DI ruangan mesin cetak nampak beberapa buruh terkantuk-kantuk.
Di sehuah sudut lain sekumpulan orang selang main kartu. Ada
juga yang sedang asik ngobrol. Itulah suasana di PT Ganaco,
dahulu NV Noordhoff-Kolff yang terkenal itu. Buruhnya yang 300
itu kini sengaja memperlambat kerja (slow-down). Alasan:
perusahaan belum melaksanakan kewajiban.
Sidang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D)
28 Februari 1980 memutuskan PT Ganaco di Jl. Asia Afrika,
Bandung itu untuk membayar kewajiban meliputi upah sejak Januari
lalu, grafifikasi 1977 s/d 1979 dan tunggakan lembur sejak 1
Agustus 1979.
Sengketa buruh dan majikan itu timbul tatkala pemilik : dan
pemimpin tunggal Oejeng Soewarl gana jatuh sakit. Dan
menjadi-jadi ketika pengusaha yang menaruh minat dalain dunia
pendidikan itu meninggal 7 Mei 1979.
Alkisah, gaji Mei sampai Juli pernah dibayarkan sekaligus.
Adakalanya gaji dicicil. Untuk menghadapi itu kaum buIuh yang
bergaji minimal Rp 10.000 dan maksimal Rp 25.000 tanpa tunjangan
itu mendirikan Basis Serikat Buruh Percetakan dan Penerbitan
FBSI PT Ganaco Grup, pada 11 Oktober tahun lalu.
Mereka kemudian memenangkan tuntutannya lewat P4D. Tapi Ganaco
tak bisa memenuhi kewajiban meskipun sudah diberi kelonggaran
waktu. Buruh lantas berpaling ke DPRD Kodya Bandung dan DPRD
Ja-Bar dan menghimbau lembaga itu untuk turun tangan. P4D lalu
menganjurkan agar buruh menggugat lewat pengadilan.
Maka 26 Juli 1980 pengadilan memutuskan menyita gedung
percetakan PT Ganaco untuk kemudian dilelang. Tapi pelelangan
yang hasilnya nanti akan dibagikan kepada buruh jadi
terkatung-katung. Gedung milik Ganaco itu ditaksir bisa laku
sekitar Rp 300 juta.
Muncul Lady Haga
Berbagai kalangan berpendapat kepurusan pengadilan itu memang
berdasar. Wakil Direktur PT Ganaco sendiri, M.I.D. Koesoema
menilai tuntutan buruhnya sebagai "wajar". Tapi katanya, "di
sini tak ada direksi majikan yang bisa mengurus tuntutan buruh."
Maksudnya setelah Oejeng meninggal tak ada pimpinan yang berhak
memutuskan segala sesuatu.
Pihak bank yang semula hendak memberikan kredit investasi kepada
PT Ganaco (Oejeng) akhirnya mengurungkan niatnya. Gara-gara
sengketa keluarga. Ketika jatuh sakit Oejeng Soewargana
memberikan surat wasiat kepada istrinya, Tien Kartini, 36, dan
lima anaknya. Tapi disebutkan pula dalam wasiat itu Ratna Lady
Haga, 33, sebagai istri kedua. "Saya jadi bingung. Saya kira
tak ada orang lain. Tapi mau marah bagaimana. Bapak waktu itu
sedang sakit keras," kata Tien Kartini kepada Hasan Syukur dari
TEMPO.
Tien sendiri minta bagian. Tapi Lady Haga yang juga merasa
sebagai satu-satunya istri yang sah, malah menurut 100%. Tien
ini sudah dicerai tahun 1974," kata wanita langsing, berbibir
tipis dari rumahnya di Jl. Garut, Jakarta kepada Saur Hutabarat
dari TEMPO. Wanita asal Sumba itu mengaku pernah bekerja 9
tahun di City Bank sebagai auditor, dan tak punya anak dari
almarhum Oejeng.
Pengadilan mencoba mencari jalan tengah: memutuskan agar harta
warisan dibagi dua. Tapi baik Tien Kartini maupun Lady Haga
menolaknya. Keduanya lalu naik banding.
Ada tiga perusahaan yang ditinggalkan almarhum Oejeng: PT
Ganaco, Masa Baru dan Sanggabuana. Ketiga penerbitan dan
percetakan itu ditaksir berharga Rp 2 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini