Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mendorong produksi pabrik farmasi hingga empat kali lipat.
Kenaikan permintaan obat Covid-19 tak diiringi dengan suplai yang memadai.
Obat Covid-19 dijual di atas harga eceran tertinggi.
JAKARTA — Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan lonjakan angka kasus Covid-19 sejak awal Juni lalu menyebabkan kenaikan kebutuhan obat. Namun, kata dia, kenaikan permintaan tak diiringi dengan suplai yang memadai sehingga harga obat Covid-19 melejit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, permintaan obat Covid-19 pada akhir Juni naik dua hingga empat kali lipat. Angka tersebut terus menanjak pada 7-15 Juli 2021, saat kenaikannya hingga 12 kali lipat. “Produksi pabrik-pabrik farmasi padahal sudah dinaikkan hingga empat kali lipat, tapi tetap tidak mampu mengejar lonjakan permintaan,” ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi memberi contoh obat jenis Remdesivir. Kebutuhan obat tersebut mencapai 2,06 juta vial, sedangkan stok yang tersedia baru 504 ribu vial. Menurut dia, kecepatan produksi obat tidak sebanding dengan lonjakan permintaan. "Karena dari mulai produksi sampai obat jadi, dari impor bahan baku, proses produksi, kemudian distribusi ke seluruh apotek, butuh waktu sampai enam minggu," katanya.
Meski demikian, Budi menjamin pemerintah terus berupaya memastikan ketersediaan obat Covid-19 secara merata di setiap daerah. “Untuk Agustus ini mulai banyak obat produksi dalam negeri, begitu juga beberapa obat impor.” Budi memastikan kapasitas produksi akan terus digenjot demi menekan kenaikan harga.
Pelanggan bertransaksi di apotek Kimia Farma, Senen, Jakarta, 12 Juli 2021. TEMPO/Tony Hartawan.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi, Andreas Bayu Aji, mengatakan anggota asosiasinya terus berupaya meningkatkan kapasitas produksi obat-obatan, khususnya yang terkait dengan Covid-19. “Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa perusahaan farmasi dan obat bahkan menerapkan tiga shift, 24 jam bekerja,” kata dia. Pelaku usaha juga bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk mendapatkan fasilitas kemudahan memperoleh bahan baku yang 90 persen masih diimpor.
Andreas mengakui bahwa derasnya permintaan obat di luar perkiraan. Adapun peningkatan permintaan terjadi hampir lima kali lipat dari kondisi normal. “Ketika angka kasus Covid-19 meningkat memang suplainya tidak siap.” Saat ini, kata Andreas, pengusaha farmasi terus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengetahui kebutuhan obat, baik yang bisa dipenuhi melalui produksi dalam negeri maupun impor.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebelumnya mengungkap temuan lonjakan harga obat Covid-19 hingga melampaui harga eceran tertinggi (HET) di sejumlah daerah. Direktur Ekonomi KPPU, Zulfirmansyah, menuturkan temuan itu didasarkan pada penelitian selama 24 hari sejak 6 Juli lalu di kota-kota besar di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. “Penelitian difokuskan kepada daerah yang memiliki ketersediaan obat tinggi tapi harga masih mahal atau di atas HET,” ujarnya.
Zulfirmansyah memberi contoh di Jawa Barat harga obat terapi pasien Covid-19, seperti Remdesivir dan Oseltamivir, dijual melebihi HET. Oseltamivir kapsul dengan ukuran 75 miligram dibanderol Rp 67.500 atau dua setengah kali lipat lebih besar dari HET Rp 26 ribu.
Adapun harga Remdesivir Rp 1,4-2,3 juta per vial, jauh dari batas HET sebesar Rp 510 ribu. Di Jakarta harga Azithromycin berukuran 500 miligram dijual 22 kali lipat lebih mahal dari HET. Obat Covid-19 yang semestinya diedarkan dengan harga Rp 1.700 per tablet dijual dengan harga Rp 18-38 ribu per tablet.
GHOIDA RAHMAH | FRANSISCA CHRISTY ROSANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo