PAJAK Bumi dan Bangunan (PBB) mengundang persoalan. Rumah Sakit (RS) St. Carolus, dan RS Cikini, di Jakarta, belum lama ini mengajukan permohonan bebas PBB. Mengapa? Alasannya: Kedua RS itu, menurut para pengelolanya, lebih banyak berpraktek untuk tujuan sosial daripada komersial. Dr. A. Mariono, Direktur Pelayanan Kesehatan St. Carolus, mengaku, "Tidak mencari keuntungan, tapi hanya mencari penghasilan yang semuanya digunakan untuk bisa bertahan dan meningkatkan pelayanan pada masyarakat. " Alasan yang sama dikemukakan juga oleh Direktur RS Cikini, dr. Nico Lumenta. Ia bahkan menganggap diterapkannya PBB pada RS-RS swasta semata-mata hanya karena adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan Surat Edaran Ditjen Pajak yang diterbitkan September lalu. "Lebih dahulu harus dicari kriteria yang tepat, apa yang dimaksudkan keuntungan dalam surat edaran itu," ujarnya. Memang, kendati Ditjen Pajak telah memberikan keringanan PBB, berupa potongan sebesar 50%, RS-RS swasta tampaknya masih merasa diperlakukan tidak adil. Ini bukan hanya disebabkan edaran itu secara langsung telah membebaskan PBB bagi RS milik pemerintah. Tapi juga karena dalam surat edaran itu disebutkan: RS swasta yang berorientasi mencari keuntungan termasuk obyek PBB. Pergunjingan mengenai "istilah keuntungan" ini, akhirnya menjalar juga ke daerah-daerah. Di Yogya, misalnya, dua RS swasta, Bethesda dan Panti Rapih, yang biasanya menyetorkan Ipeda masing-masing sekitar Rp 3 juta per tahun, dengan PBB ini malah ikut-ikutan mengajukan surat permohonan bebas. Sebab, masing-masing kini diharuskan menyetor Rp 24 juta, dan Rp 11 juta. Alasannya sama. "Kami ini 'kan melayani masyarakat, jadi jelas kami mempunyai fungsi sosial, dan sudah selayaknya dibebaskan dari PBB," kata Sugeng Amir Marwoto, Sekretaris Direksi RS Panti Rapih. Tidak hanya itu, Sugeng juga menunjuk salah satu Peraturan Menteri Kesehatan yang menyebut upaya pelayanan medis swasta didirikan atas dasar fungsi sosial. "Jadi agaknya, belum ada kesepakatan bahasa antara pihak pajak dan Departemen Kesehatan," ujarnya. Meskipun ada korting 50%, Panti Rapih tetap melayangkan surat permohonan pembebasan juga. Sulitnya menentukan sebuah usaha bisa disebut komersial atau tidak untuk sebuah RS swasta diakui Dirjen Pajak Salamun A.T. Lain halnya dengan RS pemerintah, yang dibebaskan, "Karena dengan banyak menampung orang yang tidak mampu hingga menyebabkan RS pemerintah selalu merugi," ujarnya. Banyaknya protes, memang, menandakan pihak pajak harus bekerja ekstrakeras. Protes lain misalnya datang dari IPTN. Pabrik pesawat terbang di Bandung ini protes ketika PBB 1986 ditetapkan sebesar Rp 400 juta. Setelah tawar-menawar akhirnya diturunkan menjadiRp 360 juta. Tapi pihak IPTN tetap tidak menerima, dan hanya membayar Rp 189 juta, sesuai dengan perhitungan yang dilakukan akuntannya. Alasannya, petugas pajak yang melakukan perhitungan tidak teliti. "Mereka main pukul rata saja, masa tanah dan bangunan di belakang kali, nilainya disamakan dengan yang ada di jalan protokol." kata Rochendi, Humas IPTN. Karena alasan itu maka pihak IPTN belum mau membayar, dan meminta petugas pajak meninjau kembali. Nah, kalau sudah banyak yang meminta peninjauan kembali, sambil menunda pembayaran, tentunya, yang repot pihak pajak juga. Llhat saja dari target penerimaan PBB 1986/87 Rp 284 milyar, yang semester I tahun anggaran berjalan baru terkumpul Rp 120 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini