Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fisioterapi merupakan profesi kesehatan yang berperan penting dalam menjaga dan memulihkan kemampuan gerak manusia. Seiring dengan semakin kompleksnya tantangan kesehatan global, fisioterapi terus beradaptasi dan berkembang. Di Indonesia, profesi fisioterapis telah menjadi bagian dari layanan kesehatan dasar, berperan aktif di Puskesmas, dan berkontribusi dalam menjaga kesehatan masyarakat. Dengan perkembangan teknologi medis dan kolaborasi internasional, fisioterapi Indonesia kini berpeluang untuk terus maju dan diakui di kancah global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
President of World Physiotherapy, Michel Landry memprediksi kebutuhan fisioterapis akan mencapai 2,2 juta per tahun. Ia juga mengungkapkan bahwa setiap tahun ada sekitar 10 juta lulusan sarjana fisioterapi. Mereka harus melanjutkan pendidikan ke spesialisasi. “Untuk membangun fisioterapi, harus dimulai dari mengembangkan pendidikan,” kata Landry dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 5 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kongres Asian Western Pacific (AWP) 2024 di Denpasar, Bali, menjadi momentum penting bagi fisioterapi Indonesia. Acara ini bertujuan memperkuat kolaborasi dan meningkatkan kompetensi dalam menghadapi tantangan kesehatan global.
Ketua Umum PP Ikatan Fisioterapi Indonesia, Parmono Dwi Putro, menegaskan bahwa kongres ini adalah wujud nyata peran fisioterapi Indonesia dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Ia juga menekankan bahwa fisioterapi di Indonesia adalah bagian dari profesi kesehatan dunia yang terus berkembang dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Parmono juga menegaskan bahwa kongres ini sangat relevan untuk memperkenalkan fisioterapi Indonesia di mata dunia. “Inilah Fisioterapi Indonesia ke kancah internasional, kita adalah tenaga kesehatan yang sama, tenaga dengan seluruh tenaga kesehatan dunia, saatnya kita kolaborasi,” kata Parmono Dwi Putro menegaskan.
Ia menambahkan bahwa fisioterapis di Indonesia harus terus memperjuangkan kualitas dan kompetensi mereka untuk semakin maju di kancah internasional. Menurutnya, fisioterapi Indonesia memiliki prospek yang cerah, terutama karena profesi ini telah menjadi bagian dari pelayanan kesehatan tingkat pertama di Puskesmas, yang sejalan dengan program promotif dan preventif dari Kementerian Kesehatan.
Dalam Kongres AWP 2024 dan Temu Ilmiah Tahunan Fisioterapi Indonesia (TITAFI) 2024, Parmono Dwi Putro menekankan pentingnya akses langsung dan peran lebih besar fisioterapis dalam sistem kesehatan Indonesia.
Parmono optimis bahwa kolaborasi dengan Asian Western Pacific (AWP) akan semakin memajukan fisioterapi di Indonesia. “Alhamdulillah. Fisioterapi sudah masuk di first contact. Saat ini fisioterapi dipercaya untuk bisa menangani first kontak di Puskesmas,” ungkapnya.
AWP Congress 2024 menampilkan sejumlah sesi penting, termasuk International Workshop yang menghadirkan para pakar fisioterapi dunia. Joshua Farragher (Australia) membahas manajemen nyeri punggung bawah, sementara Janel Lee (Singapura) mengupas fisioterapi pediatrik di komunitas.
Guru besar Marco Pang dari Hong Kong memaparkan tentang dual-task assessment bagi pasien stroke, dan Shirley Ngal (Hong Kong) menjelaskan prinsip dan aplikasi tes latihan kardiopulmoner. Prof. Alice dan Abraham Jones (Australia) membahas standar penilaian praktik klinis fisioterapi.
Selain itu, kongres diisi Focused Symposium yang mengangkat topik penting seperti pelatihan dual-task oleh Mohammad Jobair Khan (Hong Kong), inovasi rehabilitasi digital oleh Dr. Eva Artholahti dan Dr. Minna Eriksen (Finlandia), serta peran fisioterapis dalam kesehatan kerja oleh Dr. Nathan Hutting (Belanda).
Dengan tema "Collaboration and Transformation Toward a Sustainable Physiotherapy Practice", kongres ini menjadi ajang penting bagi pendidik, peneliti, dan klinisi untuk bertukar informasi dan memperkuat hubungan profesional antarnegara di kawasan Asia Pasifik. Parmono berharap kolaborasi ini akan meningkatkan kompetensi fisioterapis Indonesia di tingkat global.
Selain itu, Muhammad Irfan, Sekretaris Jenderal IFI, menyatakan bahwa pameran di kongres menampilkan teknologi fisioterapi canggih. Teknologi ini diharapkan bisa diterapkan di Indonesia. Salah satu contohnya adalah peralatan berbasis robotik. Alat tersebut memungkinkan pasien pulih lebih cepat.
"Dengan penggunaan teknologi yang lebih maju, durasi pemulihan pasien bisa lebih cepat dibandingkan metode konvensional. Hal ini tentunya sangat menguntungkan, terutama dalam konteks efisiensi biaya dan hasil rehabilitasi yang lebih baik," kata Irfan.
Kongres ini diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi fisioterapis di Indonesia, baik dari segi kompetensi maupun implementasi teknologi baru. Dengan pengakuan internasional yang semakin meningkat, fisioterapi Indonesia siap berkontribusi lebih besar dalam dunia kesehatan melalui praktik yang berkelanjutan dan inovatif.