Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLTU Cirebon Unit 1 akan masuk program pensiun dini PLTU batu bara.
Program JETP tak menyediakan banyak hibah untuk pensiun dini PLTU batu bara.
Pemerintah menerbitkan aturan penggunaan APBN untuk pensiun dini PLTU batu bara.
DUA lembaga tengah menggelar uji tuntas atau due diligence terhadap pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara Cirebon Unit 1 dalam waktu yang nyaris berimpitan. Bank Pembangunan Asia (ADB) melakukan due diligence untuk pembiayaan ulang (refinancing) PLTU Cirebon 1 di Jawa Barat yang akan masuk program pensiun dini. Sedangkan Indonesia Investment Authority (INA) berencana mengambil alih saham PLTU Cirebon 1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Direktur Utama Cirebon Electric Power Joseph Pangalila mengatakan ADB masuk kerangka Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM). ETM adalah skema kerja sama yang ditawarkan pemerintah Indonesia kepada lembaga internasional, filantrop, dan investor swasta untuk mendukung transisi energi. Menurut Joseph, pembicaraan dengan ADB berjalan sejak 2021. Proses uji tuntas akan rampung pada akhir tahun ini. "Atau kuartal I 2024," katanya pada Rabu, 1 November lalu.
Setelah due diligence selesai, satu tahap program pensiun dini PLTU Cirebon 1 yang memiliki kapasitas 660 megawatt itu sudah dilalui. Pemerintah akan memamerkan kesuksesan tersebut dalam Conference of the Parties 28 atau pertemuan global mengenai perubahan iklim yang akan digelar pada 30 November-12 Desember nanti di Dubai, Uni Emirat Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Direktur Utama Cirebon Power Joseph Pangalila. (https://www.instagram.com/kadin.indonesia.official)
Dalam acara tersebut, Indonesia juga akan memamerkan dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (CIPP) untuk program Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP). "Akan ada sesi khusus di paviliun Indonesia, ini rencana yang ambisius,” ujar Kepala Sekretariat JETP Indonesia Edo Mahendra pada Kamis, 2 November lalu.
Rencana pensiun dini PLTU Cirebon 1 yang digagas Cirebon Electric Power bersama ADB, INA, dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN berjalan sejak tahun lalu. Lembaga-lembaga itu meneken nota kesepahaman untuk program pensiun dini PLTU Cirebon 1 di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 14 November 2022. Saat itu Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan PLTU Cirebon 1 menjadi percontohan karena kepemilikannya mencerminkan pihak swasta nasional dan internasional serta melibatkan perusahaan negara. Asakawa juga menilai PLTU Cirebon 1 memiliki struktur keuangan yang sehat sehingga memudahkan ketika dilakukan refinancing.
Berdasarkan rencana awal, PLTU Cirebon 1 akan beroperasi selama 30 tahun atau hingga 2045. Tapi umumnya masa produksi PLTU mencapai 40-50 tahun. Artinya, jika PLTU Cirebon 1 tidak dipensiunkan, pemiliknya bisa meminta perpanjangan kontrak 10-20 tahun lagi. Dalam program pensiun dini atau early retirement, PLTU Cirebon 1 yang sampai saat ini telah 11 tahun beroperasi akan hidup maksimal hingga 2037.
PLTU Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. (Dok PLN)
•••
PENSIUN dini pembangkit listrik batu bara yang masuk program transisi energi membutuhkan proses panjang dan rumit. Tak hanya menghentikan operasi PLTU sebelum usia pakainya berakhir, pemerintah juga harus mengganti sumber listrik itu dengan pembangkit energi terbarukan. Karena itu, menurut dokumen CIPP, akan ada dampak terhadap keandalan jaringan listrik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pemerintah juga harus mempertimbangkan biaya produksi listrik, termasuk aspek keuangan operator yang membangun pembangkit listrik itu dengan duit pinjaman.
Pembangunan PLTU Cirebon 1 pada 2008 menelan dana US$ 877,5 juta atau sekitar Rp 13,6 triliun. Proyek ini mendapat pendanaan dari Japan Bank of International Cooperation (JBIC), Exim Bank of Korea, ING Group, Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Mizuho Financial Group, dan MUFG Bank. Total pinjaman yang mengucur sebesar US$ 595 juta atau sekitar Rp 9,2 triliun. Kekurangan dana ditalangi oleh para pemegang saham, yaitu Marubeni Corporation yang memiliki andil 32,5 persen, Korea Midland Power Co 27,5 persen, Samtan Co Ltd 20 persen, dan PT Indika Energy 20 persen.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa di Tokyo, Jepang, 29 November 2019. Reuters/Kim Kyung-Hoon
Dalam skema ETM, ADB berperan sebagai lembaga keuangan yang akan mengambil alih pendanaan awal dari JBIC dan bank-bank lain. Dalam dokumen CIPP JETP, tercatat kebutuhan dana untuk program pensiun dini PLTU Cirebon 1 mencapai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,6 triliun. Nantinya, ADB akan menggelontorkan dana murah untuk mengembalikan utang proyek setelah periode operasi PLTU itu dipangkas.
Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo mengatakan pensiun dini PLTU memerlukan dana murah dengan tingkat bunga di bawah pinjaman awal. Menurut dia, dana murah itu bisa berasal dari lembaga keuangan yang memiliki program pembiayaan hijau alias green financing. "Atau idealnya memakai dana hibah, tanpa bunga,” tuturnya. Tapi, faktanya, porsi pinjaman lunak atau dana hibah sangat minim.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara menilai negara maju lebih suka memberikan pendanaan ke proyek energi terbarukan karena dianggap lebih menguntungkan dibanding membeli aset PLTU batu bara yang nilainya terus turun. Selain itu, dia menambahkan, negara maju yang terlibat dalam program transisi energi seperti JETP menghendaki pemerintah Indonesia menggunakan anggaran negara untuk menutup PLTU batu bara.
Persoalan lain adalah negara maju khawatir ada proyek energi kotor dalam portofolio pendanaan yang mereka salurkan ketika ikut menalangi biaya pensiun dini PLTU batu bara. Bhima pun menilai daya tawar Indonesia lemah dalam menagih komitmen negara maju untuk mendanai program tersebut. “Program ini jadi terlihat donor-driven atau diatur oleh donor,” katanya.
•••
DALAM program pensiun dini PLTU Cirebon 1, pemerintah Indonesia dan ADB mengusulkan pinjaman intermediasi keuangan dari Climate Investment Funds Accelerated Coal Transition sebesar US$ 98 juta plus hibah US$ 1 juta. Selain itu, akan ada pinjaman dari ADB sebesar US$ 102 juta, pembiayaan komersial US$ 150 juta, serta pendanaan dari pemerintah Indonesia US$ 500 juta. Millennium Challenge Corporation—lembaga yang dibentuk pemerintah Amerika Serikat—juga berkomitmen memberikan hibah US$ 50 juta sebagai insentif penghentian operasi PLTU dan asistensi teknik senilai US$ 15 juta.
Proses pembangunan unit tambahan PLTU Suralaya di Suralaya, Serang, Banten, 1 Agustus 2023. Antara/Asep Fathulrahman
Dana ini dikumpulkan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI sebagai country platform pembiayaan transisi energi. Pemerintah pun membuka peluang penggunaan anggaran negara untuk mempercepat transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2023, yang terbit pada 4 Oktober lalu. Anggaran negara akan mengucur untuk program pensiun dini PLTU batu bara, percepatan pengakhiran waktu kontrak perjanjian jual-beli listrik, dan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan sebagai pengganti PLTU yang pensiun.
Selesai mengamankan refinancing, operator PLTU batu bara yang akan dihentikan operasinya masih harus bernegosiasi dengan PLN untuk merevisi perjanjian jual-beli listrik. Negosiasi di tahap ini yang bakal alot, antara lain, karena berhubungan dengan tarif listrik dan fleksibilitas persyaratan off-take atau pengambilan pasokan minimum.
Ini yang terjadi antara PLN dan Cirebon Electric Power, pemilik PLTU Cirebon 1. Menurut Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN Evy Haryadi, pembahasan revisi perjanjian jual-beli listrik dilakukan bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Menurut dia, tarif jual-beli listrik tidak akan berubah meski PLTU itu akan berhenti sebelum usia pakainya habis. “Perubahan hanya pada durasi jual-beli listrik yang dipangkas tujuh tahun,” ujarnya.
Selain PLTU Cirebon 1, PLTU Palabuhanratu di Jawa Barat akan dipensiunkan dini dengan skema berbeda. PLN selaku pemilik PLTU Palabuhanratu akan melepas aset pembangkit berkapasitas 969 megawatt tersebut kepada PT Bukit Asam (Persero) Tbk atau PTBA. Dalam dokumen CIPP JETP, tercatat PLTU Palabuhanratu seharusnya berhenti beroperasi pada 2042. Namun PLN akan mempercepatnya menjadi pada 2037 dengan biaya US$ 870 juta atau sekitar Rp 13,5 triliun.
Sekretaris Perusahaan PTBA Niko Chandra mengatakan kesepakatan yang diteken perusahaan dengan PLN baru sebatas principal framework agreement. “Ada proses lanjutan yang harus dilalui,” ucapnya. Menurut Niko, rencana pengambilalihan PLTU Palabuhanratu masih dalam tahap pengkajian.
Sedangkan Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo mengatakan pembahasan krusial mengenai pensiun dini PLTU Palabuhanratu antara lain tentang perlunya penyelarasan peraturan, terutama regulasi yang memungkinkan perpindahan aset PLTU dari semula milik PLN menjadi milik pemasok listrik swasta. Persoalan terbesar dalam skema pelepasan aset ini adalah adanya potensi kerugian negara, misalnya karena pelepasan aset di bawah nilai buku yang bisa menjadi dugaan korupsi di kemudian hari.
PLN berupaya mempertahankan nilai buku aset dalam sistem akuntansinya. Dalam hitungan PLN, aset PLTU dengan kapasitas 1 gigawatt dan berusia 30 tahun memiliki nilai buku US$ 400 juta atau sekitar Rp 6,2 triliun jika hendak dimatikan sebelum masa operasinya habis. Biaya yang lebih tinggi diperlukan untuk menyetop operasi PLTU yang baru dibangun dan memiliki nilai lebih mahal.
Sedangkan pembangkit listrik yang sudah tua, seperti PLTU Suralaya di Banten, akan dihentikan operasinya secara alami. Menurut Hartanto, PLTU Suralaya telah beroperasi lebih dari 40 tahun dan karena itu tidak dibahas dalam kerangka pembiayaan JETP. "Sisa umurnya sudah pendek, PLTU Suralaya akan menjalani natural retirement saja.”
Karena program pensiun dini PLTU batu bara membutuhkan biaya besar, PLN akan mengupayakan berbagai hal untuk menurunkan emisi karbon. Evy Haryadi menyebutkan beberapa upaya lain, seperti coal phase down atau pengurangan batu bara dan natural phase out atau penghentian operasi sesuai dengan masa pakai yang seharusnya. “Jika tidak ada dukungan finansial, upaya pensiun dini tidak bisa dilakukan,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sesak Dana Pensiun Dini".