DRAMA singkat terjadi malam hari di kesibukan lalu lintas Jalan
Katamso (Medan). Dimulai dengan terdengarnya dua letusan pistol
dan keluhan pendek seseorang "Aduh, mak!"
Segera perhatian orang sekitar kejadian itu tertarik pada
sesosok tubuh wanita, mengenakan celana panjang warna gelap,
berkemeja lengan pendek dan memakai jaket hijau kepolisian,
terkapar di aspal yang basah oleh hujan gerimis.
Tapi tak ada berani mendekat. Sebab, seorang laki-laki
berpakaian preman yang berdiri dekat perempuan tersebut,
memperagakan pistolnya sambil mengancam: "Jangan mendekat, saya
polisi!" Ia kemudian berlalu dengan mengendarai sepeda motornya.
Kejahatan berlangsung di muka umum, pertengahan bulan lalu,
tanpa seorang pun berani menangkap pelakunya.
Tapi memang tak perlu repot-repot. Si pelaku, yang mengaku
polisi tadi, memang seorang polisi yang bertugas sebagai
Komandan Pos Polisi di Kesawan, daerah perdagangan Kota Medan.
Malam itu juga, 14 April, Pelda M. Sarta (45 tahun) menyerahkan
diri kepada Kepolisian (Kotabes) Medan, berikut senjata api yang
diakuinya digunakan menembak Leginem.
Besoknya, Kepolisian Sum-Ut (Kodak 11) menyiarkan peristiwa
tersebut. Alasan Sarta membunuh Leginem (28 tahun), istri
gelapnya, disebutkan "karena pertengkaran". Adalah Siti Aisyah
(42 tahun), istri sah Sarta, kemudian mencoba menjelaskan duduk
soal menurut pengetahuannya.
Dipecat di Tempat
Beberapa hari sebelum peristiwa itu, begini menurut cerita ibu
dari 9 anak tersebut, Leginem selalu merongrong Sarta. Ia minta
dibelikan rumah. Karena rumah yang ditinggalinya belakangan
sudah ketahuan, bahkan Aisyah pernah pula melabraknya ke sana.
Tak segan-segan Leginem mendatangi Sarta di kantornya dan
mengomel tak karuan di muka anggota polisi lainnya.
Pun, malam itu, lagi-lagi Leginem mendatangi Sarta di kantornya
dan melontarkan segudang omelan. Malu terhadap bawahannya, Sarta
membawa "istri gelapnya" makan malam di sebuah warung, tak
begitu jauh dari Pos Polisi Kesawan. Di warung itu, begitu
cerita seorang pelayan kepada TEMPO, pasangan tersebut masih
bertengkar.
Dari warung itu sebenarnya Sarta hendak mengantarkan Leginem
pulang ke rumahnya di Kampung Baru. Tapi di tengah jalan,
seperti diceritakan Sarta kepada Aisyah belakangan, Leginem
bertingkah. Ia mencoba merebut pistol dari pinggang Sarta. Dan,
entah bagaimana bisa terjadi, Sarta mendadak mata gelap dan
menembaknya. Sebuah peluru mengenai dada kiri dan satu lagi
menembus leher Leginem yang malang itu.
Dianggap merusak citra kepolisian, begitu menurut Wakil Kepala
Seksi Penerangan Kodak Sum-Ut, Kapten Nyonya S.A. Boru Tobing,
Sarta "dipecat di tempat". Pemecatan itu, menurut perwira
penerangan tersebut, merupakan tindakan disiplin. Sedangkan
perkara kejahatannya sendiri, dengan tuduhan membunuh seorang
wanita, tetap akan diadili Mahkamah Militer.
Belum diadili sudah dipecat? Urusan disiplin, barangkali karena
itu perwira yang berhak menghukum tak perlu menunggu keputusan
pengadilan. Namun yang bakal jadi persoalan, seperti kata
seorang perwira ABRI, adakah seorang bekas militer dapat diadili
di Mahmil? Seseorang yang sudah dipecat dari dinas ketentaraan
(di sini termasuk Polri), ujar perwira tadi, kedudukannya sama
dengan seorang purnawirawan: "Menjadi rakyat biasa."
Dan pengadilan bagi rakyat biasa tentu bukan Mahmil. Letjen M.
Jasin, misalnya, ketika dituduh menghina kepala negara diperiksa
kejaksaan -- bukan provost atau POM-ABRI. Bila perkara berjalan
terus, tentunya, purnawirawan tersebut akan diadili di
lingkungan peradilan umum.
Sedangkan dalam peristiwa (bekas) Letkol Suyono dan (bekas)
Kapten Bastari di Surabaya beberapa waktu lalu, keduanya dipecat
dari dinas kepolisian setelah Mahmilti memvonisnya demikian
-- selain hukuman penjara. Sebelum diadili, keduanya berstatus
diskors dari jabatan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini