Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pemerintah Janji, IMF Menuntut Bukti

IMF akhirnya menyetujui letter of intent. Mampukah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid merealisasi janji-janjinya kepada IMF?

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI majikan menghadapi buruh yang sudah terlalu banyak utang. Begitulah sikap IMF terhadap Indonesia belakangan ini. Sebuah sikap yang sangat bertolak belakang dengan kondisi Indonesia sebelum krisis, saat Indonesia disebut dunia sebagai good-boy, pembayar utang yang taat—dan tentu saja itu ''sehat" untuk kas IMF atau Bank Dunia. Berubah drastisnya sikap IMF ada kaitannya dengan mentoknya sejumlah rekomendasi IMF di tangan rezim yang ''keras kepala", ketika lembaga internasional itu ''merawat pasien" Indonesia pada akhir 1997. Ternyata, kesulitan IMF itu berlanjut pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. IMF tetap kerepotan berhadapan dengan para pejabat Indonesia. Tak mengherankan jika ''sang majikan" itu sekarang bersikap keras dan banyak menuntut. Indikasi yang jelas adalah ketika IMF menunda menyetujui letter of intent (LoI) yang sudah diteken pemerintah Indonesia 19 Januari lalu. IMF baru menyetujui LoI itu pada sidang eksekutifnya akhir pekan lalu di Washington. Dua pekan jelas bukan waktu yang pendek, apalagi finalisasi LoI itu juga terlambat hampir sebulan. ''Selama ini, begitu LoI diteken Indonesia, IMF langsung setuju dan pinjaman langsung cair," kata M. Ikhsan, ekonom Universitas Indonesia. Tentu, alasan penundaan ini adalah pinjaman untuk Indonesia yang sudah sangat besar, yakni US$ 10,5 miliar, belum termasuk pinjaman untuk tiga tahun ke depan sekitar US$ 5 miliar. Ternyata, alasannya tak cuma jumlah raksasa itu. Sumber TEMPO di pemerintahan mengungkapkan bahwa IMF ingin mengkaji ulang keseriusan pemerintah memulihkan perekonomiannya. Maklumlah, Indonesia memang paling tertinggal dibandingkan dengan Thailand dan Korea Selatan, yang sama-sama kena krisis. Tahun lalu dua negara itu tumbuh 9 persen dan 4,5 persen. Bahkan, Malaysia, yang tak menggubris IMF, mampu mencapai pertumbuhan 6 persen tahun lalu. Sedangkan Indonesia jalan di tempat alias tumbuh 0 persen. Maka, sejumlah perkara dituntut IMF, dan semuanya perkara ''kelas berat". Ambil contoh soal pelaksanaan UU Kepailitan yang berantakan. Banyaknya kasus tak dapat diimbangi oleh pengadilan niaga yang cuma satu dan jumlah hakim yang terbatas. Pemahaman yang belum seragam di antara beberapa pihak akhirnya membuat banyak kasus yang lolos dari jerat kepailitan. IMF juga menuntut agar pemberantasan korupsi tidak ogah-ogahan dan restrukturisasi utang harus dipercepat. Pemberantasan korupsi adalah pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Wahid yang berat. Selain aparat yang sudah dililit ''kanker" korupsi, dari bawah ke atas, aparat kejaksaan pun tampak seperti kurang ''vitamin" untuk membasminya. Ekonom Adrian Panggabean mengungkapkan, dari sejumlah kasus korupsi yang gede-gede, ada kecenderungan Jaksa Agung Marzuki Darusman seperti bekerja sendirian. ''Meskipun punya kredibilitas tinggi, kalau ia tidak didukung aparat di bawahnya, ya, percuma saja," katanya. Jangan heran jika Kepala Perwakilan IMF untuk Asia Pasifik, Hubert Neiss, terus terang mengatakan bahwa IMF menilai pemerintah Indonesia harus bekerja lebih keras lagi. Dan untuk itu diperlukan waktu yang cukup lama. ''Tapi IMF melihat bahwa pemerintah Indonesia sudah menunjukkan keinginan untuk memberantas korupsi," katanya. Wakil Direktur Pelaksana IMF, Stanley Fisher, menambahkan bahwa kata kunci yang harus dilaksanakan oleh Indonesia adalah good governance (pemerintahan yang bersih). Kata itu sering dipakai IMF untuk mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah sampai pada jenjang pejabat tinggi. Saat ini, ada sejumlah kasus ''berat" yang belum juga tuntas, antara lain kasus Bank Bali, kredit macet Texmaco, kredit macet Endang Utari Mokodompit, sampai kasus penyaluran bantuan likuiditas Bank Indonesia yang tidak hati-hati (lihat boks). Jika dihitung-hitung, boleh jadi korupsinya jauh lebih besar ketimbang duit yang dipinjam dari IMF. Lebih celaka lagi, jangan-jangan duit pinjaman dari IMF itu pun ikut-ikutan dikorup. Lembaga keuangan yang berpusat di Washington ini memang belum pernah mengatakan apakah pinjamannya dikorup atau tidak, tapi pinjaman Bank Dunia ke Indonesia yang bocor sudah diakui mencapai sepertiganya. IMF sendiri memang tak bisa main-main. Banyak pengamat dan juga anggota IMF sendiri yang menuding IMF terlalu lunak kepada negara-negara penerima bantuan. Akibatnya, banyak pinjaman IMF yang tidak menghasilkan perbaikan ekonomi yang siginifikan. Indonesia dan Rusia menjadi dua contoh betapa kucuran pinjaman IMF yang miliaran dolar tak banyak membuahkan hasil. Karena itu, IMF sekarang diawasi secara ketat oleh mitranya, Bank Dunia dan negara-negara anggotanya. Seperti rantai yang kait-mengait, mau tak mau, IMF harus mengawasi secara ketat pelaksanaan LoI di Indonesia. ''Bola" ada di tangan Presiden Wahid. Ia harus menghapus kesan bahwa anak buahnya ''malas" bekerja dan cuma bisa bicara. Caranya, setumpuk kasus korupsi harus segera ditangani, dengan kerja keras sehebat-hebatnya—karena tak mudah menghadapi para kakap dengan jam terbang ''korupsi" yang tinggi. Itu tak bisa ditawar karena Indonesia sudah meneken LoI, yang tak ubahnya seperti sebuah janji. Jaksa Agung Marzuki sendiri sudah mengatakan bahwa Indonesia akan membentuk tim gabungan untuk memberantas korupsi, yang melibatkan kejaksaan, kepolisian, BPPN, Bapepam, Bank Indonesia, dan lembaga-lembaga lain yang dibutuhkan. Tapi bukankah di Republik ini ribuan tim dibentuk dengan hasil nol bolong? Jangan-jangan, hanya janji-janji yang bisa diucapkan, sementara IMF—juga rakyat banyak—menuntut bukti. M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Leanika Tanjung, dan Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus