Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Prabowo Subianto menginstruksikan agar pengecer bisa kembali menjual elpiji kemasan 3 kg.
Masyarakat harus menggunakan KTP untuk membeli elpiji bersubsidi di pengecer yang menjadi sub-pangkalan.
Pemerintah didesak mengatur dengan rinci penerima elpiji bersubsidi.
DI Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, Gunawan baru bisa menukar satu tabung gas melonnya yang kosong. Dua pangkalan yang sebelumnya ia sambangi pada Selasa pagi, 4 Februari 2025, tak punya stok gas elpiji kemasan 3 kilogram tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria 34 tahun itu perlu membeli empat tabung gas elpiji 3 kg. Warga Kelurahan Kelapa Dua, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tersebut membutuhkannya untuk sumber energi usaha cuci pakaian miliknya. Di pangkalan dekat gerai usaha Gunawan, stok barang bersubsidi ini nihil. Dia terpaksa mencari ke tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika mulai mencari gas melon, Gunawan menjelajah tanpa tahu persis lokasi pangkalan yang punya stok. Dia hanya mengandalkan informasi dari tetangganya. "Kami juga bertanya sama orang yang wira-wiri membawa tabung gas. Banyak ketemu di jalan yang juga sama-sama mencari gas," tuturnya, Selasa, 4 Februari 2025.
Dari pangkalan di Kemanggisan tersebut, Gunawan masih akan melanjutkan pencariannya ke lokasi lain hingga bisa mendapatkan empat tabung gas. Dia berharap pemerintah kembali mengizinkan pengecer menjual gas elpiji kemasan 3 kg agar lebih mudah mendapatkannya. Ia tak berkeberatan meskipun harus membayar lebih mahal untuk satu tabung tersebut, yakni Rp 20-25 ribu. Sedangkan di pangkalan harganya Rp 16-18 ribu.
Mulai 1 Februari 2025, pemerintah membatasi penjualan gas elpiji tabung 3 kg hanya di pangkalan. Pengecer tak boleh lagi menyalurkan barang bersubsidi tersebut langsung kepada masyarakat. Salah satu tujuan pemerintah adalah mengendalikan harga. Untuk elpiji bersubsidi, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 16 ribu per tabung isi 3 kg. Sedangkan di tingkat pengecer, harganya bisa terpaut jauh seperti yang disampaikan Gunawan.
Pembatasan tersebut juga berguna membuat penyaluran subsidi lebih tepat sasaran. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Achmad Muchtasyar menyebut pengecer sebagai salah satu kontributor penyaluran subsidi tak tepat sasaran. "Di situlah pintu masuk penyaluran elpiji tidak tepat sasaran," ujarnya. Pemerintah hanya bisa memantau penyaluran barang bersubsidi sampai di tingkat pangkalan.
Sejak 1 Maret 2023, pemerintah mewajibkan pembeli elpiji bersubsidi melaporkan data mereka dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) di pangkalan. Data tersebut rencananya menjadi basis pemerintah menghitung kebutuhan gas sekaligus menentukan masyarakat yang berhak menerima bantuan pemerintah.
Subsidi elpiji selama ini tidak tepat sasaran. Sejumlah kajian menunjukkan penikmat bantuan ini justru bukan masyarakat yang membutuhkan. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan pada 2019 melaporkan sekitar 75 persen subsidi elpiji dinikmati golongan masyarakat mampu. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022, kajian Institute for Development of Economics and Finance menunjukkan 65,6 persen subsidi elpiji yang digelontorkan pemerintah dinikmati golongan masyarakat mampu.
Kebocoran juga terlihat dari data realisasi penyaluran elpiji bersubsidi yang terus membengkak. Sebagai perbandingan, penyaluran elpiji tabung 3 kg mencapai 6,53 juta ton pada 2018. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, pemerintah harus mengalokasikan 8,17 juta metrik ton.
Sejak akhir Januari 2025, Rahman kesulitan mendapatkan stok elpiji kemasan 3 kg untuk warungnya. Pengecer gas bersubsidi di Desa Cinta Kasih, Kecamatan Belimbing, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, ini mengatakan pangkalan sering tak punya pasokan. "Pernah terjadi kelangkaan di dekat rumah karena stok penukaran gas di semua pangkalan kosong," ucapnya.
Ia khawatir makin sulit berdagang lantaran pemerintah memutus pengecer dari rantai distribusi elpiji bersubsidi per 1 Februari 2025. Karena itu, ia mengajukan nomor induk berusaha (NIB) atas nama orang tuanya untuk membuka pangkalan. Meski sudah mengantongi NIB, proses menjadi pangkalan tak mudah ia penuhi. Salah satunya karena keterbatasan modal.
Agar warungnya bisa menjadi pangkalan, ia harus menyiapkan modal Rp 25 juta untuk 100 tabung gas. Sedangkan saat ini ia hanya memiliki 32 tabung di warungnya. "Modal itu menjadi beban kami sebagai pengecer. Ditambah harus memiliki gudang, alat angkut, dan deposito di rekening," tuturnya.
Rahman mengatakan proses menjadi pangkalan dari pengecer tak bisa instan, apalagi di desa atau wilayah kabupaten. "Kalau hendak membuat aturan dengan mengubah pengecer menjadi pangkalan, seharusnya persyaratannya jangan sama dengan pangkalan pada umumnya. Bisa ditambahkan dengan sub-pangkalan yang memang syaratnya mudah, tapi bisa terorganisasi oleh pemerintah," katanya.
Harapan Rahman itu terwujud. Kemarin siang, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengumumkan bahwa pengecer bisa kembali berjualan elpiji bersubsidi mulai 4 Februari 2025. Kebijakan tersebut berubah atas instruksi Presiden Prabowo Subianto.
Agar tetap bisa mengontrol harga dan penyaluran elpiji bersubsidi, pemerintah bakal menjadikan pengecer sub-pangkalan. Pemerintah memulainya dengan pengecer yang sudah terdaftar di PT Pertamina (Persero). "Ada sekitar 370 ribu supplier sekarang. Ini semuanya kami angkat sebagai sub-pangkalan," kata Bahlil.
Pamflet persyaratan membeli gas elpiji 3 kilogram di Kedoya, Jakarta Barat, 3 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra
Sementara itu, pengecer yang belum terdaftar di Pertamina bisa mengajukan diri lewat aplikasi MerchantApps Pangkalan milik perusahaan pelat merah tersebut.
Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, kewajiban sub-pangkalan bakal serupa dengan pangkalan. Mereka harus mendata pembeli tabung gas melon dengan meminta KTP pembeli. Data tersebut kemudian harus dilaporkan kepada Pertamina lewat aplikasi. Selain itu, mereka harus memastikan menjual LPG bersubsidi sesuai dengan HET.
Soal pasokan, Pertamina memastikan tak ada pengurangan stok. Perusahaan menyalurkannya sesuai dengan kuota yang ditetapkan pemerintah tahun ini. Meski begitu, ia mengimbau masyarakat mampu tidak menggunakan LPG bersubsidi dan beralih ke LPG nonsubsidi.
Mendengar rencana kenaikan status pengecer menjadi sub-pangkalan, Manisa, pengecer gas melon di Jakarta Selatan, meminta Pertamina dan pemerintah memberikan harga khusus untuk elpiji bersubsidi. Ia berharap masih bisa mendapatkan keuntungan setelah perubahan status tersebut. "Kami minta harga untuk pedagang sub-pangkalan dikurangi agak lumayan supaya ada uang lebih untuk membayar sewa kontrakan, makan, dan biaya sekolah anak," ujarnya seperti dilansir dari Antara.
Manisa menyebutkan persaingan penjualan elpiji bersubsidi makin ketat. Dia biasanya menjual satu tabung dengan harga Rp 23 ribu. "Kalau menjual lima tabung, untungnya cuma Rp 15 ribu," katanya.
Deni, pedagang eceran lain, mengimbuhkan, pembeli tidak akan khawatir terhadap harga elpiji yang naik. Sebab, lewat pengecer, mereka bisa berbelanja lebih dekat. "Bagi warga, tidak jadi masalah harga elpiji sampai Rp 25 ribu. Yang penting dekat dengan mereka," ucapnya.
Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance Abra Talattov mengingatkan risiko pembengkakan kuota elpiji ukuran 3 kg dengan sikap pemerintah yang kembali melunak soal pengecer. Meski status pengecer berubah menjadi sub-pangkalan dengan pengaturan keuntungan hingga penyalurannya, pemerintah tak mengatur secara rinci penerima subsidi. "Tidak ada landasan hukum pembatasan penyaluran elpiji bersubsidi," tuturnya.
Abra sepakat bahwa pengecer masih sangat dibutuhkan masyarakat. Namun kebijakan di sisi hilir penyaluran elpiji tabung 3 kg harus dibarengi dengan penetapan kriteria baru penerima bantuan pemerintah. Hal yang lebih mendesak, menurut dia, adalah merevisi Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 yang mengatur penerima elpiji subsidi. Dalam aturan itu, pemerintah hanya menyebutkan kelompok yang berhak menerima subsidi adalah rumah tangga, usaha mikro, petani, dan nelayan. "Ini sangat umum." Untuk menghindari gejolak saat membatasi penerima subsidi, pemerintah perlu menyiapkan waktu untuk transisi ●
Yuni Rohmawati dari Palembang berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo