KEKAYAAN Arab Saudi yang berlimpah dari minyak telah
menimbulkan bisnis yan melimpah bagi para kontraktor bangunan
Dari hasil minyaknya itu pemerintah Arab Saudi melakukan
pembangnan besar-besaran terhadap prasarana dn perumahan.
Karena di Arab Saudi sendiri tak tersedia cukup perusahaan
kontraktor yang mampu melaksanakan pembangunan itu,
kontrakkontrak akhirnya mengalir ke para kontraktor asing. Di
antaranya para kontraktor dari Indonesia.
Zaman emas para kontraltor itu sudah berlangsung beberapa
tahun. Tapi pertanyaan kini adalah Sampai kapan bonanza dari
Arab Saudi untuk para kontraktor asing ini masih dapat
dinikmati? Tanda-tanda bahwa bisnis para kontraktor asing di
Arab Saudi sudah melampaui masa puncaknya mulai kelihatan.
Indikasi pertama adalah anggaran belanja pemerintah Arab Saudi
untuk pembangunan perumahan dan prasarana Pada Repelita III Arab
Saudi (19801985), dari anggaran belanja pembangunan sebesar US$
250 milyar--sekitar 15 kali APBN Indonesia 1980/1981--hanya 35%
yang akan diperuntukkan sektor pembangunan perumahan dan
prasarana. Jumlah ini menurun dari 50%, yang disalurkan dalam
Repelita II Arab Saudi yang berakhir tahun lalu.
Bagi para kontraktor asing persentase yang menurun itu sedikit
merisaukan. Mereka umumnya bergerak di bidang pembangunan
prasarana dan perumahan. Para kontraktor Korea Selatan misalnya,
seperti dilaporkan mingguan For Eastern Economi view baru-baru
ini1 sudah mulai banting setir. Dengan sekitar US$ 8 milyar
kontrak yang dipegangnya di Arab Saudi sekarang ini, para
kontraktor Korea Selatan itu adalah paling besar di antara
kontraktor asing yang beroperasi di Arab Saudi.
Didukung oleh 100.000 buruhnva, kelompok kontraktor Korea
Selatan yang masuk di pasaran Saudi sejak 1974 itu, telah
melaksanakan berbagai proyek raksasa, seperti lapangan terbang
international di Ryadh, ibukota Arab Saudi dan kota tentara Raja
Khalid. Mereka juga menggarap proyek gedung universitas
perminyakan yang serha modern itu, Jaringan telekomunikasi dan
proyek pembangunan perumahan di Ryadh.
Tapi pembangunan Arab Saudi pada tahap berikutnya akan lebih
terpusat pada pembangunan industri dasar, industri petro-kimia
dan industri lainnya yang padat teknologi. Kontraktor dari Korea
Selatan, Taiwan, apalagi Indonesia jelas tak memiliki keahlian
dalam pembangunan proyek-proyek seperti itu. Akibatnya sebagian
besar kontrak-kontrak raksasa ini jatuh ke tangan kontraktor
dari negara-negara lain yang sudah maju, seperti kontraktor
Amerika Serikat. Jepang dan Eropa Barat.
Cara yang ditempuh kontraktor Korea Selatan untuk ke bagian
proyckproyek yang padat teknologi itu adalah dengan mendompleng
kontraktor negara-negara maju, lewat semacam usaha patungan dan
usaha sebagai sub-kontraktor. Bagi Indonesia yang sampai
sekarang masih bertaraf sebagai sub-kontraktor di bidang
pembangunan prasarana dan perumahan, jalan keluar yang ditempuh
para kontraktor Korea Selatan itu tentu boleh ditiru.
Tapi nampaknya suasana baru di Arab Saudi itu tak begitu
dirisaukan oleh pihak Indonesia. Dr. Zainul Yasni, Ketua Tim
Koordinasi Ekspor ke Timur rengah, mengakui proyek prasarana dan
pcrumahan yang kelas besar memang sudah mulai jenuh. "Tapi yang
kecil-kecil berjalan terus," katanya.
Ir. Santoso Sutrisno, Direktur Eksekutif Asosiasi Kontraktor
Indonesia juga beranggapan lapangan kontrakting buat Indonesia
masih terbuka luas. "Yang sesuai dengan kondisi kita, yang
puluhan juta dollar masih banyak, terutama di Medinah dan
Mekkah," katanya. Di kedua kota suci itulah para kontraktor
Indonesia merasa lebih banyak mendapat angin. Sampai tahun lalu
Indonesia mendapat borongan yang belum masuk hitungan: US$ 175
juta.
Kini nampaknya ada peluang lain. Selain di kota-kota besar
seperti Jeddah, Ryadh, Mekkah dan Medinah, pemerintah Arab
Saudi mulai melaksanakan pemerataan pembangunan di kota-kota
kecil. "Dan Indonesia yang mengetahui rencana Arab Saudi itu
sedang mempersiapkan diri lebih baik lagi," kata Suradi
Wongsohartomo, Dir-Ut PT Indonesian Consortium Contractor
Industries (ICCI).
Selain sudah memperkuat diri melalui konsorsium para kontraktor
Indonesia di Timur Tengah itu, sebanyak 7.000 orang kini sedang
dilatih untuk menjadi tenaga trampil. Selain mendapat latihan
teori dan praktek di lapangan, kursus enam bulan itu juga
mengharuskan adanya latihan kemiliteran selama dua minggu
latihan yang diadakan di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Ujungpandang itu rupanya ingin menanamkan rasa disiplin seperti
dimiliki tenaga-tenaga trampil dari Korea Selatan yang di Arab
Saudi saja sudah tercatat sebanyak 100.000 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini