Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perang Sawit Dua Jiran

KELAPA sawit menjadi komoditas utama bagi Indonesia dan Malaysia. Kedua negara berlomba-lomba menjadi yang terdepan di industri ini.

18 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELAPA sawit menjadi komoditas utama bagi Indonesia dan Malaysia. Kedua negara berlomba-lomba menjadi yang terdepan di industri ini. Dari jumlah produksi serta ekspor, Indonesia unggul ketimbang Malaysia. Pada 2016, Indonesia memproduksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebanyak 32 juta ton dan mengekspor 27 juta ton senilai US$ 18,6 miliar. Malaysia di posisi kedua dengan produksi 17,3 juta ton dan total ekspor sebanyak 16 juta ton atau senilai 64 miliar ringgit.

Menurut Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Dharmayugo Hermansyah, meski produksi sawit Indonesia lebih tinggi, perdagangan dikuasai Malaysia. "Malaysia punya instrumen bursa berjangka, sehingga bisa mengendalikan harga pasar," ujarnya, Oktober tahun lalu. Kepala Badan Minyak Sawit Malaysia Ahmad Khusairi Din mengatakan, untuk menambah jumlah produksi, perusahaan-perusahaan sawit asal negaranya berekspansi ke Indonesia. "Lahan perkebunan kami terbatas," ucapnya, pertengahan Januari lalu.

Perseteruan Indonesia dengan Malaysia soal penguasaan sawit terjadi sejak dulu. Artikel majalah Tempo edisi 7 Juni 1986 berjudul "Tersenggol, Bukan Dijegal" membahas persaingan tersebut. Inilah pertaruhan seru dalam hubungan antara Indonesia dan Malaysia: mengerem jatuhnya harga CPO. Sebagai produsen terkemuka di dunia, keduanya sama-sama punya kemampuan mengekspor CPO dalam jumlah besar dan mempengaruhi harganya.

Tapi Malaysia, yang ingin memperoleh nilai tambah lebih besar, sudah mulai mengekspor produk setengah jadi. Sedangkan Indonesia lebih suka memusatkan ekspornya dalam bentuk CPO. Langkah Indonesia itu dianggap menggerogoti pasar Malaysia lantaran konsumen lebih suka membeli CPO, yang bisa menghasilkan produk sampingan.

Beberapa kali Menteri Perindustrian Primer Malaysia saat itu, Datuk Paul Leong, berusaha meyakinkan para menteri ekonomi, keuangan, dan industri Indonesia soal perlunya mengekang ekspor CPO agar harganya tidak makin rontok. Menteri Leong memang patut risau, mengingat harga CPO sampai Maret 1987 di bursa Kuala Lumpur terjun bebas menjadi US$ 222,5 per ton-dua tahun lalu US$ 850. CPO Malaysia bakal tak tahan karena ongkos produksinya US$ 266. Sedangkan CPO Indonesia biayanya ada yang US$ 240. Tingginya upah buruh di Malaysia menjadi penyebab menggelembungnya ongkos produksi.

Kepentingan Indonesia dalam jangka pendek rupanya berbeda. Usaha mengembangkan kelapa sawit baru digalakkan beberapa tahun belakangan, hingga luas lahannya baru mencapai 500 ribu hektare. Sedangkan di Malaysia, tanamannya sudah mencapai satu juta hektare. Industri hilirnya pun sudah siap mengolah CPO menjadi bahan jadi atau setengah jadi. "Mereka sudah mulai mengembangkan lebih dulu," kata Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras Hasjrul Harahap.

Karena itu, Indonesia mengutamakan peningkatan kualitas hidup petaninya, penciptaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan lokal, baru kemudian ekspor. "Kalau kita mengendalikan ekspor CPO, tidak ada untungnya," ujar Hasjrul.

Malaysia, karena sudah lama menanam, produksi sawitnya mencapai 4,5 juta ton. Sedangkan Indonesia baru 1,3 juta ton. Indonesia perlu empat tahun untuk mencapai produksi setara dengan Malaysia. Kalau kemudian pasar CPO Malaysia digerogoti, penyebabnya bukan karena CPO Indonesia saja, melainkan gara-gara konsumen juga bisa membeli minyak kedelai atau bunga matahari dengan murah dari Amerika. Penyebab lainnya: produk jadi asal CPO Malaysia tidak laku. "Minyak itu tidak tahan lama. Paling sekitar enam bulan, lalu rusak," ucap Hasjrul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus