BILA kita perhatikan bundel peraturan pemerintah yang keluar selama 12 tahun terakhir, jumlah peraturan di bidang impor mungkin tak sampai 100. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir justru peraturan-peraturan mengenai impor itulah yang paling banyak dipelototi kalangan pengusaha industri manufaktur. Sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam soal memenuhi kebutuhan bahan baku dan penolong, pengaturan di bidang tata niaga impor itu nyatanya paling banyak memakan ongkos dan pikiran mereka. Konflik kepentingan dunia usaha, sebenarnya, sudah timbul sejak 10 tahun silam. Waktu itu, impor barang modal tinggal sekitar 15,5% dan impor bahan baku sudah sekitar 67,5%. Berarti, produksi barang lokal sudah mulai banyak. Pada 1977 pemerintah mulai memberi proteksi untuk produk lokal. Akibatnya, kue untuk kalangan importir mulai dipotong. Ketika itu pemerintah mulai menelurkan beberapa peraturan untuk membatasi impor yang dianggap sudah sepenuhnya dihasilkan industri lokal. Mula-mula 33 jenis komoditi seperti tekstil, semen, besi beton, glukose, dan rantai sepeda, tak diperkenankan diimpor dengan MLC (merchant's letter of credit, yakni impor dengan kredit 3-4 bulan). Kemudian, MLC untuk semua barang dilarang, importir diwajibkan membayar bea masuk pada saat pem bukaan L/C. Juga, kalau sebelumnya importir cukup menyetol 40%, kini diharuskan menyetorkan 100% harga barang ke kas pemerintah sebelum impor direalisasikan Setoran itu dianggap sebagai jaminan, dan bisa disita pemerintah bila importir ketahuan melakukan penyelundupan fisik atau administratif. Pada 1981, impor pun mulai dibendung dengan sistem tarif. Pada bulan April, impor serat rayon viskosa, misalnya, mulai dikenakan bea masuk 15% dan PPn Impor 2,5%. Tahun berikutnya, bendungan berbentuk tarif itu mulai dikenakan pula pada produk-produk elektronik (televisi, radio) dan kendaraan bermotor dengan bea masuk 30% dan PPn Impor 10%, yang dimasukkan dalam bentuk terurai penuh (CKD). Sedang impor dalam bentuk jadi (built-up) sudah dilarang. Ranjau-ranjau peraturan, yang ditebarkan pemerintah untuk membentengi produkproduk lokal itu, ternyata, malah berkembang makin pesat. Apalagi sewaktu ekonomi Indonesia mengalami boom. Menurut Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Zahri Achmad, birokrasi ternyata berkembang seperti bakteri. "Semakin banyak makanan yang ada, semakin banyak birokrasi," kata Zahri. Setiap departemen mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri, ya, di bidang perdagangan, perindustrian, pertanian, kehutanan, pertambangan, ataupun perhubungan (pelabuhan). Celakanya, peraturan-peraturan yang ditelurkan departemen-departemen itu seperti tidak terkoordinasikan. Peraturan yang ditelurkan oleh beberapa menteri, dalam bentuk SKB (surat keputusan bersama), nyatanya, tidak makin menyatukan gerak langkah aparat birokrasi. "Ambil contoh mengenai impor minyak pelumas," tutur Ketua GINSI. Sesuai dengan Inpres I/1979, pengadaan minyak pelumas, sebenarnya, diatur Menteri Pertambangan & Energi, Menteri Perdagangan & Koperasi, dan Menteri Perindustrian. Setelah melalui prosedur panjang, Januari 1982 ada 67 perusahaan diakui sebagai importir. Ternyata, pada November 1983, Mendagkop (waktu itu Radius Prawiro) menghapuskan hak mereka, dan memberikan hak impor minyak pelumas hanya kepada 4 importir. Menurut peraturan, importir haruslah sudah berpengalaman, tapi ternyata di antara 4 importir BUMN itu hanya 2 yang betul-betul berpengalaman. Akhirnya, dalam pelaksanaan, importir swasta terpaksa meminjam lisensi persero niaga dengan membayar fee Rp 5.750 per drum. Sejak 1982, pembatasan impor pun mulai dikenakan pada bahan baku penolong. Impor bahan baku susu mulai dikaitkan dengan kewajiban bagi industri susu menyerap produksi lokal. Dengan menyerap 1 kg susu lokal, barulah mereka boleh mengimpor susu bubuk setara 7 kg susu lokal. Perbandingan 1 melawan 7 itu terus diciutkan sehingga sekarang berlaku perbandingan 1 melawan 2. Usaha melindungi industri lokal dengan cara seperti itu ternyata diterapkan untuk komoditi kapas, yang menimbulkan banyak keruwetan. Sementara itu, impor barang konsumsi, seperti buah-buahan, juga dikenai pembatasan dengan pemberian monopoli kepada tiga persero niaga. Demikian pula impor bawang putih, yang hanya diberikan kepada perusahaan swasta, yakni Sinar Laris, Sarana Hidup Sejahtera, dan CV Cempaka Putih. Mengapa hanya tiga importir swasta itu yang diberi hak, sebagaimana impor cengkih hanya diberikan kepada PT Mertju Buana dan PT Mega sejak dasawarsa lalu, tidak terlalu jelas. Hak-hak monopoli itu kemudian diberikan pula kepada PT Giwang Selogam, Mega Eltra. Tujuan mengatur tata niaga impor itu, kini, ternyata bukan hanya untuk melindungi industri lokal "Tapi sudah dipakai pula sebagai alat untuk mencari rente dan mengakumulasikan modal," kata seorang pengusaha. Jika sinyalemen itu benar, usaha melakukan debirokratisasi dan deregulasi, tampaknya, harus melewati banyak ranjau. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini