INDUSTRI suatu negara bertumbuh lambat atau cepat, konon, ditentukan oleh perdagangan. Tetapi sektor perdagangan sekarang ini, menurut para ekonom dan pengusaha industri, justru lebih banyak menghambat perkembangan industri Indonesia. Spesialis yang bergerak di bidang distribusi dan niaga memang terasa masih kurang, sehingga kalangan industri sendiri yang harus melakukan kegiatan perdagangan itu. Di bidang tata niaga impor, misalnya, pemerintah mewajibkan perusahaan yang boleh melakukan impor, harus memiliki Tappi (Tanda Pengenal Perusahaan Importir). Pemilik Tappi tidak bisa mengimpor segala macam barang, tetapi hanya satu jenis komoditi. Sehingga, untuk mengimpor dua jenis komoditi, diharuskan memiliki dua Tappi, dan mereka harus memiliki keahlian serta pengalaman di bidang itu. Tapi, untuk persero niaga yang diberi hak monopoli atau oligopoli diberikan pengecualan. Celakanya, para pemegang monopoli niaga itu belum bertindak sebagai perusahaan niaga yang profesional. Misalnya untuk impor bahan baku plastik atau bahan baku kapas. Mereka ternyata tidak melakukan impor barang-barang tersebut. Justru para produsenlah yang harus melakukan sendiri impor bahan baku itu. Mereka sendiri yang mengontak pemasok di luar negeri, membuka L/C, menanggung asuransi, dan mengeluarkan biaya angkutan. Sudah begitu, mereka masih diharuskan pula membayar semacam fee kepada pemegang hak monopoli impor tadi. Wajar bila kalangan pengusaha, yang bergerak di industri pemintalan dan plastik, nneminta agar regulasi di bidang tata niaga itu dihapuskan . Celakanya pula, beberapa asosiasi kini bertindak sebagai sebuah jawatan pemerintah yang melakukan pungutan. API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) dan Apkindo (Asosiasi Pengusaha Panel Kayu Indonesia) melakukan pungutan bagi setiap kegiatan ekspor - yang akan digunakan untuk memberi "insentif" bagi mereka untuk memasuki pasar sulit. Bagus. Sialnya, para pengusaha yang kemudian melakukan ekspor itu sering masih harus melewati jalan panjang lagi untuk minta pengembalian dan pembebasan bea masuk atas barang mereka. Padahal, P4BM (Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk) didirikan justru untuk memudahkan swasta. Tapi mereka mengeluh formulir untuk minta pengembalian dan pembebasan bea masuk itu rumit dan kelewat banyak. Tentu saja Hamonangan Hutabarat, Kepala P4BM, menangkis tuduhan itu. Kata dia, kesulitan muncul karena pengusaha yang di masa lalu banyak ditolong EMKL dalam soal itu kini harus menyelesaikannya sendiri. "Mereka sudah terbiasa kerja tahu beresnya saja, berapa pun biayanya," katanya. Hamonangan menyebut proses permintaan pembebasan bea masuk dijamin paling lama selesai 14 hari. Izin kemudahan tata niaga 21 hari, dan pengembalian bea masuk 30 hari. "Kalau semua formulir lengkap dan diisi dengan benar, prosesnya cuma dua hari," katanya. Janji seperti itu juga pernah diucapkan SGS, ketika surveyor itu ditunjuk sebagai satu-satunya pihak yang mengurusi pelbagai dokumen ekspor-impor barang d atas nilai US$ 5.000. Di hari-hari pertama kerjanya, memang, SGS sempat kalang kabut. Tapi setelah segala prosedur memperoleh Laporan Kebenaran Pemeriksaan dipahami importir, janji itu bisa diwujudkannya. Kerja sama antara pihak pengelola peraturan dan pengusaha memang diperlukan. Regulasi hakikatnya dibuat untuk mengatur agar para pelaku kegiatan ekonomi bermain secara fair - bukan untuk mendorong mereka melakukan kecurangan. Dengan alasan seperti itu, perusahaan asing yang beroperasi di sini tidak diperbolehkan memasarkan sendiri produknya. Mereka juga tak boleh jadi pedagang pengumpul. Bagi perusahaan konglomerat seperti Mitsui, C.Itoh, ataupun Marubeni, regulasi seperti itu tentu merupakan kekangan. Sebab, mereka sudah biasa bergerak sejak dari mengumpulkan bahan baku, mengolah, sampai memasarkannya sekaligus. Tapi, "Kami tidak bergerak untuk produksi kami saja," tutur kepala perwakilan C.Itoh Jakarta, Hiroshi Inoue. "Kami juga mempromosikan produk-produk Indonesia kepada importir di seluruh dunia sebaliknya, kami pun melakukan promosi barang dari seluruh dunia untuk pemasaran di sini." Kendati ekonomi Indonesia kini sedang seret, C.Itoh yang sudah hadir di indonesia sejak usai Perang Dunia II, masih melihat peluang pemasokan barang-barang modal. "Indonesia membutuhkan restrukturisasi industri. Soal pembayaran, meskipun barang mungkin dari Jerman Barat, bisa kami carikan kredit 5-10 tahun, antara lain dari Dai-Ichi Kangyo Bank," katanya. Nah, tawaran lunak dan menarik itu sudah disodorkan, soalnya tinggal apakah pemerintah masih merasa perlu memberi pagar untuk membatasi kegiatan mereka. Tapi pedagang lokal, yang selalu merasa terancam terlindas, perlu juga ditanya mengenai perlu tidaknya deregulasi di bidang tata niaga itu. M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini