Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terbang ala Truk, Maskapai Ambruk

Sebagian besar maskapai udara daerah tersungkur. Penyebabnya modal cekak dan pengelolaan yang semrawut.

3 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boeing 737-200 yang disewa Papua Effata Airlines, Senin pekan lalu, lepas landas menuju Beograd, Yugoslavia. Jangan keliru, maskapai penerbangan yang baru beroperasi sekitar dua bulan itu tidak terbang dalam rangka membuka rute internasional. Mereka mengembalikan burung besi tersebut ke pemiliknya, Aviogenics.

Sejak pemerintah membuka lebar-lebar pintu industri angkutan udara empat tahun silam, pertumbuhan airlines melaju secepat jet. Sementara sebelum deregulasi hanya ada enam perusahaan penerbangan berjadwal, pada kuartal pertama tahun ini jumlah maskapai nasional mencapai lebih dari 30.

Muka-muka baru yang memadati langit Nusantara itu tak melulu datang dari Jakarta, tapi juga dari Aceh, Riau, Makassar, bahkan Papua. Namun modal yang cekak dan manajemen yang semrawut menumbangkan maskapai-maskapai daerah itu dalam hitungan bulan.

Effata, yang didirikan oleh masyarakat Papua, malah hanya mampu melayani dua rute sebanyak enam kali. "Kami tak bisa beroperasi karena biaya perawatan pesawat terlalu mahal," ujar seorang anggota direksi Papua yang minta dikutip dengan nama Jack Wendy. Maklumlah, Effata hanya mengantongi modal Rp 10 miliar, yang langsung tersedot habis untuk menyewa dan mengoperasikan pesawat.

Maskapai lain yang bernapas pendek adalah Riau Airlines (RAL). Didirikan oleh Pemerintah Provinsi Riau bersama 12 kabupaten, RAL mengudara pertama kali akhir tahun 2002. Tapi, selama empat bulan mengarungi Pekanbaru-Batam dengan satu pesawat Fokker 50, kursi yang terisi hanya 19 persen, jauh di bawah target 60 persen.

Sepinya penumpang disiasati dengan memperbanyak rute, dari satu menjadi 11. Jumlah armada pun ditambah menjadi tiga pesawat. Strategi ini ternyata tak jitu. Masalah yang semula hanya menyangkut permodalan kemudian melebar menjadi kemelut antara Direktur Utama (saat itu) M. Yunus Bachri dan para pegawai yang tergabung dalam Forum Komunikasi Karyawan RAL (FKK).

Awal tahun ini, kedua kubu sama-sama mengadu ke DPRD Riau. FKK menuding direksi tak cakap mengelola uang. Berbagai pos biaya, dari sewa mes, boarding pass, peralatan kantor, hingga kotak katering, dinilai kelewat mahal. Fasilitas direksi tak luput dari sorotan karena angkanya mencapai puluhan juta rupiah. Yunus kian tersudut karena Kantor Akuntan Publik Sinuraya dan Rekan menghitung jumlah tiket yang terjual lebih banyak 5.394 lembar dibandingkan dengan jumlah yang diakui oleh manajemen.

"Saya ini hanya tumbal," ujar Yunus di balik terali Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru. Yunus masuk bui sejak akhir bulan silam, setelah diadukan oleh FKK atas tuduhan menggelapkan uang Rp 1 miliar pada pertengahan Maret. "Hasil audit akan membuktikan bahwa telah terjadi mark-up," ujar Kapitra Ampera, S.H., pengacara FKK.

Virus cekak modal dan pengelolaan yang semrawut sebelumnya juga telah melumpuhkan Seulawah NAD Air. Maskapai dari Aceh ini hanya bertahan enam bulan. "Mitra swasta kami tidak memenuhi janji," kata Gubernur Aceh Abdullah Puteh berkilah.

Yang dituding ingkar oleh Puteh adalah PT Wawasan Sakti Informindo Nusa dan PT Benzi Prima. Wawasan semula berjanji menyetor 35 persen dan Benzi 15 persen dari total modal Seulawah, yang ditargetkan Rp 60 miliar.

Puteh juga mengakui tersandungnya Seulawah tak lepas dari pengelolaan yang buruk. "Manajemen Seulawah baru sampai pada tingkat manajemen truk pasir, belum sekelas manajemen bus, apalagi perusahaan penerbangan," ujar Puteh.

Ironisnya, Wakil Ketua DPRD Aceh Bachrum Manyak justru menuding pemerintah daerah sebagai biang kerok kisruhnya Seulawah. "Masa, komisaris ikut mengurus wewenang direksi?" ucapnya. Sejak Seulawah mulai berdiri, sejumlah anggota DPRD Aceh memang telah memperingatkan pemerintah daerah agar tak cawe-cawe di Seulawah. "Perusahaan daerah yang terlalu dicampuri pemda pasti tidak bertahan lama," kata Waisul Qirani, anggota DPRD Aceh.

Apa yang diungkapkan Waisul ada benarnya jika melihat kinerja Celebes Aviation Services. Maskapai yang didirikan Pemda Makassar dan empat mitra swastanya itu tahun lalu berhasil mencetak laba kotor Rp 10 miliar. Keterlibatan Pemda Sulawesi Selatan di Celebes terbatas pada menyetor 40 persen modal. "Pengelolaan diserahkan ke pihak profesional," ungkap Juajir Sumardi, Direktur Utama Celebes.

Celebes beroperasi dengan menggunakan izin Kartika Airlines dan Express Airlines, yang tidak lagi mengudara, sehingga pengeluaran Celebes praktis hanya untuk avtur dan sewa pesawat. "Kami hanya membayar management fee ke pemilik izin," tutur Juajir. Dengan pengeluaran yang ditekan seperti itu, Juajir yakin Celebes mampu bersaing dengan jawara-jawara udara nasional, termasuk Garuda dan Merpati.

THW, Jupernalis Samosir (Pekanbaru), Yuswardi A. Suud (Banda Aceh), Irawati (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus