MENCURI ternyata tak lagi perbuatan memalukan bagi sebagian masyarakat kita. Bayangkan, hampir 100 orang penduduk Kota Manna, Bengkulu -- di antaranya 15 pegawai negeri dan tiga polisi -- pekan-pekan ini secara bergiliran terpaksa diadili di pengadilan setempat. Mereka dituduh selama dua bulan terus-menerus "menjarah" barang muatan KM Tanimbar, yang terdampar di perairan setempat. KM Tanimbar berbobot mati 12 ribu ton itu, 14 Oktober tahun lalu, berlayar mulus meninggalkan Tanjungpriok. Tapi sebelum tiba di Telukbayur, Padang, kapal itu menabrak batu karang sekitar 300 meter dari garis pantai Kota Manna, Bengkulu Selatan. Saat itu memang badai dan ombak besar menggila di bawah siraman hujan lebat. Kapal pun tenggelam separuh pada kedalaman 5 meter. Syukur, 22 penumpang dan awaknya bertahan dalam kapal hingga pertolongan datang besok paginya dari darat. Tapi dua hari berselang, ratusan penduduk berbondong-bondong naik perahu menguras isi kapal itu. Ada yang kecipratan rokok, radio, kabel listrik, TV, minuman botol, dan sebagainya. Penjarahan isi kapal sekitar 14 ribu ton -- yang ditinggalkan awaknya dua pekan kemudian -- bahkan berlangsung saban malam hampir dua bulan. Tak peduli pada gempuran ombak sebesar rumah, penduduk asyik bak semut mengerubuti gula. Korban pun berjatuhan. Selain tujuh penduduk dinyatakan hilang ditelan ombak, dua lainnya ditemukan mati di geladak kapal. Namun, "musibah" paling menarik adalah hampir 100 penduduk Manna itu berurusan dengan peradilan. Senin pekan ini, 8 Oktober, Muhidin bin Takdir bersama tujuh temannya, misalnya, diadili Pengadilan Negeri Manna untuk yang ke-18 kalinya. Menurut catatan TEMPO, di antara 100 terdakwa itu terdapat 15 pegawai negeri dan tiga orang oknum sersan satu polisi. Ketiga oknum itu, Martahan Tampubolon Usman Saleh, dan Meli, akan diadili Mahkamah Militer Bengkulu bulan ini juga. Mereka, menurut Kapolwil Bengkulu, Kolonel Mansuri Soetedjo, dituduh meminjamkan perahu motornya kepada penduduk untuk menjarah isi kapal itu dengan sistem bagi hasil. Toh tak semua terdakwa m~en~gaku ~~bersalah. Di persidangan Senin pekan ini, sebagian terdakwa malah merasa terjebak dalam kasus itu. Seperti diungkap pengacara terdakwa, Ansyori Baksim, setelah jatuhnya korban sembilan orang tadi, Pemda ~engkulu Selatan pada 18 Oktober 1989 membentuk Tim Pengamanan Muatan KM Tanimbar. Tujuannya untuk menyelamatkan isi kapal dari jarahan penduduk. Untuk itu tim membuat kontrak kerja dengan HNSI Manna yang melibatkan 30 orang nelayan. Mereka diberi upah Rp 50 ribu per perahu motor isi kapal yang bisa didaratkan. Nah, suatu malam 13 nelayan yang diupah HN~SI digerebek di atas kapal itu. Padahal, mereka waktu itu terpaksa bermalam di atas kapal karena cuaca sangat buruk. Tapi alasan tak bisa diterima tim dengan dalih saat itu sudah malam -- dan karenanya mereka dituduh mencuri. Maklum, kontrak kerja itu hanya berlaku siang hari saja. Dandim Bengkulu Selatan, Letnan Kolonel Suwandi, tetap menganggap ke-13 orang itu, seperti yang juga ditangkap sebelumnya, telah mencuri isi kapal. "Bagaimanapun penduduk itu telah menjarah barang yang bukan miliknya." Pemilik barang yang diangkut KM Tanimbar itu pun sebenarnya tak mengadukan hal itu ke pihak berwajib. Karena seperti tertuang dalam surat PT Comorotama Mustika Jakarta selaku pemilik kapal itu kepada Gubernur Bengkulu pada 6 Juni lalu, merekalah yang bertanggung jawab atas semua kerugian pemilik barang. Betul-betul sebuah pesta pora yang tak lagi peduli dengan hukum dan rasa malu. Atau memang karena rakyat di lapisan bawah semakin kekurangan. Sebab, nyawa pun tak lagi mereka pedulikan. ~~~~~~Bersihar Lubis & Marlis (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini