Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pemilik Rumah Tepuk Tangan

Beberapa tempat perkantoran yang memakai rumah di daerah Menteng dan Kebayoran Baru ditunda pemindahannya. Akibatnya, bangunan kantor real estate banyak yang kosong. (eb)

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG Desember yang lalu, Wakil Gubernur DKI H. Sapi'i masih tegas berkata: "Tidak ada ampun lagi. Tak akan diundur lagi". Ketika itu paling sedikit 265 tempat perkantoran di Menteng dan 86 lainnya di Kebayoran Baru terancam oleh suatu Surat Keputusan Gubernur tahun 1972 yang mewajibkan mereka pindah pada akhir 1976 (TEMPO, 11 September 1976). Seyogyanya itu adalah tahap pertama daerah perumahan di ibukota RI ini dibersihkan dari usaha perkantoran. Tapi ternyata Gubernur Ali Sadikin, "mengampunkan" dan memberi tenggang waktu 6 bulan. Para pengusaha real estate terpukul sekali karenanya. Berbicara dengan TEMPO minggu lalu, para pengusaha ini malah menguatirkan bahwa tenggang waktu itu akan diperpanjang sampai akhir 1977. Pimpinan dari Gedung Arthaloka di Jl. Jenderal Sudirman. misalnya, sudah muram memikirkan besarnya kerugian akibat penguluran waktu ini. Arthaloka bertingkat 18 itu menyewakan 18.000 meter persegi ruangan yang 55 masih kosong. Ada tanda-tanda bahwa sampai akhir tahun ini angka persentase kekosongan itu tak akan banyak berobah. Gedung ini. demikian Emil Sukarno SH. direktur PT Mahkota Real Estate yang memiliki Arthaloka, pada wartawan TEMPO Yunus Kasim, "nanti bisa jadi rumah hantu". Para pengusaha real estate beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak SK 1972, berpacu mendirikan gedung perkantoran. Mereka berani mengadakan investasi walaupun apa yang disebut cost of money (biaya uang) tinggi. Karena kalkulasi tinggi, sewa ruangan mereka juga jadi mahal sekali. Semula, misalnya, mereka tak perduli dengan bunga bank 20% setahun, pajak bahan bangunan berganda sampai 24 dan harga tanah yang membubung. Tega Umumnya sewa di gedung perkantoran sekarang berkisar antara $ 14 dan $ 20 per MÿFD/bulan. Penyewa diminta supaya bayar di muka untuk 2 tahun. Di Singapura, tingkat sewa adalah antara $ 7 dan $ 11 per MÿFD/bulan. Ketika para pengusaha yang tergabung dalam Real Estate Indonesia ber-Munas bulan lalu, Gubernur DKI mengemukakan perbandingan sewa yang menyolok itu. Nanti ada kemungkinan, kata Bang Ali, orang yang punya kegiatan di Jakarta lebih suka berkantor di Singapura saja. Mungkin ini pula sebabnya Gubernur DKI tidak tega memaksa perkantoran pindah dari Menteng dan Kebayoran sekarang ini. Maka hilanglah kepastian dari SK-1972. Maka bertepuk tanganlah para pemilik rumah, yang selama ini mengecap bnanza dengan memungut sewa antara $ 1000 dan $ 2500 per bulan. Dengan kontrak 3 - 5 tahun, banyak di antara mereka berhasil pula membikin rumah di tempat lain hingga, seperti kata orang, "rumah beranak rumah". Menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah tenggang waktu itu bertujuan melindungi para pemilik rumah atau para perusahaan penyewa? Sesungguhnya bukan sedikit perusahaan, bahkan asing pula, yang kini menyewa di daerah perumahan adalah tergolong mampu pindah ke gedung real estate. Seperti kata jurubicara pemerintah DKI pada wartawan TEMPO Harun Musawa: "Sampai batas waktu yang ditentukan nanti, DKI akan tahu mana pengusaha yang benar-benar tak mampu dan mana yang hanya berlagak tak mampu. DKI tak akan menggusur (penyewa) yang tak mampu begitu saja. DKI akan selektif". Sementara itu, PT Faroka, produsen rokok merek Kansas dan Aida. tampak tenang bertahan di Jl. HOS Cokroaminoto, Menteng. "Lihat saja bis-bis kota lewat sini, artinya ini jalan ekonomi", kata manajer Joyosupeno pada reporter TEMPO Klarawijaya. Dari nada pembicaraannya, PT Faroka tidak bermaksud pindah, mlalah punya harapan bahwa Jl. HOS Cokroaminoto tak akan terkena gusur-kantor. "Kalau ada apa-apa", sambung Joyosupeno, "persoalannya diserahkan pada pengacara". PT Faroka rupanya memegang izin bangunan untuk berkantor di situ. Apakah akan ada selektif pula terhadap kasus seperti PT Faroka ini? Fulus Selektif atau tidak, pemerintah DKI tampaknya cenderung secara perlahan mendekati para pengusaha gedung perkantoran supaya bersedia menurunkan tingkat sewa. Para pengusaha mungkin akan mengalah karena terjepit, tapi akan menuntut keringanan sukubunga bank maupun pajak. Tapi soalnya, ini banyak tergantung pada Menkeu Ali Wardhana, bukan pada Gubernur Ali Sadikin. Antara kedua Ali ini sudah selalu tegang mengenai soal fulus, seperti Gubernur DKI pernah berkata pada Munas REI bulan lalu. Bukanlah Arthaloka saja yang kelabakan mencari penyewa. Menurut laporan REI, "tiap-tiap gedung kantor hanya terisi antara 70% - 90%, bahkan bagi gedung-gedung kantor yang baru kurang dari jumlah tersebut. "Kekosongan ruangan kantor ini disebabkan karena banyak kantor-kantor yang mendiami daerah-daerah perumahan dan kamar-kamar hotel". REI menguatirkan bahwa sesama pengusaha real estate akan saling memotong leher sebagai akibat gedung mereka yang tak terisi. Sudah ada 25 gedung perkantoran di Jakarta ini, cuma 10 diantaranya tergabung dalam REI. Beberapa lagi segera menyusul. Gedung Sarinah yang semula untuk toko serba-ada, kini menyediakan sejumlah lantai untuk perkantoran. PT Soevestco yang mengkontrak untuk mengelola lantai 9-10-11, seluas 1500 MÿFD, sudah banting harga - $ 9 per MÿFD/bulan, dan tinggal 1070 saja kosong. Ruangan yang dikelola Sarinah sendiri masih banyak kosong, terutama lantai 12-13. Tapi, gedung Sarinah ini, walaupun sewanya lebih murah, selalu tanpa listrik sejak banjir baru-baru ini. Generator diselnya, terletak di lantai bawah, pernah tenggelam. Kalau PLN tidak segera turun tangan, banyak penyewa mau meninjau kontrak mereka. Gedung perkantoran umumnya berlomba selama ini menawarkan berbagai fasilitas, seperti tempat parkir, AC sentral, telepon dan telex. Siapa tahu, sebentar lagi mereka akan bersaing berkata: Bebas Banjir. Manajer Soebianto di Arthaloka sudah memulainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus