Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Untung-Rugi Bisnis Hutan Tanaman Energi

Hutan tanaman energi menjadi peluang baru saat permintaan akan produk hasil hutan lesu. Berisiko memperluas deforestasi.

19 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kawasan tebangan kayu jati bundar di Resort Pemangkuan Hutan Gadung, Banjar Utara, Jawa Barat, 8 April 2021. ANTARA/Adeng Bustomi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Permintaan akan produk hasil hutan terus menurun.

  • Hutan tanaman energi menawarkan peluang dari pasar ekspor.

  • Deforestasi dan kebakaran hutan bisa meluas akibat ekspansi tanaman energi.

BUNYI mesin pemotong dan penghalus kayu terdengar keras di area pabrik PT Eksploitasi dan Industri Hutan (Inhutani) I Unit Manajemen Industri Gresik di Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, pada Kamis siang, 16 Januari 2025. Di ruangan seluas lapangan sepak bola ini, para karyawan Inhutani I terlihat sibuk memotong, membentuk, dan melapis kayu meranti, Agathis, serta keruing menjadi produk pertukangan seperti kayu lembaran dan kayu lapis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inhutani I mendatangkan kayu-kayu tersebut dari wilayah konsesi mereka di Tarakan, Kalimantan Utara. Kayu-kayu itu diolah menjadi kayu lapis (plywood), papan blok (blockboard), panel tembok, panel pintu solid, dan produk lain, lalu dikirim ke pasar domestik dan pasar ekspor. Namun, di luar negeri, permintaan akan produk kayu pertukangan ini sedang lemah. Merujuk pada Satu Data PHL Kementerian Kehutanan, volume ekspor kayu pertukangan mencapai 2,26 juta ton hingga Desember 2024. Pada Desember 2023, volumenya sebesar 2,41 juta ton dan 2,64 juta ton pada akhir tahun 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski begitu, Kepala Divisi Industri Inhutani I Dian Rakhmawati tetap optimistis tahun ini bisnis kayu pertukangan menjanjikan. Negara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Australia menjadi pasar utama produk mereka. Dian juga mengatakan permintaan dalam negeri masih bisa bertumbuh. "Permintaan plywood dan blockboard masih tinggi di dalam negeri," katanya.

Pekerja memproduksi kayu lapis kualitas ekspor di Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 9 Desember 2020. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Penurunan angka permintaan juga terlihat pada data produk hasil hutan lain, yaitu pulp dan kertas. Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor produk tersebut turun 5,55 persen secara tahunan pada Januari-November 2024. Volumenya turun dari 11,47 juta ton menjadi 10,83 juta ton. Adapun nilai ekspornya menyusut 4,2 persen dari US$ 7,6 miliar menjadi US$ 7,3 miliar.  

Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia Liana Bratasida menyatakan kondisi ini disebabkan oleh melemahnya permintaan global. Terlepas dari tantangan tersebut, Liana optimistis industri kertas berpeluang tumbuh, terutama karena penggunaan kertas kemasan yang menjadi pengganti plastik akan meningkat. Permintaan akan kertas tisu, popok, serta pembalut juga tumbuh. 

Industri kertas masih menggiurkan karena ada jaminan bahan baku seiring dengan masih luasnya lahan hutan tanaman industri. Data Kementerian Kehutanan per Agustus 2024 menunjukkan luas area konsesi hutan tanaman industri mencapai 10,8 juta hektare. Liana mengatakan, dari semua konsesi tersebut, luas lahan yang sudah dimanfaatkan hanya 3 juta hektare. 

Meski begitu, secara umum ekspor produk kayu dan olahan hasil hutan mengalami tren penurunan. Platform Satu Data PHL Kementerian Kehutanan menunjukkan pertumbuhan nilai ekspor produk ini turun 10,20 persen dari US$ 14,21 miliar pada 2022 menjadi US$ 12,76 miliar pada 2023. Adapun tahun lalu nilainya US$ 12,74 miliar.

Di sisi lain, pemanfaatan kayu untuk energi kian bertambah seiring dengan tren transisi energi. Pemanfaatan hutan tanaman energi yang menghasilkan kayu sebagai bahan baku pelet kayu dan serpihan kayu serta serbuk gergajian untuk co-firing atau bahan bakar tambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara terus meningkat. 

Selain PLTU milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), beberapa negara mengajukan permintaan produk semacam ini. Salah satunya Jepang. Pemerintah Jepang menargetkan produksi listrik hingga 1.065 terawatt-jam dari sumber terbarukan pada 2030. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5 persen berasal dari biomassa, yang antara lain didatangkan dari Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat volume ekspor serpihan kayu Indonesia ke Jepang melonjak hingga 5.349,88 persen pada 2012-2023, dari 17 ribu ton menjadi 957 ribu ton pada 2023. Pada periode yang sama, angka ekspor pelet kayu naik 258 ribu persen dari 4 ton menjadi 77 ribu ton.

Peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios), Viky Arthiando Putra, memperkirakan permintaan dari Jepang masih akan tinggi setelah negara itu mendirikan pembangkit biomassa 10.830 megawatt. Menurut laporan Global Energy Monitor, Jepang juga akan menambah kapasitas pembangkit listrik dengan bahan bakar biomassa berbasis kayu hingga 3,8 gigawatt pada 2026. "Produk hutan tanaman energi bisa jadi peluang baru di tengah lesunya industri hasil hutan yang lain," tuturnya.

Pekerja menyortir cacahan limbah kayu finir yang merupakan bahan bakar biomassa untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kota Serang, Banten, 25 Oktober 2024. ANTARA/Angga Budhiyanto

Tapi, Viky mengingatkan, pasar baru bisnis hasil hutan ini punya risiko. Deforestasi bakal makin masif karena produksi kayu untuk energi berpotensi membuka lahan baru. Laporan Celios berjudul "Transisi Energi Memakan Hutan: Bagaimana Regulasi Memfasilitasi Laju Konflik Agraria?" menyebutkan, untuk mencapai 20 persen co-firing PLTU dari energi biomassa, dibutuhkan lahan hutan tanaman seluas 4 juta hektare.

Hutan tanaman energi juga mengancam keanekaragaman hayati. Viky mencatat, risiko ekspansi industri ini adalah potensi kebakaran hutan yang antara lain dipicu karakter alami tanaman energi yang mudah terbakar.

Communication Lead Forest Watch Indonesia Anggi Putra Prayoga memperkirakan permintaan biomassa juga akan datang dari negara lain. Meskipun masih diperdebatkan, pemanfaatan biomassa untuk pembangkit listrik dianggap netral karbon karena mengurangi penggunaan energi fosil. Namun, di sisi lain, proses produksinya menghasilkan emisi tinggi, dari konversi lahan hutan, penebangan kayu, distribusi, hingga pengolahan di pembangkit listrik. 

Indonesia termasuk negara yang sedang mendorong pemanfaatan biomassa untuk co-firing PLTU dan bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa. Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024, pemerintah menyatakan biomassa menjadi jalan untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan serta menurunkan emisi karbon dioksida. Potensi listrik dari biomassa mencapai 53.431 megawatt.

Anggi mengatakan regulasi di sektor kehutanan ikut mendukung investasi hutan tanaman energi. Pemerintah mendorong skema "multiusaha kehutanan" atau penerapan beberapa jenis usaha di dalam area pengelolaan hutan. Sebagai contoh, pemilik izin hutan tanaman industri tak perlu mengurus izin baru jika ingin mengembangkan hutan tanaman energi di area mereka. "Cukup satu izin usaha untuk beragam bisnis di kawasan hutan," ujarnya. 

Hutan tanaman energi juga bisa berstatus proyek strategis nasional yang memiliki banyak fasilitas, seperti kemudahan perizinan, penyesuaian tata ruang, serta penanggulangan risiko politik. Namun Anggi mengingatkan, skema multiusaha kehutanan bisa memicu deforestasi.

Direktur Utama PT Maharaksa Biru Energi Tbk. (OASA) Bobby Gafur Umar (tengah) didampingi para direktur OASA saat menyampaikan paparan publik tahunan melalui daring di Jakarta, 18 Desember 2024. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bobby Gafur Umar mengatakan permintaan akan biomassa di dalam negeri cukup menjanjikan. Dari kebutuhan 10,2 juta ton, "Sampai akhir 2023 hanya tersedia 1 juta ton," katanya. Ketimbang untuk ekspor, Bobby berharap produksi biomassa Indonesia bisa terserap di dalam negeri meski harganya terpaut jauh. Harga pelet kayu internasional US$ 120-140 per ton, sementara di dalam negeri Rp 700 ribu. "Harga di dalam negeri tidak optimal untuk mencapai keekonomian," ucap Bobby, yang juga menjabat Direktur Utama PT Maharaksa Biru Energi Tbk. 

Bobby mengaku sudah mengusulkan upaya peningkatan suplai tanaman energi ini kepada pemerintah. Dia mengemukakan usul itu antara lain setelah mendengar adanya lahan hutan 20 juta hektare seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan. "Itu lahan untuk rehabilitasi hutan dan itu saya ajukan. Kalau bisa program rehabilitasi itu untuk program hutan tanaman energi."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus