Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tugu-tugu datu pangganagana

Kelompok samen dan kelompok nurdin, sama-sama marga lumbantobing, berselisih tentang silsilah moyang mereka datu pangganagana. pengadilan negeri tarutung memenangkan kelompok nurdin. (hk)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN kepala keluarga dari marga Lumbantobing di Tarutung, Sumatera Utara, kini bertengkar tentang asal usul moyang mereka, Datu Pangganagana. Dua kelompok mempunyai silsilah dan tugu peringatan yang berbeda untuk mendiang. Pengadilan Negeri Tarutung, yang memeriksa perkara rumit ltu, belum lama ini memutuskan bahwa salah satu dari silsilah itu tidak sah. Kelompok yang kalah itu, yang diwakili seorang guru SD, Samen Lumbantobing, berjumlah sekitar 300 kepala keluarga. Mereka meyakini bahwa Datu Pangganagana itu adalah generasi keempat Raja Lumbantobing. Ayah Datu Pangganagana, menurut mereka, adalah Raja Namorahian, cicit Raja Lumbantobing. Raja Namorahian, konon, mempunyai dua orang istri. Istri pertamanya, boru Aritonang, melahirkan tiga anak laki-laki, Raja Jaelae, Raja Bonandolok, dan Raja Parumaera. Setelah boru Aritonang meninggal, Raja Namorahian yang sudah tua itu kawin lagi dengan gadis jelita, boru Siahaan. Raja Namorahian mangkat ketika boru Siahaan lagi mengandung Datu Pangganagana. Raja Jae-Jae kemudian menikahl ibu tirinya. Ada yang meriwayatkan, pernikahan itu terjadi ketika Datu Pangganagana masih dalam kandungan, dan ada pula yang mengatakan setelah boru Siahaan melahirkan. "Memang tidak ada fakta tertulis tentang kisah itu. Tapi cerita itu kami dapat dari generasi ke generasi," ujar Samen. Tapi cerita Samen itu dibantah kelompok Nurdin. Menurut Nurdin, yang dalam sengketa itu mewakili sekitar 500 kepala keluarga, Raja Namorahian hanya mempunyai dua orang putra dari boru Aritonang, yaitu Raja Jae-Jae dan Raja Bonandolok. Raja Parumaera, kata Nurdin, bukanlah dilahirkan boru Aritonang, melainkan hasil perkawinan Raja Namorahian dengan boru Siahaan. Setelah Raja Namorahian mangkat, menurut mereka, Raja Jaelae mengawini ibu tirinya dan mendapatkan anak yang merupakan nenek moyang mereka, Datu Pangganagana. Pertentangan antara kedua kelompok itu sempat reda setelah diadakan musyawarah. Waktu itu, 28 Desember 1982, semua pihak sepakat: Datu Pangganagana adalah anak Raja Jae-Jae atau cucu Raja Namorahian. Tapi kesepakatan itu, kata kelompok Nurdin, belakangan diingkari oleh kelompok Samen yang membangun tugu Datu Pangganagana di Desa Simanampang, Tarutung, dan memproklamasikan Mendiang sebagai anak Raja Namorahian. Padahal, tujuh tahun lalu, kelompok Nurdin telah mendirikan pula tugu Datu Pangganagana sebagai anak Raja Jae-Jae, yang kemudian mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri Tarutung, 1984. Peresmian tugu kelompok Samen, September 1984, mendapat reaksi keras dari kelompok Nurdin. Akibatnya, upacara peresmian itu dibubarkan oleh petugaspetugas Polres Tapanuli Utara dan Kodim setempat. Peralatan pesta kelompok Samen disita oleh lebih dari 100 orang petugas keamanan yang turun ke lapangan. Persoalan akhirnya terpaksa dilanjutkan di pengadilan. Ketua Pengadilan Negeri Tarutung, Agustinus Hutauruk, memutuskan bahwa silsilah kelompok Nurdin yang sah. Sebab itu, tugu yang dibangun oleh kelompok Samen dengan biaya sekitar Rp 10 juta harus dibongkar. Keputusannya, kata Hutauruk, diambil berdasarkan keterangan-keterangan saksi dan pernyataan tertulis tokoh-tokoh Lumbantobing. Sayangnya, keputusan Hutauruk belum menyelesaikan sengketa. Kedua kelompok keturunan itu kini banyak tidak bertegur sapa. Padahal, sebagian dari mereka merupakan keluarga intn Samen, misalnya, dalam perkara itu bertarung melawan kakaknya sendiri, Bernard Lumbantobing, yang berada di kubu Nurdin. Bahkan Morausim Lumbantobing berbeda kubu dengan ayah kandungnya, Marulim Lumbantobing. "Entahlah, kok begini jadinya," kata Marulim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus