HARGA minyak di pasaran tunai, belakangan ini, benar-benar mengharu-biru. Jumat pekan lalu, melonjak di atas US$ 30 per barel, tapi Senin pekan ini merosot lagi ke US$ 25 per barel. Suka atau tidak, apa pun yang terjadi dengan harga minyak, pasti akan sangat berpengaruh pada pendapatan luar negeri Indonesia, khususnya APBN. Memang, kenaikan harga itu belum bisa dinikmati langsung. Soalnya, harga minyak kita -- yang sudah disepakati Pertamina dengan para pembeli di Jepang, Agustus-September -- masih bermain sekitar US$ 19,19 per barel. Namun, kenaikan harga bisa dipastikan akan mendongkrak harga minyak Indonesia untuk penyerahan September-Oktober depan. Sesuai dengan formula, harga minyak Indonesia tergantung harga pasar tunai dari Minas, minyak Malaysia (Tapis), minyak Australia (Jippsland), minyak Oman, dan minyak Dubai di pasar tunai. Kelima jenis minyak itu memang jadi dasar perhitungan kontrak Pertamina dengan pembeli di Jepang. Satu hal pasti, Indonesia bisa meningkatkan pendapatannya dengan memompa sumber-sumber minyak sebanyak mungkin. Pasar memang sudah menanti. Jepang, yang telah melakukan embargo terhadap Irak dan Kuwait, jelas akan mencari pengganti. Kabarnya, negara tetangga -- seperti Filipina dan India -- telah berpesan kepada Indonesia agar memasok minyak buat mereka jika kurang pemasokan dari Timur Tengah. Kedua peluang tadi cuma ada karena terjadinya krisis di Teluk Persia sebagai buntut dari serbuan Irak atas Kuwait, awal Agustus lalu. Krisis itu diperkirakan tak akan lama, mungkin sudah usai sebelum tahun 1990 berakhir. Jika hal itu berlalu, peluang tak mungkin kembali lagi. Harga minyak diperkirakan turun, bahkan jatuh sampai di bawah US$ 15, dan kuota produksi Indonesia harus diturunkan lagi menjadi 1,2 juta barel per hari. Menteri Pertambangan & Energi Ginandjar Kartasasmita, Jumat pekan lalu, terus terang mengatakan bahwa ia telah menginstruksikan kepada semua perusahaan pengebor minyak agar segera meningkatkan produksi mereka. Ke-17 perusahaan itu, termasuk Pertamina, sekarang ini memompa minyak sekitar 1,288 juta barel. Mereka diharapkan menaikkan penyedotan sampai sekitar 1,3 juta September ini, hingga 1,4 juta barel per hari Desember mendatang. Tahun depan, diharapkan produksi bisa digenjot sampai 1,5 juta barel per hari. Menurut Ginandjar, tujuan utamanya adalah agar harga minyak bisa dikendalikan. Mengapa? Menteri menjelaskan, harga minyak yang wajar adalah sekitar US$ 21 per barel. Kalau sudah US$ 22-25, itu sudah lampu kuning, dan di atas US$ 25, lampu merah. "Bahkan saya terus terang menganjurkan agar produsen di luar OPEC juga meningkatkan produknya," kata Ginandjar. Indonesia mendukung imbauan Arab Saudi dan Venezuela agar OPEC mencari kesepakatan untuk mengisi kekurangan suplai minyak yang telah menyusut sekitar lima juta barel per hari. Jika semua produsen OPEC meningkatkan produksinya, kemampuan mereka diperkirakan akan bertambah sekitar 4,5 juta barel per hari -- berarti masih kurang 500 ribu barel per hari. Sementara itu, suplai dari negara-negara di luar OPEC tak akan memadai karena produksi mereka sudah hampir mendekati kapasitas penuh. Tak semua anggota OPEC setuju pada usul Arab dan Venezuela. Kapasitas produk minyak mentah Indonesia memang tidak besar -- sekitar 1,5 juta barel -- sedangkan alat-alat pengeboran sudah bekerja 85%. Jika pompa-pompa tersebut dipaksa lebih kencang, Indonesia bisa meraih penghasilan ekstra ratusan juta dolar, setidaknya untuk tiga bulan. Tambahan ini diperlukan untuk menutup pendapatan luar negeri pemerintah dari minyak, yang diduga akan menyusut tahun depan. Max Wangkar, Diah Purnomowati, dan Seiichi Okawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini