KANTOR Pengacara Syaiful Jalil di Medan, sampai pekan lalu, ramai didatangi rakyat yang tanahnya digali untuk menguruk jalan tol Belawan-Medan-Tanjungmorawa. Pasalnya, pengacara itu berhasil memenangkan gugatan seorang pemilik tanah, Tengku Muhammad Syarifuddin, melawan perusahaan Jepang, Takenaka Nippo Utama J.O. Perusahaan asing itu dihukum hakim membayar ganti rugi Rp 30 juta karena menggali tanah Syarifuddin tanpa izin. Takenaka membangun proyek jalan tol di daerah itu, sejak Juli 1982, dengan rencana biaya Rp 51 milyar. Sebagian dari jalan bebas hambatan itu terpaksa diuruk dengan tanah dan batu milik penduduk, terutama di ruas jalan Kecamatan Petumbak, Medan. Untuk itu, Takenaka terpaksa mengontrak tanah penduduk. Di Desa Lantasan Lama, misalnya, Takenaka mengontrak 25 hektar tanah milik 37 kepala keluarga untuk dijadikan tanah galian dengan harga Rp 200 per m3. Ternyata kemudian, tidak semua tanah yang digali Takenaka sudah terikat kontrak dengan perusahaan itu. Tanah milik Syarifuddin di Desa Tumbak, misalnya, yang luasnya tiga hektar. Syarifuddin, yang tidak lagi tinggal di desa itu, baru tahu belakangan setelah tanahnya dikorek sekitar 12 ribu m3. Syarifuddin tentu saja memprotes. Tapi tidak dipedulikan pimpinan Takenaka: alat-alat berat perusahaan Jepang itu masih saja bercokol di sana. Karena hampir menimbulkan keributan camat setempat turun tangan, Juni tahun lalu. Menurut camat Petumbak, tanah yany diributkan Syarifuddin itu adalah milik Udin dan Amri Nasution, pemegang hak grant nomor 14 dan 92. Tanah itu, menurut Camat, sudah dikontrakkan Udin dan Amri kepada Takenaka. Syarifuddin tidak punya cara lagi untuk menuntut haknya selain meminta bantuan Pengacara Syaiful Jalil. Melalui Syaiful, ia menuntut ganti rugi Rp 10 ribu per m3, untuk tanahnya yang diambil Takenaka. Pengacara Takenaka, Adhan Gusti, menganggap tuntutan Syarifuddin itu seperti khayalan saja: "Mana mungkin kami memberikan ganti rugi. Kami 'kan sudah mengontrak tanah itu." Ia juga meragukan Syarifuddin sebagai pewaris yang sah dari tanah itu karena keterangan itu hanya diberikan camat. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, Hartomo, ternyata berkeyakinan, tanah yang digali Takenaka itu merupakan milik sah Syarifuddin beserta ahli waris almarhum ayahnya. Setelah memeriksa tanah itu, Hakim juga berkeyakinan bahwa milik Syarifuddin itu telah digali Takenaka, sehingga menimbulkan bekas seperti kolamkolam. Tapi Hakim tidak bisa menerima tuntutan agar Takenaka membayar ganti rugi Rp 30 ribu per m3. "Harga itu terlalu mahal untuk daerah itu," ujar Hartomo di sidang. Sebab itu, Hartomo menetapkan ganti rugi sebesar Rp 2.500 per m3. Berdasarkan penetapan itu Takenaka wajib membayar ganti rugi Rp 30 juta kepada Syarifuddin. Selain itu, Hakim juga menetapkan sita untuk jaminan tiga buah traktor dan dua buah truk Takenaka. Kemenangan Syarifuddin itu menjadi kabar penting di kalangan pemilik tanah di sepanjang jalan tol itu. Sebab itu, menurut Syaiful Jalil, tidak kurang dari 20 orang penduduk berdatangan ke kantornya dan memintanya memperjuangkan hak mereka. Di antara penduduk yang meminta bantuan hukum itu juga terdapat orang-orang yang semula telah terikat kontrak dengan Takenaka. "Tapi, masa tanah kami hanya dihargai Rp 200 per m3," ujar Syaiful, menirukan pengaduan para penduduk yang minta bantuan itu. Bakal seru, tampaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini