Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Panen Raya Ini Untuk Siapa Sebenarnya

Di tengah produksi beras meningkat & panen raya melimpah, bulog mencanangkan tahun kualitas. akibatnya para petani mengeluh karena harga gabah jatuh. wawancara dengan wardojo & bustanil arifin. (eb)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN sepanjang Desa Kedung Jaya, Karawang, menampakkan pemandangan istimewa. Tumpukan gabah, dalam jumlah mencolok mata, kelihatan teronggok berderet memenuhi teras rumah-rumah penduduk. Sekali ini, selepas panen raya bulan April lalu, petani di daerah lumbung padi di Jawa Barat itu tidak bisa sepenuhnya menikmati hasil panen mereka. Agak di luar dugaan, tampaknya, banyak KUD kini enggan membeli gabah mereka. Di pelbagai daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, hari-hari ini jumlah KUD yang menolak membeli gabah petani makin bertambah banyak saja. Apa boleh buat, KUD terpaksa membuka pintu separuh, gara-gara gabah milik mereka ternyata banyak yang ditolak Sub-Dolog. Penolakan, demikian kepala Bulog Bustanil Arifin di DPR, pekan lalu, jelas tak akan terjadi jika gabah milik KUD itu memenuhi syarat. Menurut Bustanil, persyaratan kualitas yang dikehendaki Bulog adalah persyaratan fisik yang hampir semuanya dapat dikerjakan manusia, agar gabah dan beras yang dibeli tahan disimpan. Syarat itu, antara lain, kadar air dalam gabah tidak lebih dari 14%. Gabah hampa harus sudah dibersihkan, hingga batas paling tinggi tinggal 3%. Butir kapur tidak boleh lebih dari 5%. "Hanya syarat seperti itu yang dikehendaki Bulog, tidak muluk-muluk, bahkan dapat dikerjakan secara manual," katanya. Tapi syarat itu rupanya sulit dipenuhi kebanyakan KUD. Jika salah satu dari syarat itu tidak terpenuhi, maka serta-merta Sub-Dolog, sebagai tangan terdepan Bulog, akan menolaknya. Kalau sudah begini, KUD biasanya lalu melempar gabah tadi ke pasar bebas, tentu, dengan harga bantingan - biasanya jauh di bawah harg? dasar yang Rp 175 per kg. Nah, supaya kas koperasi ini tidak runyam, pembelian gabah dari petani terpaksa diperketat. Akibatnya mudah ditebak: gabah kering panen (GKP) petani jatuh harganya. Di Tuban dan Bondowoso, Jawa Timur, harganya hanya bergerak antara Rp 8.000 dan Rp 9.000 per 100 kg. Sedangkan di Karawang malah rata-rata hanya Rp 7.000. Padahal, dalam keadaan normal, harga GKP ini Rp 10.000 - Rp 12.500. Sialnya lagi, sudah harganya jatuh, pembelian oleh sejumlah KUD di Karawang tidak bisa dilakukan secara kontan. "Karena penjualan ke Sub-Dolog seret, akibatnya uang yang diterima tidak banyak. Padahal, uang itu diperlukan untuk membeli gabah dari petani," ujar Burhani, sekretaris KUD Tani Mukti, Desa Cibuaya, Karawang. Supaya kerugian petani dan KUD itu tidak makin menjadi-jadi, Bustanil Arifin menganjurkan agar mereka menahan gabah itu untuk sementara. Kalau mungkin, gabah dalam penyimpanan itu dirawat dengan baik. Bila perlu, dijemur untuk mengurangi kadar airnya, atau ditampi guna mengurangi kadar hampanya. Dengan cara itu, katanya, harganya niscaya meningkat (Lihat: Kami tidak Pernah . . . ). Prof. Sjamsoe'oed Sadjad, guru besar agronomi IPB, setuju dengan anjuran itu. Kalau perlu, katanya, untuk biaya pengeringan itu pemerintah memberikan subsidi. Menurut dia, langkah itu dipandang lebih layak dibandingkan menyarankan petani supaya menyimpan gabah mereka di lumbung pribadi. Bagaimanapun, petani akan lebih baik menyimpan hasil panennya berupa uang, bukan berwujud timbunan gabah. "Buat apa Bulog memiliki gudang dalam jumlah besar kalau tidak untuk menampung gabah petani," katanya. Persoalannya adalah sampai berapa lama petani mampu menahan gabah untuk diperbaiki mutunya. Pengalaman menunjukkan, banyak petani kecil di sini, yang setelah panen terpaksa segera menjual sebagian panen mereka untuk membayar kembali kredit Bimas. Petani-petani kecil, menurut sebuah penelitian, lazimnya tidak bisa menyimpan gabah untuk mencukupi kebutuhan keluarga sampai panen berikutnya. Petani jenis ini, yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha (pada 1980), berjumlah 11 juta orang. Mereka, boleh jadi, tak bakal tahan menghadapi tekanan harga mengingat panen raya Maret-Mei ini berdekatan dengan saat menjelang Lebaran. Para tengkulak mungkin akan panen: mereka bisa mendikte harga beli GKP itu sesuka hati. Bagi KUD yang cukup cerdik dalam menghadapi tekanan itu, saat-saat seperti sekarang sesungguhnya memberikan peluang baik untuk sedikit-sedikit melakukan taruhan cukup besar. KUD Tani Makmur di Desa Wonosari, Tanjungmorawa (Sumatera Utara), misalnya, sengaja membeli gabah kurang memenuhi syarat sebanyak 25 ton dari petani seharga Rp 161 per kg, Mei lalu. Sesudah dirawat dan ditingkatkan mutunya hingga memenuhi syarat, gabah itu hendak dijualnya Rp 200 per kg, pada Agustus nanti. Syukur kalau Sub-Dolog mau membelinya. "Kalau tidak, kami akan lihat-lihat siapa penawar paling tinggi," kata seorang pengurusnya. Jumlah KUD dengan akal panjang semacam ini, mudah-mudahan, cukup banyak. Hanya dengan cara menahan diri seperti itu, kejatuhan harga gabah bisa ditahan sampai musim panen berikutnya. Di depan anggota DPR, Bustanil mengingatkan keterbatasan peranan Bulog dalam mengendalikan harga itu. Katanya, Bulog bukanlah merupakan satu-satunya pembeli gabah dan beras, sekalipun untuk mempengaruhi pasar agar harga tidak anjlok. Bulog melakukan pengadaan dalam negeri. Itu pun, kata Bustanil, jumlah beras yang bisa dibeli Bulog selama ini hanya berkisar 3% sampai 8% dari produksi nasional. Sisanya, sebagian besar, tetap berada di tangan petani dan beredar di masyarakat. Ambil contoh tahun lalu: Dari produksi beras 25,8 juta ton, yang dibeli Bulog untuk pengadaan dalam negeri hanya 2,5 juta ton, atau 9,7% dari produksi (Lihat: Grafik 1). Sisa yang tidak terserap itu, sekarang, ternyata jadi faktor penekan petani kecil. Menurut Faisal Kasryno, direktur-Pusat Penelitian Agro Ekonomi Departemen Pertanian, para petani kecil itu biasanya menghadapi problem dalam penyimpanan, kalau mereka ingin menahan gabah untuk mengurangi tekanan harga. Secara ekonomis, katanya, dengan keadaan harga beras yang cenderung turun, penyimpanan akan tidak menguntungkan. "Karena susutnya besar. Jadi, yang bisa dilakukan adalah mengeringkan gabah hingga Bulog mau menerimanya," katanya. Kesulitan petani dan KUD, yang berkepanjangan hingga klmi itu, sesungguhnya sudah dimulai sejak pemerintah memperkenalkan jenis-jenis padi varietas unggul tahan wereng (VUTW). Jenis varietas IR-36 dan IR-38, misalnya, saat masak antara anakan dan indukannya tidak serempak. Menurut Faisal Kasryno, dengan pemupukan berat, jenis anakan vanetas Ini bisa banyak. Anakan yang tidak matang serentak ini akhirnya menyebabkan kandungan bulir hijau makin banyak juga. Untuk mencegahnya, jarak tanam perlu dlperpendek, pupuk dikurangi, hmgga anakan sedikit. "Jadi, yang salah bukan perintahnya, tapi teknologinya secara keseluruhan yang perlu diubah," katanya, pekan lalu. Selain masaknya tidak serempak, varietas jenis IR ini juga cenderung lebih mudah rontok dibandingkan varietas lama. Untuk menghindarkan penyusutan karena rontok, para petani biasanya kemudian merontokkan gabahnya di sawah ketika panen. Sialnya lagi, gabah jenis varietas ini biasanya mempunyai kadar air sampai 25%. Karena itu, untuk mencegah perubahan warna dan bau, gabah itu perlu cepat dikeringkan. Tapi untuk menjemur, banyak petani dan KUD tidak mempunyai fasilitas cukup, yang bisa digunakan bila puncak panen tiba. Mungkin karena itu, butir mengapur dan butir rusak dari gabah varietas ini makin meningkatjumlahnya selama masa penyimpanan. Gabah varietas Cisadane, yang banyak ditanam di Karawang, bahkan mudah rusak jika digiling. Tentu saja, gabah dan beras seperti ini bakal tidak laku dijual Rp 187,7 per kg ke Sub-Dolog. Gabah dan beras hancur-hancuran semacam ini ternyata cukup besar jumlahnya. Dari gabah 684 ribu ton, yang diperiksa Sucofindo, pada tahun anggaran lalu, 67 ribu ton ditolak karena dianggap tidak memenuhi syarat. Menurut Bustanil Arifin, kasus penolakan semacam ini sebenarnya sudah terjadi sejak 1971. Tahun itu, katanya, Bulog menolak gabah sekitar 27% dari volume yang dijual padanya. Soal kualitas gabah dan beras itu sesungguhnya bukan barang baru. Sejak 1974, pemerintah sudah mengatasi mengenai kualitas ini. Standarnya hanya berubah sedikit, terutama yang menyangkut butir hampa, butir kapur, butir rusak, dan butir kuning. "Memang dalam pelaksanaan ada Dolog yang streng. Tapi itu 'kan untuk mengamankan gabah atau beras yang sudah ada dalam stok mereka," katanya, Senin pekan ini. Menurut Bustanil, toleransi kualitas pernah diberlakukan hanya untuk komponen tertentu, seperti butir kapur. Kelonggaran itu dimungkinkan pada 1969-1970, terutama untuk beras, karena ada pengaruh faktor bawaan varietas dan pemanenan yang kurang tepat. Toleransi butir kuning untuk produksi gabah juga pernah diberlakukan di Aceh dan sejumlah daerah tertentu, karena kualitas gabahnya jelek gara-gara padi dijemur di sawah selepas panen. "Bulog sama sekali tidak pernah memberikan toleransi kadar air, karena sangat mempengaruhi daya simpan gabah dan beras," katanya. Pendapat itu diperkuat oleh Prof. Ibrahim Hasan, Deputi Pengadaan dan Penyaluran Bulog, yang menyebut bahwa gabah dengan kadar air sampai 15% hanya bisa tahan disimpan selama dua minggu. Kalau 14,5%, hanya tahan dua bulan. Dan jika tidak cepat disalurkan, gabah tadi bisa jadi kecambah atau hancur sama sekali. Menurut Ibrahim, "Persyaratan yang ditetapkan pemerintah itu sesungguhnya masih di bawah standar internasional." Anggapan itu benar adanya. Muangthai, eksportir beras tradisional selama puluhan tahun, misalnya, menetapkan, butir rusak tidak lebih dari 1%, butir kapur 3%, dan butir kuning 1%. Sedangkan di sini, butir rusak 1%, butir kapur 5%, dan butir kuning 2%. Longgarnya standar itu memang sengaja dilakuktan Bulog mengingat gabah yang dihasilkan petani sesungguhnya hanya dicadangkan untuk pengadaan dalam negeri, bukan guna kepenungan ekspor. Dalam menyeleksi gabah dan beras milik KUD, menurut Bustanil, Sub-Dolog bertindak cukup luwes. Untuk faktor yang bersifat bawaan, seperti butir kapur atau butir rusak, Bulog bisa memberikan toleransi dan menetapkan harganya berdasarkan tabel rafaksi. Sebab, butir kapur itu, jika gabahnya digiling, sebagian akan berubah jadi tepung. Dolog juga tak segan-segan melakukan penyuluhan di Jawa Tengah, yang memberikan gabah dengan derajat sosoh rendah, dan volume menir yang berlebihan. Syukur, cacat karena faktor teknis itu akhirnya bisa diatasi dengan memperbaiki unit-unit penggilingan kecil di sana. Karena sejumlah kelemahan gabah dan beras lokal itu, Faisal Kasryno berpendapat, beras pengadaan dalam negeri Bulog belum siap untuk diekspor. "Kecuali kalau kita mau grading kembali," katanya. Harganya pun ternyata kurang bersaing, misalnya untuk harga beras medium di Jakarta (Lihat: Tabel II). Jalan cukup panjang, tampaknya, masih harus ditempuh beras varietas unggul tahan wereng ini. Pemerintah memang tak bosan-bosannya mencari varietas baru, yang cepat waktu tumbuhnya, tinggi produktivitasnya, dan enak rasanya. Dari usaha panjang itu, muncul varietas Cisadane, Asahan, Krueng Aceh, dan IR. "Tapi ada juga cacat padi semacam Cisadane itu: warnanya tidak putih benar, dan tidak bisa lama disimpan," ujar Bustanil. Kecepatan pemerintah menurunkan padi jenis VUTW terbaru seolah bagai berlomba dengan serangan hama paling mutakhir. Gencarnya serangan itu, tentu, tidak akan menghentikan usaha intensifikasi yang dilakukan pemerintah. Seperti diketahui, metode dasar program intensifikasi Bimas mulai diletakkan pada tahun anggaran 1963-1964, dengan merintis pembukaan sawah percobaan IPB di Karawang seluas 100 ha, dalam demonstrasi masal (Demas). Pancausaha Demas itu meliputi penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan yang baik, pemberantasan hama dan penyakit, serta metode bercocok tanam yang baik. Guna pembelian pupuk dan pelbagai sarana produksi, petani diberi kredit, termasuk di situ penyediaan sejumlah uang tunai untuk biaya hidup. Dalam praktek, kredit ini ternyata lebih banyak jatuh ke pengurus Koperasi Pertanian Rakyat melalui lurah, bukan kepada perorangan. Akibatnya mudah ditebak: kredit banyak 'nyangkut di situ. Menurut Dr. Mubyarto, dalam bukunya Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, tunggakan kredit dalam sistem Blok Bimas ini selama 1965--1970 mencapai Rp 6 milyar (65% dari seluruh pinjaman yang diberikan). Dari sini, pemerintah kemudian memperkenalkan sistem Bimas Gotong Royong, yang dilakukan selama tiga musim sejak 1968 sampai 1970. Sebagai penyedia dana, BRI di situ hanya menyediakan bagian dari biaya hidup. Sedangkan pupuk buatan dan obat-obatan diimpor oleh kontraktor asing. Dari jumlah kredit Rp 482 juta, yang kembali ke BRI ternyata hanya 51%. Sebabnya cukup jelas: produksi tidak mencapai target, dan banyak pengurus menyalahgunakan pembiayaan itu. Menurut Mubyarto, sistem Bimas Gotong Royong ini merupakan titik hitam dalam sejarah intensifikasi padi - walaupun bisa dianggap berhasil dalam memperkenalkan varietas PB-5 dan PB-8. Sesudah gagal dengan kedua program itu, BRI lalu diminta menerapkan hasil percobaan Bimas Nasional yang Disempurnakan yang berjalan baik di Yogya pada musim hujan 1969-1970 dan musim kemarau 1970. Kredit diberikan kepada perorangan. Berbarengan dengan program itu, muncul pula program Intensifikasi Masal, yaitu areal yang tidak memperoleh kredit pemerintah. Gudang, lantai jemur, kios, penggilingan gabah, sampai ke traktor mini kemudian disediakan. Tapi pinjaman yang dikembalikan untuk membiayai program masal ini berjalan seret. Sampai Desember lalu, tunggakan kredit untuk pembangunan gudang dan lantai jemur masih Rp 518 juta. Sedangkan untuk Bimas/Inmas dan Pengadaan Pangan, masing-masing masih tertunggak Rp 52 milyar dan Rp 3,8 milyar. Cukup mahal memang usaha pemerintah untuk menaikkan produksi beras. Puluhan milyar uang minyak telah ditanamkan untuk menggenjot produksi beras - baik berupa kredit maupun peningkatan sarana, seperti bendungan irigasi - yang naik 4,6% selama Pelita I, naik 3,8% selama Pelita II, dan naik 6,1% selama Pelita III (Lihat: Grafik). Dan pada tahun pertama Repelita IV (1984-1985) kenaikan produksi itu diperkirakan sudah mencapai 7%-8%. Tapi peningkatan produksi itu, ternyata, belum menjamin Indonesia tidak bergantung pada beras impor. Mungkin itu menunjukkan bahwa kenaikan produksi, yang di beberapa tempat sampai menyebabkan surplus, belum merata di semua daerah. "Mungkin saja di sebuah pulau di suatu provinsi, masih ada kekurangan beras," ujar Dr. Iwan Jaya Azis dari UI. "Kalau ini yang terjadi, itu berarti pemasaran dan distribusi antarpulau belum lancar." Anggapan itu ada benarnya. Salah satu indikasinya, Februari lalu, Bulog sampai mengalihkan beras 40 ribu ton dari Karawang ke gudang Dolog Jakarta karena produksi gabah di sana meledak. Pengalihan serupa juga dilakukan dari gudang Indramayu. Menurut Soetjipto dari BPS, yang barangkali meleset dari dugaan pengambil kebijaksanaan adalah anggapan bahwa harga dasar otomatis merupakan harga mmlmum yang diperoleh petani. Pada saat seperti sekarang, anggapan itu ternyata tidak berlaku - hingga menyebabkan harapan banyak petani meleset. "Kerugian ini bisa dibuktikan dengan adanya kesulitan petani dalam mengembalikan kredit, likuidasi kekayaan pertanian berupa tanah, dan sebagainya," katanya. Celakanya, dalam situasi seperti itu, lembaga lumbung desa, yang dulu bisa berperanan dalam mengerem jatuhnya harga gabah, sekarang sudah tidak ada lagi. Menurut Prof. Sediono Tjondronegoro, lembaga lumbung desa lenyap karena petani menganggap harga dasargabah itu bakal dijamin pemerintah. "Jadi, mereka beranggapan buat apa menylmpan gabah, toh tak gunanya," katanya. Jadi, bagaimana mengerem kelatuhan harga gabah itu? Dalam beberapa bulan mendatang ini, Bulog berjanji tidak akan menjual beras tua yang kini tersimpan di gudangnya. Nah, dalam jangka panjang, Sesdalobang Solihin G.P. menganjurkan agar petani beralih menanam komoditi lain, seperti kedelai, jika menanam padi di suatu daerah dianggap tidak menguntungkan. "Carilah komoditi yang punya harga tinggi di pasaran, dan di jamim pemerintah," katanya. Anjuran itu, menurut dia, jelas hanya cocok diterapkan untuk daerah tertentu, terutama di lahan yang tidak memungkinkan padi bisa tumbuh dengan baik. Setelah dihitung-hitung, harga perolehan kedelai di daerah yang curah hujannya sedikit lebih baik dibandingkan dengan padi. Pendeknya, secara sederhana, Solihin menganjurkan agar petani mulai sekarang berpikir untuk mendiversifikasikan tanaman pangannya. Jika anjuran itu ramai-ramai diikuti oleh petani pemilik lahan dengan irigasi baik, boleh jadi, tahun depan Bulog akan teriak-teriak kekurangan gabah. Sementara itu, jeruk, kedelai, dan nanas, sebagai tanaman pangan alternatif, membanjiri pasar. Dari pengalaman, demikian Sediono Tjondronegoro, tidak mudah mengajak petani beralih begitu saja mengganti padi dengan jenis tanaman lain. Dia mengambil contoh ketika di Kendal, pada 1974, petani mengganti padi mereka dengan tembakau untuk menghindari wereng. Wereng memang terusir untuk sementara. Tapi, ketika sawah kembali ditanami padi, wereng datang lagi. "Harga tembakau memang menarik, tapi bagi petani kecil lebih aman menanam padi daripada berspekulasi menanam tembakau," katanya. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta, Medan, Bandung, Yogya, dan Surabaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus