Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sarta, Ke Pengadilan Apa ?

Pelda m. sarta yang bertugas sebagai komandan pos polisi di kesawan, medan, membunuh istri gelapnya, leginem. ia dipecat, timbul persoalan pengadilan mana yang berwenang mengurusnya.(krim)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAMA singkat terjadi malam hari di kesibukan lalu lintas Jalan Katamso (Medan). Dimulai dengan terdengarnya dua letusan pistol dan keluhan pendek seseorang "Aduh, mak!" Segera perhatian orang sekitar kejadian itu tertarik pada sesosok tubuh wanita, mengenakan celana panjang warna gelap, berkemeja lengan pendek dan memakai jaket hijau kepolisian, terkapar di aspal yang basah oleh hujan gerimis. Tapi tak ada berani mendekat. Sebab, seorang laki-laki berpakaian preman yang berdiri dekat perempuan tersebut, memperagakan pistolnya sambil mengancam: "Jangan mendekat, saya polisi!" Ia kemudian berlalu dengan mengendarai sepeda motornya. Kejahatan berlangsung di muka umum, pertengahan bulan lalu, tanpa seorang pun berani menangkap pelakunya. Tapi memang tak perlu repot-repot. Si pelaku, yang mengaku polisi tadi, memang seorang polisi yang bertugas sebagai Komandan Pos Polisi di Kesawan, daerah perdagangan Kota Medan. Malam itu juga, 14 April, Pelda M. Sarta (45 tahun) menyerahkan diri kepada Kepolisian (Kotabes) Medan, berikut senjata api yang diakuinya digunakan menembak Leginem. Besoknya, Kepolisian Sum-Ut (Kodak 11) menyiarkan peristiwa tersebut. Alasan Sarta membunuh Leginem (28 tahun), istri gelapnya, disebutkan "karena pertengkaran". Adalah Siti Aisyah (42 tahun), istri sah Sarta, kemudian mencoba menjelaskan duduk soal menurut pengetahuannya. Dipecat di Tempat Beberapa hari sebelum peristiwa itu, begini menurut cerita ibu dari 9 anak tersebut, Leginem selalu merongrong Sarta. Ia minta dibelikan rumah. Karena rumah yang ditinggalinya belakangan sudah ketahuan, bahkan Aisyah pernah pula melabraknya ke sana. Tak segan-segan Leginem mendatangi Sarta di kantornya dan mengomel tak karuan di muka anggota polisi lainnya. Pun, malam itu, lagi-lagi Leginem mendatangi Sarta di kantornya dan melontarkan segudang omelan. Malu terhadap bawahannya, Sarta membawa "istri gelapnya" makan malam di sebuah warung, tak begitu jauh dari Pos Polisi Kesawan. Di warung itu, begitu cerita seorang pelayan kepada TEMPO, pasangan tersebut masih bertengkar. Dari warung itu sebenarnya Sarta hendak mengantarkan Leginem pulang ke rumahnya di Kampung Baru. Tapi di tengah jalan, seperti diceritakan Sarta kepada Aisyah belakangan, Leginem bertingkah. Ia mencoba merebut pistol dari pinggang Sarta. Dan, entah bagaimana bisa terjadi, Sarta mendadak mata gelap dan menembaknya. Sebuah peluru mengenai dada kiri dan satu lagi menembus leher Leginem yang malang itu. Dianggap merusak citra kepolisian, begitu menurut Wakil Kepala Seksi Penerangan Kodak Sum-Ut, Kapten Nyonya S.A. Boru Tobing, Sarta "dipecat di tempat". Pemecatan itu, menurut perwira penerangan tersebut, merupakan tindakan disiplin. Sedangkan perkara kejahatannya sendiri, dengan tuduhan membunuh seorang wanita, tetap akan diadili Mahkamah Militer. Belum diadili sudah dipecat? Urusan disiplin, barangkali karena itu perwira yang berhak menghukum tak perlu menunggu keputusan pengadilan. Namun yang bakal jadi persoalan, seperti kata seorang perwira ABRI, adakah seorang bekas militer dapat diadili di Mahmil? Seseorang yang sudah dipecat dari dinas ketentaraan (di sini termasuk Polri), ujar perwira tadi, kedudukannya sama dengan seorang purnawirawan: "Menjadi rakyat biasa." Dan pengadilan bagi rakyat biasa tentu bukan Mahmil. Letjen M. Jasin, misalnya, ketika dituduh menghina kepala negara diperiksa kejaksaan -- bukan provost atau POM-ABRI. Bila perkara berjalan terus, tentunya, purnawirawan tersebut akan diadili di lingkungan peradilan umum. Sedangkan dalam peristiwa (bekas) Letkol Suyono dan (bekas) Kapten Bastari di Surabaya beberapa waktu lalu, keduanya dipecat dari dinas kepolisian setelah Mahmilti memvonisnya demikian -- selain hukuman penjara. Sebelum diadili, keduanya berstatus diskors dari jabatan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus