MENJELANG Desember yang lalu, Wakil Gubernur DKI H. Sapi'i masih
tegas berkata: "Tidak ada ampun lagi. Tak akan diundur lagi".
Ketika itu paling sedikit 265 tempat perkantoran di Menteng dan
86 lainnya di Kebayoran Baru terancam oleh suatu Surat
Keputusan Gubernur tahun 1972 yang mewajibkan mereka pindah
pada akhir 1976 (TEMPO, 11 September 1976). Seyogyanya itu
adalah tahap pertama daerah perumahan di ibukota RI ini
dibersihkan dari usaha perkantoran. Tapi ternyata Gubernur Ali
Sadikin, "mengampunkan" dan memberi tenggang waktu 6 bulan. Para
pengusaha real estate terpukul sekali karenanya. Berbicara
dengan TEMPO minggu lalu, para pengusaha ini malah menguatirkan
bahwa tenggang waktu itu akan diperpanjang sampai akhir 1977.
Pimpinan dari Gedung Arthaloka di Jl. Jenderal Sudirman.
misalnya, sudah muram memikirkan besarnya kerugian akibat
penguluran waktu ini. Arthaloka bertingkat 18 itu menyewakan
18.000 meter persegi ruangan yang 55 masih kosong. Ada
tanda-tanda bahwa sampai akhir tahun ini angka persentase
kekosongan itu tak akan banyak berobah. Gedung ini. demikian
Emil Sukarno SH. direktur PT Mahkota Real Estate yang memiliki
Arthaloka, pada wartawan TEMPO Yunus Kasim, "nanti bisa jadi
rumah hantu".
Para pengusaha real estate beberapa tahun terakhir ini, terutama
sejak SK 1972, berpacu mendirikan gedung perkantoran. Mereka
berani mengadakan investasi walaupun apa yang disebut cost of
money (biaya uang) tinggi. Karena kalkulasi tinggi, sewa
ruangan mereka juga jadi mahal sekali. Semula, misalnya, mereka
tak perduli dengan bunga bank 20% setahun, pajak bahan bangunan
berganda sampai 24 dan harga tanah yang membubung.
Tega
Umumnya sewa di gedung perkantoran sekarang berkisar antara
$ 14 dan $ 20 per MÿFD/bulan. Penyewa diminta supaya bayar di
muka untuk 2 tahun. Di Singapura, tingkat sewa adalah antara
$ 7 dan $ 11 per MÿFD/bulan. Ketika para pengusaha yang tergabung
dalam Real Estate Indonesia ber-Munas bulan lalu, Gubernur
DKI mengemukakan perbandingan sewa yang menyolok itu. Nanti ada
kemungkinan, kata Bang Ali, orang yang punya kegiatan di
Jakarta lebih suka berkantor di Singapura saja.
Mungkin ini pula sebabnya Gubernur DKI tidak tega memaksa
perkantoran pindah dari Menteng dan Kebayoran sekarang ini. Maka
hilanglah kepastian dari SK-1972. Maka bertepuk tanganlah para
pemilik rumah, yang selama ini mengecap bnanza dengan memungut
sewa antara $ 1000 dan $ 2500 per bulan. Dengan kontrak 3 - 5
tahun, banyak di antara mereka berhasil pula membikin rumah di
tempat lain hingga, seperti kata orang, "rumah beranak rumah".
Menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah tenggang waktu itu
bertujuan melindungi para pemilik rumah atau para perusahaan
penyewa? Sesungguhnya bukan sedikit perusahaan, bahkan asing
pula, yang kini menyewa di daerah perumahan adalah tergolong
mampu pindah ke gedung real estate. Seperti kata jurubicara
pemerintah DKI pada wartawan TEMPO Harun Musawa: "Sampai batas
waktu yang ditentukan nanti, DKI akan tahu mana pengusaha yang
benar-benar tak mampu dan mana yang hanya berlagak tak mampu.
DKI tak akan menggusur (penyewa) yang tak mampu begitu saja. DKI
akan selektif".
Sementara itu, PT Faroka, produsen rokok merek Kansas dan Aida.
tampak tenang bertahan di Jl. HOS Cokroaminoto, Menteng. "Lihat
saja bis-bis kota lewat sini, artinya ini jalan ekonomi", kata
manajer Joyosupeno pada reporter TEMPO Klarawijaya.
Dari nada pembicaraannya, PT Faroka tidak bermaksud pindah,
mlalah punya harapan bahwa Jl. HOS Cokroaminoto tak akan terkena
gusur-kantor. "Kalau ada apa-apa", sambung Joyosupeno,
"persoalannya diserahkan pada pengacara". PT Faroka rupanya
memegang izin bangunan untuk berkantor di situ. Apakah akan ada
selektif pula terhadap kasus seperti PT Faroka ini?
Fulus
Selektif atau tidak, pemerintah DKI tampaknya cenderung secara
perlahan mendekati para pengusaha gedung perkantoran supaya
bersedia menurunkan tingkat sewa. Para pengusaha mungkin akan
mengalah karena terjepit, tapi akan menuntut keringanan
sukubunga bank maupun pajak. Tapi soalnya, ini banyak tergantung
pada Menkeu Ali Wardhana, bukan pada Gubernur Ali Sadikin.
Antara kedua Ali ini sudah selalu tegang mengenai soal fulus,
seperti Gubernur DKI pernah berkata pada Munas REI bulan lalu.
Bukanlah Arthaloka saja yang kelabakan mencari penyewa. Menurut
laporan REI, "tiap-tiap gedung kantor hanya terisi antara 70% -
90%, bahkan bagi gedung-gedung kantor yang baru kurang dari
jumlah tersebut. "Kekosongan ruangan kantor ini disebabkan
karena banyak kantor-kantor yang mendiami daerah-daerah
perumahan dan kamar-kamar hotel".
REI menguatirkan bahwa sesama pengusaha real estate akan saling
memotong leher sebagai akibat gedung mereka yang tak terisi.
Sudah ada 25 gedung perkantoran di Jakarta ini, cuma 10
diantaranya tergabung dalam REI. Beberapa lagi segera menyusul.
Gedung Sarinah yang semula untuk toko serba-ada, kini
menyediakan sejumlah lantai untuk perkantoran. PT Soevestco yang
mengkontrak untuk mengelola lantai 9-10-11, seluas 1500 MÿFD, sudah
banting harga - $ 9 per MÿFD/bulan, dan tinggal 1070 saja kosong.
Ruangan yang dikelola Sarinah sendiri masih banyak kosong,
terutama lantai 12-13.
Tapi, gedung Sarinah ini, walaupun sewanya lebih murah, selalu
tanpa listrik sejak banjir baru-baru ini. Generator diselnya,
terletak di lantai bawah, pernah tenggelam. Kalau PLN tidak
segera turun tangan, banyak penyewa mau meninjau kontrak mereka.
Gedung perkantoran umumnya berlomba selama ini menawarkan
berbagai fasilitas, seperti tempat parkir, AC sentral, telepon
dan telex. Siapa tahu, sebentar lagi mereka akan bersaing
berkata: Bebas Banjir. Manajer Soebianto di Arthaloka sudah
memulainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini