Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penunggang yang Terpental

Lulu Harsono dinilai membuat kisruh Bank Persyarikatan. Modal telah dinaikkan sesuai dengan persyaratan Bank Indonesia.

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengelola bank terbukti bukan perkara gampang. Hikmah itu dirasakan beberapa pentolan Muhammadiyah yang mengurusi PT Bank Persyarikatan Indonesia (BPI). Di bank tersebut tercatat antara lain nama Dawam Rahardjo sebagai komisaris utama, Hajriyanto Thohari sebagai wakil komisaris utama, serta Abdul Munir Mulkhan dan Amin Azis sebagai pemegang saham.

Walau sudah memeras keringat dan membanting tulang, mereka tak kunjung berhasil mengangkat BPI dari posisinya di klasemen bawah perbankan Indonesia. Selama dua setengah tahun, aset bank yang dibangun dari reruntuhan PT Bank Swansarindo Internasional itu tak beranjak dari angka Rp 400 miliar.

Jumlah cabang pun tak bertambah. Sampai sekarang, hanya ada dua kantor cabang di Surabaya dan Samarinda serta dua kantor cabang pembantu di Tenggarong, Kalimantan Timur, dan di Jalan Rasuna Said, Jakarta.

Kondisi ini jelas meleset jauh dari cita-cita semula. Secara organisatoris, BPI memang tak memiliki hubungan dengan Muhammadiyah. Tapi, sejak awal, bank ini memang digadang-gadang menjadi penyedia jasa keuangan bagi ratusan rumah sakit dan universitas milik Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Tidak cuma kedodoran, sebuah dokumen laporan hasil pemeriksaan Bank Indonesia yang diperoleh TEMPO menunjukkan BPI mengalami pengeroposan dari dalam akibat praktek penyimpangan dalam pengucuran kredit. Alhasil, kalau ingin tetap sehat, bank tersebut membutuhkan tonikum penambah darah.

Dokumen itu menisbatkan seluruh penyimpangan yang terjadi di Bank Persyarikatan kepada Lulu Lutfi Harsono. Bankir berusia 46 tahun yang pernah bekerja di PT Bank Panin Tbk., PT Bank Pikko, dan PT Bank Putera Multi Karsa ini sebetulnya tergolong muka baru di kalangan pengurus Muhammadiyah.

Tercatat baru tiga tahun terakhir Lulu beredar di kalangan elite Muhammadiyah. Dawam Rahardjolah yang mula-mula membawa Lulu. Dawam kabarnya terkesan dengan riwayat Lulu, jebolan universitas di Amerika yang mengaku pada 1998 menangguk untung Rp 89 miliar dari bisnis jual-beli saham dan valuta asing.

Dawam kemudian mengajak Lulu masuk Majelis Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia ditaruh di departemen pengembangan infrastruktur ekonomi. Selanjutnya, Lulu ikut menggodok rencana pendirian BPI, bahkan turut menyetor modal.

Namun Lulu kabarnya tak lulus uji kepatutan dan kelayakan di Bank Indonesia sehingga tidak diizinkan masuk jajaran komisaris atau direksi. "Sejak awal, kami memang tidak memberikan izin," kata seorang pejabat teras Bank Indonesia.

Alhasil, Lulu akhirnya cuma duduk sebagai senior advisor. Begitupun, Lulu ternyata tetap bisa berperan dominan mengendalikan direksi. Kondisi ini bisa terjadi terutama karena tidak adanya direktur kepatuhan dalam struktur manajemen BPI. Selain itu, fungsi pengawasan dan pengendalian oleh komisaris dan satuan kerja audit internal ternyata mandul.

Semua kelemahan itu berdampak buruk pada operasional bank. Dalam pengucuran kredit, misalnya, BPI memberikan fasilitas giro overdraft yang bersifat permanen dan cenderung meningkat kepada beberapa debitor dengan tak mengindahkan asas perkreditan yang sehat.

Giro overdraft senilai Rp 9,4 miliar itu ternyata diberikan kepada sejumlah perusahaan yang terkait dengan Lulu dan baki debitnya telah melanggar batas maksimal pemberian kredit.

Ada lagi pengucuran kredit kepada perusahaan milik Lulu tapi diatasnamakan lima debitor, yaitu Buana Garmindo Sakti, Dwiputra Mandiri Pratama, Network Bhakti Persada, Putrabima Internusa, dan Holy Pharma. Jumlahnya? Mencapai Rp 25 miliar. "Dia lihai sekali menunggangi Muhammadiyah," ujar seorang pejabat BPI.

Sedikit menoleh ke belakang, Putrabima Internusa adalah perusahaan importir buah segar yang pernah tersangkut perkara pembobolan PT Bank Negara Indonesia Cabang Pembantu Halim melalui instrumen negotiable certificate of deposit (NCD).

Ketika itu, Dedy Suryawan, yang masih terhitung keponakan Lulu, meminjam duit Rp 50 miliar untuk membiayai usaha Putrabima. Jaminannya lima lembar NCD senilai masing-masing Rp 10 miliar yang diteken Lulu sebagai Direktur Utama Bank Swansarindo.

Belakangan kasus ini berakhir antiklimaks. NCD itu dianggap palsu. Lulu dan Dedy lolos. Tinggal Gunawan, Kepala Cabang Pembantu BNI Halim, yang harus meringkuk di Penjara Cipinang.

Tindak-tanduk Lulu di Bank Persyarikatan jelas membuat gusar para pentolan Muhammadiyah. "Masalah dengan Lulu seperti penyakit bagi bank," kata Amin Azis.

Bank Indonesia sudah mengirim sinyal bersedia membina BPI asalkan ada tambahan modal dan Lulu dikeluarkan dari manajemen. "Kami sudah minta masalah itu diselesaikan," kata Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution, "jelas dia harus keluar."

Dawam Rahardjo sigap menanggapi sinyal tersebut. "Kami sudah menginjeksi modal tambahan dan mengeluarkan Lulu dari Bank Persyarikatan," katanya.

Lulu, yang baru keluar dari rumah sakit dan mengaku menderita penyakit jantung serta radang paru-paru, menerima keputusan itu. "Saya memang sudah keluar dari Bank Persyarikatan," ujarnya.

Namun Lulu membantah semua tudingan miring terhadap dirinya (lihat "Risikonya, Saya yang Menanggung"). Ia menganggap tuduhan itu sebagai fitnah dan upaya mengadu domba dirinya dengan Muhammadiyah. "Saya enggak ada masalah apa-apa dengan Muhammadiyah," ujarnya dengan suara serak bercampur batuk.

Menurut Lulu, apa yang ia lakukan selama ini merupakan tanda bakti kepada Muhammadiyah. Ia membantah telah menyalurkan kredit untuk dirinya sendiri. Dia memberikan contoh soal pemberian kredit ke Universitas Muhammadiyah di Sukabumi yang digunakan untuk membeli tanah dan fasilitas bekas Gedung DPRD Sukabumi.

Sebagai wakil ketua harian universitas, menurut Lulu, dirinya membayar bunga dari kocek pribadi lantaran universitas itu belum bisa mengumpulkan uang. Padahal, ungkapnya, yang menandatangani akad kredit Muhammadiyah. Sedangkan soal lima perusahaan yang menerima kucuran kredit dari Bank Persyarikatan, menurut Lulu, mayoritas sahamnya dimiliki oleh Muhammadiyah.

Perlunya Bank Persyarikatan menaikkan modal, menurut Lulu, lebih karena kerja manajemen yang "jorok". Manajemen, misalnya, memberikan pinjaman yang jaminannya cuma berupa saham yang akan go public. Akibatnya, perlu disediakan pencadangan sebesar 100 persen.

Di mata Lulu, persoalan tambahan modal untuk BPI merupakan perkara gampang . "Apa susahnya Pak Syafi'i Ma'arif (Ketua PP Muhammadiyah) menelepon Universitas Muhammadiyah Malang, pinjam dulu Rp 10 miliar, lalu pinjam lagi dari Rumah Sakit Islam Cempaka Putih?" katanya.

Pria yang sebelumnya disebut-sebut memiliki apartemen mewah di Amerika dan Australia serta mobil BMW seri 7 itu mengaku tak pernah memperkaya diri. Rumahnya di kawasan Cinere cuma berukuran 200 meter persegi. Rumah itu bahkan sudah dijual dan Lulu kini tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kebayoran, Jakarta.

Buat menjernihkan masalah, mestinya memang dilakukan penyelidikan terhadap penyimpangan di BPI. Namun pihak Muhammadiyah tampaknya lebih memilih penyelesaian yang mulus dan tenang. "Sudahlah, itu cerita penderitaan," kata Syafi'i Ma'arif kepada Febriyanti dari TEMPO.

Nugroho Dewanto, M. Syakur Usman, Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus