Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia berupaya melobi dana murah dari JETP untuk program pensiun dini PLTU batu bara.
Indonesia memerlukan US$ 20-30 miliar untuk memensiunkan dini 5,2 gigawatt PLTU batu bara.
Porsi dana hibah dalam skema JETP sangat kecil.
KEMITRAAN Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dijanjikan negara-negara maju dalam pertemuan Group of Twenty atau G20 di Bali tahun lalu rupanya tak sesuai dengan harapan. Pemerintah menghendaki JETP, pendanaan senilai US$ 21,5 miliar atau Rp 335,4 triliun, berisi hibah dan pinjaman berbunga rendah untuk program penghentian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Tapi, kata Kepala Sekretariat JETP Indonesia Edo Mahendra, para pemilik dana tak meminati program itu. "Kebanyakan dari mereka kurang berkenan, atau mungkin belum," tuturnya pada Kamis, 2 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerangka pendanaan JETP membidik lima program transisi energi, yaitu investasi untuk transmisi jaringan listrik, penghentian dini PLTU batu bara, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, penciptaan rantai pasok energi baru dan terbarukan, serta investasi pada pembangkit energi terbarukan intermiten atau yang bergantung pada cuaca serta faktor alam lain. Dana ini berasal dari International Partners Group (IPG) yang terdiri atas Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Edo, pemerintah menghendaki program pensiun dini PLTU batu bara dan investasi jaringan listrik menjadi prioritas JETP. Tujuannya adalah program itu sejalan dengan pembenahan sistem kelistrikan nasional sehingga nantinya pembangkit listrik energi terbarukan yang akan dibangun bisa masuk jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan tidak menyebabkan kelebihan pasokan listrik. "Jaringan transmisi harus diperbarui dan diperluas, sementara PLTU batu bara harus dihentikan dulu untuk memberi ruang pada pembangkit energi terbarukan," ujarnya.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon 1, Jawa Barat, 11 April 2018. [Tempo/Subekti]
Toh, kehendak itu bertepuk sebelah tangan karena proyek jaringan listrik dan pensiun dini PLTU batu bara tidak menjanjikan keuntungan. Untuk menjalankan dua kegiatan itu, Edo menjelaskan, diperlukan pendanaan khusus seperti hibah atau minimal utang berbunga rendah. Walhasil, kelanjutan pendanaan JETP masih membutuhkan proses panjang. Menurut Edo, negara-negara IPG menolak pensiun dini PLTU batu bara karena bertentangan dengan nilai yang mereka anut. IPG memandang pengalokasian dana untuk program pensiun dini PLTU batu bara sama dengan mendanai bisnis batu bara.
Pada Mei lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan melontarkan pernyataan keras tentang JETP. Menurut Luhut, komitmen negara-negara maju itu bak omong kosong. Dia pun meminta IPG tidak hanya memberikan pinjaman dengan bunga komersial tinggi. “Bisa kami lakukan sendiri, kenapa kalian atur-atur? Kalau kalian tak bisa kasih bunga rendah, forget it, karena kalian akan mengganggu perekonomian kami,” ucapnya.
•••
BAGI Indonesia, frasa "just energy transition" atau transisi energi berkeadilan dalam nama JETP kini menjadi pertanyaan. Alih-alih mendorong transisi energi dengan bantuan yang adil dan layak, para pemilik dana JETP malah lebih banyak memberi pinjaman dengan bunga tinggi.
Dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang dirilis pada Rabu, 1 November lalu, JETP untuk Indonesia senilai US$ 11,5 miliar berasal dari negara-negara IPG dan US$ 10 miliar dari Glasgow Financial Alliance for Net Zero yang berisi sejumlah bank besar, yaitu Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. Dari total dana itu, porsi hibah hanya US$ 292,3 juta atau Rp 4,55 triliun.
Di tengah kondisi ini, pemerintah bersama sejumlah pihak melakukan berbagai upaya. Salah satu yang terlibat adalah Institute for Essential Services Reform (IESR) yang masuk kelompok kerja teknis penyiapan CIPP JETP. Hingga awal September lalu, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan, pemerintah dan Sekretariat JETP berusaha agar IPG mau lebih banyak mendanai program pensiun dini PLTU batu bara dengan pinjaman murah.
Dalam daftar yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, program pensiun dini akan mencakup PLTU batu bara berkapasitas 5,2 gigawatt pada 2030 dengan kebutuhan dana US$ 20-30 miliar. Awalnya, pemerintah dan Sekretariat JETP akan memasukkan rencana ini ke CIPP yang sedianya dirilis pada 17 Agustus lalu. Namun, karena alotnya pembahasan, dokumen tersebut baru dirilis pada 1 November lalu. “IPG sudah menyatakan tidak mau mendanai pensiun dini PLTU,” ujar Fabby pada Selasa, 31 Oktober lalu.
Fabby ragu Indonesia bisa mencapai target penurunan emisi seperti yang tercatat dalam Perjanjian Paris jika pendanaan untuk program pensiun dini PLTU batu bara sangat rendah. Berdasarkan kajian IESR, untuk mencapai target penurunan emisi karbon sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton setara karbon dioksida, PLTU batu bara berkapasitas 8,6 gigawatt harus pensiun dini pada 2030. “Harus ada dialog lanjutan dengan IPG untuk menjajaki skema pendanaan lain."
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin juga berupaya melobi IPG agar mau mengarahkan pinjaman murah untuk mendanai program pensiun dini PLTU batu bara. Pada Agustus lalu, Rachmat, yang memimpin tim transisi energi pemerintah dalam skema JETP, menemui sejumlah duta besar atau perwakilan negara maju di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Rachmat menegaskan, tanpa dana murah, mustahil bisa menghentikan operasi PLTU batu bara dan memberi ruang pada pembangkit listrik energi baru terbarukan.
Lobi juga berlangsung dalam Climate Week NYC, acara tahunan yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kota New York, Amerika Serikat, pada pertengahan September lalu. Di sana, pemerintah meminta target penurunan emisi dalam skema JETP diperbarui karena Indonesia sulit mencapainya tanpa program pensiun dini PLTU batu bara. “Kita butuh dana untuk membangun transmisi dan pensiun dini PLTU batu bara. Masalah ini yang kami paparkan," ucapnya pada Kamis, 2 November lalu.
Upaya ini membawa hasil ketika IPG sepakat memundurkan tenggat pencapaian target nihil emisi karbon di sektor ketenagalistrikan, dari 2040 yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris menjadi pada 2050. Pada 2030, emisi karbon di sektor ketenagalistrikan harus ditekan hingga 250 juta ton setara karbon dioksida, di bawah target awal 290 juta ton setara karbon dioksida yang dinyatakan dalam kesepakatan JETP 2022.
Penurunan emisi itu pun tidak lagi menghitung PLTU batu bara off-grid dan captive power atau yang berada di luar jaringan PLN, yang selama ini menjadi ganjalan. Sebagai kompensasi, target bauran energi baru dan terbarukan pada 2030 naik dari 34 persen menjadi 44 persen. Dengan pembaruan target itu, ada dana murah untuk program pensiun dini PLTU berkapasitas 1,7 gigawatt hingga 2040. Salah satunya komitmen Energy Transition Mechanism dari Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar US$ 2,5 miliar.
Kepala Sekretariat JETP Edo Mahendra mengatakan program pensiun dini PLTU yang dibiayai ADB akan menjadi tolok ukur rencana transisi energi di sektor kelistrikan. “ADB sudah bersikap progresif dengan mendanai pensiun dini PLTU, semoga nanti diikuti lembaga multilateral lain yang menjadi patokan negara-negara maju,” katanya.
Adapun dokumen CIPP yang sudah dirilis masih terbuka untuk mendapat masukan publik setidaknya hingga 14 November mendatang. Setelah tanggal itu, Sekretariat JETP Indonesia akan memaparkannya dalam agenda konferensi perubahan iklim Conference of the Parties 28 di Dubai pada 30 November-12 Desember mendatang. “CIPP ibarat prospektus perusahaan yang hendak menawarkan saham di pasar modal. IPG menjadi pembeli siaga dan negara-negara di luar mereka boleh ikut menjadi sponsor,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Retno Sulistyowati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sulitnya Meraih Dana Pensiun Dini PLTU".