Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produk garmen dan tekstil ilegal terus membanjiri Indonesia.
Industri garmen nasional sulit bersaing dengan produk impor.
Membanjirnya impor tekstil memukul pelaku industri lokal.
SURYAMIN Halim mengeluarkan empat bungkus plastik, dua berisi pakaian anak-anak dan dua lainnya pakaian orang dewasa. Suryamin, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia atau Apregindo, lantas menunjukkan perbedaan barang-barang tersebut kepada sejumlah jurnalis yang hadir dalam sebuah acara di Mal Sarinah, Jakarta Pusat, Jumat, 5 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika memamerkan pakaian anak, Suryamin bercerita bahwa barang tersebut ia beli dari sebuah pasar tekstil di Jakarta Pusat. Harga satu setel kaus dan celana anak itu, dia mengungkapkan, Rp 35 ribu. Ia lantas menunjukkan pakaian anak lain yang dibeli dari salah satu toko retail anggota Apregindo yang harganya Rp 150 ribu sepasang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikutnya, Suryamin menunjukkan kaus buatan pabrik lokal dari salah satu toko anggota Apregindo yang harganya Rp 200 ribu per buah. Harga kaus tersebut ternyata lebih tinggi daripada kemeja yang ia beli di pasar tekstil yang seharga Rp 150 ribu.
Menurut Suryamin, barang-barang murah itu tidak memiliki label berbahasa Indonesia serta stiker hologram bertulisan "SNI" atau Standar Nasional Indonesia. Hal ini, dia menjelaskan, menjadi tanda bahwa produk yang dijual di pasar tersebut adalah produk impor ilegal. “Kalau impor resmi ada label bahasa Indonesia dan stiker hologram," katanya.
Impor baju ilegal menjadi momok bagi pelaku industri tekstil dan pengusaha retail nasional. Produk-produk selundupan ini murah lantaran tidak membayar bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) dan tidak memenuhi ketentuan SNI. Pemerintah mengenakan BMTP terhadap 134 pos tarif produk pakaian dan aksesori pakaian sejak November 2021 hingga November 2024 dengan nilai Rp 19.260 sampai Rp 63 ribu per potong untuk tahun pertama. Nilainya berangsur-angsur turun.
Di pasar retail, barang selundupan ini bersaing dengan produk lokal yang juga menyasar konsumen kelas menengah ke bawah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan masuknya produk ilegal dapat terlihat dari perbedaan data ekspor di negara asal dengan data impor tekstil di Indonesia. Berdasarkan penelusuran Tempo di situs Trade Map atau pusat data statistik dunia yang dikembangkan International Trade Centre, terdapat selisih angka nilai ekspor pakaian jadi dari Cina ke Indonesia dibanding nilai impor dari Cina ke Indonesia.
Pada 2023, misalnya, nilai ekspor produk pakaian jadi dengan kode HS 6109 dari Cina ke Indonesia US$ 39,6 juta. Sedangkan nilai impor dari Cina ke Indonesia untuk produk dan periode yang sama hanya US$ 19,9 juta. Artinya, ada selisih sekitar US$ 20 juta.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung, Nandi Herdiaman, menduga pelonggaran ketentuan impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 turut memuluskan masuknya produk-produk ilegal tersebut. Dia curiga barang-barang itu masuk antara lain melalui peti kemas yang tertahan di pelabuhan beberapa waktu lalu dan kemudian dibebaskan pemerintah.
Nandi mengatakan para pengusaha konfeksi sulit bersaing dengan barang selundupan karena harganya bahkan di bawah harga bahan baku pakaian buatan produsen skala kecil-menengah. Belakangan, pengusaha konfeksi yang bertahan menerapkan strategi lain, yaitu menjual produk dengan volume besar dengan harga murah. Pengusaha berupaya mengurangi harga pokok produksi dengan menekan biaya penjahit. “Lama-lama sudah tidak ada lagi yang berminat menjadi tukang jahit.”
Serbuan produk ilegal pun disadari oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Ia mengatakan kaus impor yang dijual dengan harga di bawah Rp 50 ribu per potong patut diduga masuk melalui jalan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sebab, Zulkifli menjelaskan, kaus impor resmi semestinya terkena bea masuk Rp 60 ribu per potong. “Jadi kalau ada harga segitu enggak mungkin. Berarti enggak betul cara masuknya,” tuturnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024.
Karena itu, Kementerian Perdagangan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Impor Ilegal bersama Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, serta asosiasi pengusaha. Zulkifli berharap tim ini bisa melacak dan memberantas barang-barang ilegal yang merugikan industri lokal.
Di luar persoalan impor ilegal, harus diakui industri nasional mesti bersaing dengan pabrik tekstil dan garmen di beberapa negara seperti Cina, Vietnam, dan Bangladesh. Negara-negara tersebut memiliki beberapa faktor yang membuat harga produknya bisa lebih murah ketimbang buatan Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta mengatakan keunggulan itu membuat nilai ekspor tekstil dan garmen dari negara-negara tersebut jauh lebih tinggi daripada produk Indonesia.
Redma merinci beberapa faktor pendukung pada setiap negara tersebut. Bangladesh, misalnya, menurut Redma, bisa menekan harga produk lantaran upah pekerjanya jauh lebih murah daripada Indonesia.
Voice of America pada 7 November 2024 melansir artikel yang menyebutkan Bangladesh menaikkan upah minimum pekerja garmen menjadi 12.500 taka per bulan atau sekitar Rp 1,7 juta per bulan. Sedangkan di Indonesia, upah minimum di wilayah sentra produksi garmen sudah di atas Rp 2 juta. Bahkan upah minimum di beberapa kota dan kabupaten lokasi kawasan industri manufaktur di Jawa Barat sebesar Rp 3-5 juta per bulan.
Lain lagi dengan Vietnam. Menurut Redma, upah minimum di Indonesia tak berbeda jauh dengan di negara itu. Namun Vietnam memiliki keunggulan berupa dukungan pemerintah untuk membangun industri hulu yang lengkap sehingga bahan baku bisa diperoleh dari dalam negeri. Berkebalikan dengan itu, Indonesia masih harus mengimpor sejumlah bahan baku. “Karena itu, dari harga dan kecepatan produksi, kita kurang bersaing,” ujarnya.
Jika dibandingkan dengan di Cina, ucap Redma, upah buruh tekstil dan garmen di Indonesia sejatinya lebih murah. Di Cina, upah pekerja tekstil dan garmen Rp 7 juta per bulan. Namun ada faktor lain yang membuat barang Cina lebih murah, yaitu harga energi. Biaya gas di Cina, Redma menjelaskan, sebesar US$ 4 per juta metric British thermal unit (MMBTU), sementara di Indonesia US$ 12 per MMBTU.
Cina juga menerapkan Sistem Rabat Pajak Ekspor atau Export Tax Rebate yang memungkinkan eksportir mengklaim pengembalian pajak. Belakangan, harga barang buatan Cina juga makin murah lantaran negara tersebut sedang mengalami kelebihan pasokan karena produknya barangnya tidak terserap pasar internasional. “Murahnya makin keterlaluan,” kata Redma.
Menurut Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono, kelebihan pasokan di Cina bermula ketika meletus perang dagang dengan Amerika Serikat pada 2018. Situasi itu membuat produk Cina tak terserap oleh pasar Amerika Serikat yang menjadi salah satu tujuan ekspornya. Masalah itu makin pelik setelah terjadi pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik. Akibatnya, Cina harus mengalihkan pasar ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat, pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Reni Yanita, juga mengatakan masalah geopolitik global berdampak menurunnya permintaan pakaian jadi dan alas kaki dari negara-negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Beberapa negara seperti Turki, India, dan Vietnam juga menerapkan restriksi perdagangan melalui baik instrumen tarif maupun nontarif.
Kelebihan pasokan produk tekstil dan pakaian jadi di Cina menjadi perhatian banyak negara. Ketua Federasi Industri Tekstil Korea Choi Byung-oh mengatakan kondisi ini menghancurkan ekosistem manufaktur global. “Kita perlu mendiskusikan langkah-langkah penanggulangan tidak hanya dengan Taiwan, tapi juga dengan Jepang,” ucapnya seperti dilansir Maeil Business Newspaper pada 18 April 2024. The Hindu pada 1 Januari 2024 juga melaporkan serbuan kain impor di India yang menekan industri lokal. Presiden Federasi Asosiasi Penenun Gujarat mengatakan para produsen kain di sana berencana memangkas produksi 20 persen.
Ketika produksi berlebih, tutur Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa, produsen di Cina cenderung menjual barang seperti pakaian dengan harga jauh lebih murah. Barang itu kemudian masuk ke negara lain melalui impor legal dan ilegal. “Karena itu, pemerintah harus bertindak seperti beberapa negara yang sudah menerapkan hambatan perdagangan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Han Revanda Putra dari Jakarta dan Anwar Siswadi dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Susah Membendung Barang Murah"