkan peningkatan penyerapan pada tahun ini. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, perebutan pasokan ini bisa memicu kenaikan harga beras di dalam negeri. Bila hal itu terjadi, Ayip menuturkan, pihak yang dirugikan jika terjadi gonjang-ganjing harga bukan hanya konsumen, melainkan juga petani kecil yang selama ini tercatat sebagai net consumer.

Menurut guru besar Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, Dwi Andreas Santosa, rencana pemerintah tidak mengimpor beras bisa direalisasi tahun ini lantaran sudah dilakukan impor besar-besaran pada tahun sebelumnya. Di sisi lain, ia memperkirakan tingkat produksi beras pada tahun ini naik hingga 3 persen atau 1,5 juta ton ketimbang pada tahun lalu lantaran kondisi iklim yang relatif normal. Dua tahun belakangan, produksi padi mengalami tekanan karena adanya pengaruh anomali iklim El Niño.

Kenaikan HPP, Andreas menambahkan, juga menjadi faktor yang dapat mendorong petani menggenjot produksi. Meskipun masih di bawah usulan para petani sebesar Rp 7.000 per kilogram, naiknya HPP tetap berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan petani. Buktinya, nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP) naik cukup tinggi dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Pada rentang 2021-2022, NTPP pernah berada di bawah 100. “Yang menandakan para petani itu menanam untuk rugi,” tutur Andreas. 

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho berharap kenaikan nilai tukar petani bakal mendongkrak minat masyarakat berusaha di sektor pertanian, yang selama ini mengalami penurunan jumlah tenaga kerja. Kondisi ini, selain mendorong daya beli petani, diharapkan dapat menggerakkan perekonomian di desa. Namun lagi-lagi ia mengingatkan bahwa kebijakan ini harus diikuti langkah-langkah antisipatif terhadap risiko lonjakan harga karena kurangnya pasokan. “Pertanyaannya, apakah pemerintah siap menjaga harga di level konsumen yang sekarang daya belinya sedang tergerus?”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus