Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Perang Dagang Amerika Serikat-Cina, Indonesia Memihak Siapa?

Perang dagang Amerika Serikat - Cina saat ini bukan hanya menyangkut kepentingan ekonomi kedua negara.

25 Agustus 2019 | 21.23 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi perang dagang Amerika Serikat dan Cina. Businessturkeytoday.com/

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Studi Kontemporer Indonesia dari Universitas Leiden, Belanda, David Henley, mengatakan perang dagang Amerika Serikat-Cina saat ini bukan hanya menyangkut kepentingan ekonomi kedua negara. Lebih luas, kata dia, beberapa ahli menyebut fenomena perang dagang ini sebagai bentuk dari the new cold war atau perang dingin baru. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Perang dingin antara negara Barat dan Timur, kembali lagi,” kata dia dalam diskusi di ITS Tower, Jakarta Selatan, Ahad, 25 Agustus 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Henley mengingatkan, dunia terakhir kali mengalami perang dingin pada 1947 hingga 1991. Saat itu perang dingin terjadi antara antara Amerika Serikat yang mengusung ideologi Kapitalisme dan Uni Soviet dengan ideologi Marxisme-Leninisme.

Perang dingin yang terjadi sekarang juga menyangkut aspek prinsip dan ideologi antara Amerika dan Cina. Prinsip yang berseberangan yaitu sistem ekonomi pasar yang bebas melawan sistem ekonomi yang dikontrol oleh negara. Lalu dalam hal lain, pertarungan antara prinsip demokrasi dan hak asasi manusia melawan non-demokrasi dan non-hak asasi manusia.

Dalam situasi seperti ini, David menyebut, sebagian negara akhirnya lebih memilih berpihak ke Cina. Salah satunya yaitu Kamboja yang memiliki utang cukup besar ke Cina. Sehingga dalam kasus okupansi Laut Cina Selatan, Kamboja menjadi pendukung Cina, berseberangan dengan negara ASEAN lainnya. 

Namun dikutip dari Reuters, Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, menepis anggapan yang menyebut negaranya akan jatuh dalam “perangkap utang” Cina. Menurut dia, utang Kamboja ke Cina berbunga rendah dengan tenor jangka panjang. Bahkan secara keseluruhan rasio utang Kamboja pada PDB masih sekitar 21,5 persen. "Beberapa negara berutang hingga 200 persen, 300 persen atau 500 persen dari PDB mereka," kata Hun Sen, 30 Mei 2019.

Selain Kamboja, kata David, contoh lain lebih dulu terjadi tiga negara Uni Eropa yaitu Hungaria, Yunani, dan Kroasia, yang memiliki utang cukup besar pada Cina. Juli 2016, Uni Eropa mengeluarkan sikap menentang tindakan okupansi Cina di Laut Cina Selatan, yang berada tak jauh dari teritori Indonesia. Namun tiga negara ini melakukan veto atas sikap tersebut karena bergantung pada Cina. “Beberapa negara tidak mau mengkritik Beijing meskipun melakukan militerisasi di pulau-pulau di Laut Cina Selatan,” tulis Reuters, saat itu.

Namun berbeda dengan negara lain, David melihat Indonesia masih menunjukkan sikap netral secara politik dalam perang dagang kali ini. Meski memiliki sedikit kecenderungan ekonomi pada Cina, Indonesia masih melakukan penolakan atas okupansi Cina di Laut Cina Selatan. Saat ini, Cina diketahui merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Namun hingga Januari-Mei 2019, perdagangan Indonesia dengan Cina masih tekor alias defisit hingga US$ 8,48 miliar.

FAJAR PEBRIANTO

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus