Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang teman mengingatkan saya akan sepotong sejarah kekerasan di Maluku. Pada tahun 1950-an, Republik Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk menghentikan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang terjadi, komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur. Namanya Slamet Riyadi. Ia seorang Katolik.
Fakta itu perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon orang-orang menghidupkan kembali pekik dan bendera "Republik Maluku Selatan" dan sejumlah orang lokal menentangnya, dan konflik yang untuk beberapa bulan mereda pun meledak kembali. Tak perlu banyak waktu, label "Kristen" pun dipasang pada orang-orang RMS dan "Islam" pada para penentangnya. Seandainya Slamet Riyadi masih hidup?.
Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang umurnya yang ke-60: agama kian sering dipakai untuk menjelaskan hal ihwal publik. Agama dianggap jadi latar konflik Maluku, perjuangan di Palestina, "benturan peradaban", terorisme, bahkan kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama, agama jadi dalih perbuatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera kesetiaan yang berkibar tinggi.
Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya meragukan: bahwa antara agama dan sebuah subyek ("aku" atau "kami") yang memeluk agama itu, ada korespondensi yang lurus dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku menegaskan diriku "Islam", segala yang kulakukan dengan sendirinya merupakan ekspresi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam kata-kata "aku Islam" terkandung "aku" yang tak pernah kekal, kompak, dan kukuh, dan juga "Islam" yang tak pernah persis, pasti, dan permanen.
Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum ia mengembuskan napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya dan berkata "aku, Katolik?" Katakanlah, ya. Tapi "aku" mengandung seribu makna: "aku" yang "sekadar aparat" tapi bisa juga "aku" yang "patriot" dan yakin. Juga "Katolik". Apa maknanya tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi "aku" dan jadi "Katolik" (atau "Islam", atau "Ambon", atau "Jerman") bukanlah proses yang meluncur seperti air dalam dua bejana yang berhubungan.
Pada zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita tahu bahwa jiwa dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jernih, berisi rapi jutaan fakta yang masuk lancar melalui indra dan akal budi. Yang ada hanya belantara kusut yang dikait-kaitkan oleh bahasa, dunia verbal yang tak selamanya terang dan lempang. Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses yang tak kunjung tunggal. Bahkan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebenaran apa pun tak tampak sebagai pengatur dan pencuci keruwetan itu.
Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan, mengakui hal itu dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim, katanya, ia selalu mencari ilham dan petunjuk (atau mungkin penghalalan) dari Quran selama ia mencoba memecahkan persoalan yang dihadapinya. "Saya dapat menggunakan Islam dan kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau menyisihkannya, atau memberinya bentuk baru." Tapi ada sebuah kejadian dalam sejarah yang memberinya kearifan.
Dalam Perang Siffin, musuh 'Ali Ibn Abi Talib, kemenakan Nabi, meminta agar pertikaian diselesaikan dengan menggunakan Quran sebagai sebuah penengah. Dilema Ali mencerminkan apa yang dihadapi banyak orang muslim:
"Ketika Mu'awiyah mengundangku ke hadapan Quran untuk memberikan keputusan, aku tak dapat memalingkan wajahku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah menyatakan bahwa 'jika kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah dan Rasul-Nya.' [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit antara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuhkan penafsir, dan penafsir adalah manusia."
Dalam kata-kata Farid Esack, "penafsir adalah orang-orang yang datang dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi manusia." Bacaan kita atas Quran atau warisan keagamaan kita mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan itu, oleh "frustrasi dan harapan" kita.
Pertanyaannya kemudian: di mana kebenaran dan keadilan? Dalam konflik, dalam suasana amarah, kedua pengertian itu mencerminkan impian kita tapi juga ketidakberdayaan kita. Agama memang sering memberi kita bayangan kepastian yang absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti dikatakan Farid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir, dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak mau dirumuskan berdasarkan "bawaan" sejarah seseorang.
Tak berarti, kata Farid Esack, sebuah "aku" tak punya keyakinan. "Tentu saja saya punya keyakinan," katanya. Keyakinan itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah menderita karena itu. "Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain? bahwa hanya keyakinanku yang penting. Sementara aku dapat dan memang memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi dapat mengabaikan sifat pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku harus menemukan satu ukuran untuk menentukan apa yang betul dan tak betul, adil dan tak adil, prasangkaku dan kecenderunganku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang semata-mata hanya milik komunitasku."
Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap beragam dan selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua orang seperti Farid Esack. Sesuai dengan argumennya, tak semua petuah agama mengungkapkan sikap terbuka kepada keterbatasan manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan kata lain, tak semua seperti yang kita temui dalam ucapan 'Ali Ibn Abi Talib.
Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak jarang ada yang bisa dengan gampang ditafsirkan sebagai pedoman untuk menampik toleransi. Maka agama, ketika dipakai untuk menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita dan membuat kita terhibur, tapi juga menjadi ganas.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo