Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lulu Harsono:

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kalangan umum, nama Lulu Lutfi Harsono relatif tidak dikenal. Namun pria pemegang gelar MBA dari Washington University ini pernah malang-melintang sedikitnya di lima bank. Setelah pulang dari Amerika, Lulu memulai karier sebagai trainee di Chase Manhattan Bank. Selepas dari Chase, dia tercatat pernah bekerja di beberapa bank, antara lain PT Bank Panin Tbk., PT Bank Susila Bhakti, PT Bank Pikko, PT Bank Putera Multi Karsa, dan PT Bank Nusa Internasional.

Terakhir, pria kelahiran Yogyakarta itu menjabat penasihat senior di PT Bank Persyarikatan Indonesia (BPI). Laporan pemeriksaan Bank Indonesia menunjuk Lulu sebagai orang yang patut ditanya tentang masalah yang membelit bank tersebut.

Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, TEMPO mewawancarai Lulu Harsono pada Kamis malam pekan lalu. Berikut petikannya.

Bagaimana asal mula keterlibatan Anda di BPI?

Ide pembentukan BPI dari saya. Ide itu muncul ketika Dawam Rahardjo membuat pernyataan di koran bahwa Muhammadiyah ingin membeli PT Bank Central Asia Tbk. Waktu itu saya sudah di Muhammadiyah, mengelola kartu anggota Muhammadiyah.

Saya bilang ke Dawam, "Jangan ambil bank gede. Muhammadiyah sudah punya infrastruktur dan nasabah, tetapi tidak punya bank."

Lalu saya usul, beli saja bank yang bersih dan bagus. I do it for you. Jadi, saham mayoritas dipegang Muhammadiyah. Karena ini "bola panas", risikonya saya yang menanggung, Muhammadiyah yang memegang benefitnya. Kemudian dibelilah Bank Swansarindo, yang kemudian diganti namanya menjadi BPI.

Siapa yang menyetor modal?

Modal juga dari saya. Saya lupa jumlahnya, sekitar Rp 37 miliar. Nett-nya mungkin Rp 24 miliar. Karena ada yang diributkan antara BI dan Swansarindo mengenai subsidi kredit pemilikan rumah.

Dari mana dana Anda?

Waktu setor, saya jual mobil. Lalu jual rumah, itu pun tidak cukup. Terus terang, saya pinjam juga dari Emir Abeng. Dia menjadi salah satu pemegang saham.

Sebagai penyetor modal, mengapa nama Anda tidak muncul sebagai direktur atau komisaris BPI? Anda masuk daftar hitam BI?

Tidak. Saya tidak pernah ikut fit and proper test BI. Saya tidak pernah mau jadi direktur karena sudah capai. Ngapain saya muncul, entah sebagai pribadi atau perusahaan, sebagai pemegang saham. Itu artinya nunggangin Muhammadiyah. Saya tidak mau.

Saya bilang, risiko dan manajemennya saya yang menanggung. You tinggal menerima benefit. Tapi maju sama-sama.

Contoh lainnya, pabrik obat (Holy Pharma), yang 80 persen sahamnya dipegang Muhammadiyah. Saya hanya memegang 20 persen. Padahal duitnya dari saya.

BI menyebut ada pinjaman ke lima perusahaan Anda yang melanggar batas maksimum pemberian kredit?

Tidak ada kredit ke perusahaan saya. Buktikan dulu. Misalnya, PT Buana Garmindo Sakti. Itu pabrik air minum merek Aston, punya Muham0madiyah. Holy Pharma juga milik Muhammadiyah.

PT Dwiputra Mandiri Pratama, itu yang membuat kartu anggota Muhammadiyah (katam). Lalu Network Bhakti Persada, itu MLM syariah pertama di Indonesia. Adapun PT Putrabima, pemegang sahamnya Dawam. Lalu di mana hubungannya sama Lulu? Lihat aktanya, dong. Sekarang, kalau dibilang semuanya kredit Lulu, gimana ya?

Mengapa sampai ada fasilitas overdraft Rp 9 miliar yang tidak ada jaminannya?

Tidak. Buktinya, sudah dilunasi sebagian. Yang Rp 8 miliar sudah habis. Larinya ke mana, tolong ditelusuri. Tidak ada yang lari ke Lulu Harsono. Itu untuk membayar bunga yang dimiliki Muhammadiyah semua.

BI meminta modal BPI dinaikkan?

Ya, pemegang saham diminta setor Rp 39 miliar untuk menaikkan modal menjadi 8 persen. Akhirnya dihitung-hitung cuma butuh Rp 20 miliar lagi. Dan itu sudah disetor.

Siapa yang menyetor?

Nanti sajalah, pasti akan diumumkan. Yang jelas, per hari ini, CAR Bank sudah 8 persen. Saham mayoritas tetap dipegang Muhammadiyah, yang diwakili beberapa orang.

Anda sekarang masih di BPI?

Saya sudah total keluar dari BPI. Resminya sejak rapat umum pemegang saham yang terakhir. Saya lupa kapan.

M. Syakur Usman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus