Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Handphone atau umroh. Dua hal yang berbeda. Yang satu sebuah perkakas, yang lain sebuah ibadah. Tetapi keduanya dapat dijadikan hadiah ulang tahun karena keduanya sudah jadi komoditi. Telepon genggam itu diproduksi dan diberi harga. Umroh kini merupakan soal tiket pesawat, uang fiskal, ongkos penginapan. Bagaimana kegunaan telepon genggam itu buat diri si bintang film dan bagaimana arti umroh itu bagi dirinya memang penting, tetapi di luar percaturan. Nilai guna, sesuatu yang konkret dan bersifat individual, telah berubah jadi nilai tukar, sesuatu yang akhirnya bisa diterjemahkan dalam angkaangka uang. Handphone dan umroh: keduanyadua hal yang amat berbedaternyata bisa dipertukarkan.
Tidak berarti bahwa dengan demikian orangorang yang pergi ke Mekah, ketika melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah dan berlarilari, dalam sa'i, antara dua bukit kecil (kini praktis telah sepenuhnya simbolis), dan ketika mereka bersujud di depan Allah di Masjidil Haramsemua ituberlangsung tanpa sesuatu yang bisa menggetarkan, sesuatu yang punya suasana religius yang dalam. Ibadah tidak dengan sendirinya menjadi sesuatu yang profan hanya karena pengurusannya telah jadi bagian dari kegiatan perdagangan. Kapitalisme tak serta-merta mematikan batin sebuah ritual.
Tidak berarti pula bahwa si kakak yang menawarkan hadiah berupa handphone atau umroh itu telah menganggap sebuah kegiatan ibadah sebagai sesuatu yang sama dengan keasyikan bercengkerama, bergosip, mungkin bertengkar, antara manusia satu dan manusia lain, lewat sebuah teknologi yang canggih. Tidak. Lahirnya pasar, terjadinya komodifikasi, hanya memberikan indikasi bahwa sejumlah benda atau kegiatan tertentu tidak tersedia bagi setiap orangseperti angin di udara tersedia bagi siapa sajadan karena itu orang harus membayar, dan ada pihak yang menerima bayar. Dalam komunikasi itu, antara yang "berbelanja" dan yang "menjual", halhal konkret (termasuk cinta, terharu, kangen, marah) yang terjadi antarmanusia tidak diasumsikan perlu dan bisa terjadi. Kadangkadang kapitalisme memang mirip kesepian.
Barangkali itu sebabnya sekarangketika kapitalisme riuh-rendahorang memerlukan handphone dan umroh. Orang mulai gelisah dalam ruang sendirisendiri.
Agama, kata Eric Gellner, adalah "a celebration of community". Mereka yang punya kecenderungan untuk menjadi sufi mungkin akan sebal, tapi orang berbuka puasa bersama, naik haji bersama, umroh bersama. Berjemaah memang bisa meningkatkan nilai ibadah, dan sekaligus juga memberikan semacam suasana lindung bagi jiwa yang mulai hidup dalam komunitas yang retakretak oleh kapitalisme. Tidakkah ini menjelaskan bahwa modernisasi kapitalis, yang pernah diduga akan menyebabkan terlepasnya manusia dari haribaan tradisi dan agama, ternyata menunjukkan gejala yang sebaliknya? Kini hampir semua lapisan, horizontal ataupun vertikal, bicara soal ONH dan ONH-plus.
Juga telepon genggam. Sebab kaum borjuasi atas memang kian membutuhkan benda yang mirip uleguleg ini, yang bisa ditaruh dalam saku dan dibawa ke mana sajasesuai dengan kebutuhan untuk komunikasi cepat dan meningkatnya kesejahteraan orang ramai. Yang juga berarti kongesti. Handphone hampir jadi semacam alat vital di dalam lalu-lintas yang macet.
Tentu saja hasilnya tetap: komunikasi memang bisa jadi lancar, meskipun manusia tidak dengan sendirinya menjadi lebih efisien atau hangat atau sopan. Ada seorang teman yang pernah melihat adegan ini: empat orang masuk ke sebuah restoran. Untuk business lunch . Tapi begitu mereka duduk di satu meja, mereka mulai membuka handphone mereka masingmasing, dan pembicaraan pun terjadi. Tidak di antara orang berempat itu.
Handphone atau umroh. Bila mungkin, orang akan menginginkan memiliki kedua-duanya sekaligus.
Clifford Geertz mengamati masyarakat Islam di Maroko dan Indonesia dan dalam Islam Observed ia menyebut sebuah gejala, yakni "moral double book-keeping". Ada yang menguraikan bahwa gejala "pembukuan ganda" dalam hal moral ini umum terjadi di masyarakat tradisional yang bertemu dengan arus modernisasi yang tak bisa dielakkan. Di satu sisi, kita menyimpan impian dan rencana kita untuk jadi bagian dari sebuah ruang global yang modern. Di sisi lain, kita menyimpan rasa cemas kita kalaukalau kita kehilangan apa yang dulu kita miliki, sesuatu yang sering disebut sebagai identitas. Identitas itu mungkin hanya sebuah gardu yang kita konstruksikan untuk tempat kita berteduh, tetapi ia cenderung menampakkan warna yang keras, berteriak, ketika kita kian merasa terancam kehilangan.
Maka ketika kita punya handphone, dan pergi umroh, terkadang kita tak tahu lagi siapa gerangan yang sesungguhnya kita ingin ajak bicara: Tuhan atau manusia.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo