Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerugian menjadi topik utama perbankan global dan pasar keuangan internasional pada akhir 2008. Majalah Business Week memprediksi, penurunan kekayaan masyarakat Amerika mencapai US$ 10 triliun (Rp 105 ribu triliun) pada akhir tahun lalu. Bukan hanya menjadi problem di dalam negeri, masalah kredit macet subprime mortgage perbankan Amerika telah menjalar dan membawa dampak negatif ke berbagai belahan dunia. Kekhawatiran akan resesi ekonomi dunia berakibat pada jatuhnya pasar saham, harga komoditas, dan pasar surat utang di seluruh dunia, termasuk di negara berkembang.
Globalisasi pasar keuangan memang berhasil membawa pertumbuhan ekonomi dunia pada periode 2003-2007. Namun globalisasi pasar keuangan tanpa disertai perilaku kehati-hatian malah membawa keterpurukan dunia pada 2008. Berbagai kasus pelanggaran pasar modal di Amerika pada dekade 2000, seperti kasus Enron, Worldcom, dan yang terakhir kasus Madoff, menunjukkan kepada masyarakat bahwa kita tidak boleh menelan mentah-mentah suatu konsep ekonomi, walaupun itu datangnya dari negara maju.
Memasuki 2009, sejumlah ekonom internasional berlomba-lomba memberikan prediksi ekonomi yang pesimistis. Majalah The Economist menyatakan, ekonomi Amerika akan mengalami resesi pada tahun ini, yaitu dengan pertumbuhan ekonomi negatif (-1 persen). Demikian juga ekonomi negara-negara Uni Eropa akan mengalami kontraksi (-0,9 persen) dan perekonomian Jepang juga minus 0,9 persen.
Perekonomian Asia justru diprediksi tetap tumbuh positif. Cina akan tumbuh 7,5 persen, India 6,1 persen. Meskipun demikian, sejumlah negara Asia juga akan mengalami kontraksi, yakni Singapura minus 2 persen dan Taiwan minus 2,5 persen. Indonesia sendiri diperkirakan masih akan mencatat pertumbuhan positif meski tak setinggi tahun lalu, yakni di kisaran 3,5-5,5 persen. Bank Dunia meramalkan ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,4 persen, sedangkan Bank Mandiri 4,8 persen.
Krisis itu juga telah menyebabkan munculnya persoalan likuiditas. Kondisi likuiditas, kualitas aset, dan situasi permodalan perbankan global akan menentukan pertumbuhan kredit di 2009. Jika rekapitalisasi perbankan global tidak dilakukan, aliran dana akan berhenti sehingga kredit kepada korporasi negara berkembang kemungkinan tidak bisa di-roll over.
Meski sempat seret, likuiditas di pasar keuangan internasional saat ini sudah jauh lebih baik. Likuiditas sempat terhambat pada September lalu ketika Amerika membiarkan perusahaan sekuritas Lehman Brothers bangkrut. Pada saat itu, perbankan global serta-merta mengurangi kredit antarbank karena ketidakjelasan prospek pengembaliannya.
Pada September, suku bunga dolar LIBOR (London Inter-Bank Offered Rate) meningkat drastis menjadi 5 persen, padahal suku bunga bank sentral Amerika pada saat itu hanya 1,5 persen. Kepercayaan terhadap perbankan turun drastis. Untunglah, pemerintah Amerika kemudian menyadari bahwa dalam situasi krisis, teori text book tentang moral hazard tidak bisa diikuti seratus persen. Membiarkan bangkrut suatu bank berukuran besar hanya akan membuat situasi ekonomi bertambah buruk.
Setelah pelajaran dari kebangkrutan Lehman Brothers, pemerintah Amerika memilih bail out sebagai metode untuk memulihkan ekonomi. Pemerintah Amerika kemudian meluncurkan program penyelamatan perbankan US$ 700 miliar. Dana ini digunakan untuk injeksi modal (rekapitalisasi) dan memindahkan aset bermasalah. Penjaminan dana nasabah perbankan dinaikkan dari US$ 100 ribu menjadi US$ 250 ribu.
Metode itu kemudian diikuti pemerintah Inggris, yang meluncurkan program bail out perbankan senilai 500 miliar pound sterling. Pemerintah Jerman, Prancis, dan yang lainnya ikut meluncurkan program penyelamatan perbankan. Selain ekspansi moneter, dunia juga membutuhkan ekspansi fiskal besar-besaran di berbagai bidang, agar roda ekonomi bisa bergerak.
Program penyelamatan ekonomi juga dilakukan bank sentral Amerika, bahkan nilainya sangat besar. Suku bunga kebijakan Amerika telah diturunkan menjadi nol persen. Bank yang kesulitan likuiditas bisa menjual surat berharga kepada bank sentral. Federal Reserve juga bersedia membeli berbagai jenis surat berharga jangka pendek dan jangka panjang. Dengan begitu, The Fed telah berfungsi sebagai bank komersial karena mengucurkan kredit secara tidak langsung kepada sektor riil. Beberapa ekonom memperkirakan aset The Fed nantinya akan menggelembung menjadi US$ 5 triliun atau setara dengan 35 persen produk domestik bruto Amerika.
Bantuan likuiditas The Fed tidak terbatas kepada perbankan. Perusahaan sekuritas seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan lembaga pembiayaan kendaraan bermotor, General Motors Finance Corporation, baru-baru ini juga diberi izin sebagai bank komersial agar bisa mendapatkan injeksi likuiditas dari bank sentral.
Tidak terbayangkan oleh kita bahwa kekuasaan yang besar seperti ini bisa diberikan kepada otoritas moneter/keuangan di Indonesia. Contohnya, Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan pada Desember lalu ditolak DPR. Indonesia tampaknya trauma dengan biaya rekapitalisasi perbankan dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang besarnya Rp 650 triliun untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia pada 1998, sehingga kita kini membatasi wewenang pengucuran bantuan kepada sektor perbankan.
Setelah dilakukan langkah-langkah penyelamatan, suku bunga LIBOR turun menjadi satu persen. Tetapi pinjaman berjangka lebih dari tiga bulan masih harus membayar premium. Satu hal yang perlu dicatat bahwa penurunan suku bunga LIBOR terjadi karena adanya injeksi likuiditas oleh bank sentral global. Artinya, jika likuiditas bank sentral global tidak diperpanjang, sedangkan rekapitalisasi perbankan belum selesai, diperkirakan suku bunga antarbank dalam dolar akan kembali naik.
Jumlah rekapitalisasi perbankan global ditentukan oleh besarnya kerugian yang akan dialami dibandingkan jumlah modal. Kerugian perbankan global per November sudah US$ 986 miliar. Menurut perkiraan IMF, kerugian perbankan global akan mencapai US$ 1,4 triliun, sedangkan modal perbankan global hanya US$ 910 miliar. Dengan demikian, dibutuhkan paling tidak US$ 490 miliar untuk rekapitalisasi perbankan. Kita hanya bisa berharap pemburukan kualitas aset perbankan global tidak berlanjut.
Selain ditentukan oleh selesai-tidaknya rekapitalisasi perbankan global, situasi perbankan Indonesia pada 2009 akan ditentukan oleh kondisi likuiditas rupiah dan kualitas kredit. Inflasi pada tahun ini diperkirakan akan turun dari 11,5 persen menjadi 6,5-7,5 persen, sehingga suku bunga BI Rate bisa diturunkan dari 9,25 persen ke 8-8,5 persen. Tetapi penurunan BI Rate hanya akan diikuti penurunan suku bunga deposito jika perbankan percaya diri dengan likuiditas yang mereka miliki.
Bank kecil dengan rasio loans to deposits (LDR) lebih dari 100 persen tampaknya masih akan menawarkan bunga di atas 12 persen. Sedangkan bank besar yang memiliki kelebihan likuiditas bisa menurunkan bunga deposito dari 12 persen menjadi 10 persen. Jika likuiditas aman, suku bunga kredit bisa diturunkan dari 17 persen menjadi 15 persen.
Tetapi tersedianya likuiditas dan penurunan bunga kredit tidak serta-merta akan membuat pengucuran kredit lebih leluasa seperti pada 2007. Adanya kekhawatiran terhadap kinerja ekspor, risiko pelemahan daya beli masyarakat di luar Jawa karena turunnya harga komoditas, pasti membuat bankir lebih berhati-hati mengucurkan kredit.
Importir juga akan kesulitan karena penurunan permintaan, sedangkan nilai impor menjadi lebih tinggi karena pelemahan rupiah. Situasi politik pada masa pemilihan umum 2009 tampaknya akan relatif stabil karena pemilihan presiden langsung bukanlah pengalaman pertama bagi kita. Namun, adanya pemilu kemungkinan akan melambatkan ekspansi perusahaan, sehingga kebutuhan kredit investasi juga akan menurun.
Sisi positifnya, beberapa bank besar sudah memiliki rasio pencadangan terhadap kredit bermasalah di atas 100 persen dan angka kecukupan modal (CAR) berada di atas 12 persen. Artinya, jika terjadi pemburukan kualitas aset kredit pada 2009, hal itu tidak serta-merta menurunkan laba dan permodalan bank secara signifikan.
Kehati-hatian bank tersebut akan berakibat pertumbuhan kredit secara nasional turun dari 30 persen menjadi 15 persen pada 2009. Kita berharap, pertumbuhan kredit bisa lebih kencang pada semester II tahun ini, dengan asumsi rekapitalisasi perbankan global bisa diselesaikan pada kuartal kedua. Jika kredit nasional bisa melaju di atas 15 persen, hal itu akan menjadi bonus pada akhir 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo