DALAM Pelita V ini, investasi swasta tampaknya akan menonjol pada sektor perbankan. Paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto) memang telah menciptakan kesempatan baru bagi pemilik modal untuk mendirikan bank baru, Juga memberi kemudahan bagi bank-bank yang sudah ada, untuk melakukan pembukaan cabang. Sampai sekarang minimal sudah ada investor asing yang berniat mendirikan bank asing patungan. Masing-masing diharuskan menyetorkan minimal Rp 50 milyar, sehingga mereka akan menanamkan Rp 300 milyar. Di sini belum terhitung investasi yang untuk sarana serta modal usaha. Yang berniat mendirikan bank umum baru, dengan syarat modal disetor Rp 10 milyar, juga sudah belasan. Antara lain disebut-sebut kelompok PT Pembangunan Jaya, PT Berdikari, PT Dharmala Group, PT Sucaco. Juga tak kurang banyaknya orang yang berminat mendirikan bank perkreditan rakyat (BPR), dengan syarat modal disetor minimal Rp 50 juta. Ternyata animo cukup tinggi. Sujitno Siswosidagdo, Direktur Bank Indonesia urusan pembinaan bank, pekan silam, mengungkapkan bahwa sudah lebih dari 60 izin operasi yang diberikan. Ke dalamnya tercatat 20 bank swasta dan 3 bank asing. Belum lagi yang sedang dipersiapkan. Bank NISP yang, pertengahan Maret lalu baru membuka cabang pembantu di Bandung, kini tengah mempelajari kemungkinan membuka cabang di Bekasi, Tangerang, dan Tasikmalaya. Investasi perluasan dari bank-bank yang sudah beroperasi, tampaknya besar juga. Citibank berniat membuka cabang di Surabaya. "Menteri Keuangan sudah beberapa kali menanyakan, kapan kami ke Surabaya. Masalahnya, investasi yang diperlukan itu lebih dari US$ 1 juta (Rp 1,7 milyar). Jumlah itu sudah melampaui plafon anggaran 1988-1989 yang disetujui kantor pusat di New York. Karena itu, kami harus menunggu sampai turunnya anggaran 1989-1990, mungkin September nanti. Kalau saja Pakto itu sudah turun Juni 1988, mungkin tak ada masalah," ujar seorang pejabat dari Citibank perwakilan Jakarta. Tapi kenapa Citibank tertarik ke luar Jakarta? Bukankah lebih dari 50% uang yang beredar di Indonesia terpusat di Ibu Kota? Menurut Enny Hardjanto, salah satu Vice President dari Citibank, DKI memang menjadi markas perusahaan-perusahaan besar. Tapi masyarakat golongan menengah -- yang diduga masih menyimpan uang di bawah bantal -- lebih banyak berada di Surabaya ketimbang Jakarta. "Karena itu, corporate banking memang paling tepat beroperasi di Jakarta. Di Surabaya, kami akan lebih mengaktifkan private banking," tutur Enny. Target Citibank: dalam tempo dua tahun, akan meraih sekitar 10.000 nasabah, dengan perhitungan rata-rata membuka rekening Rp 20 juta. Setelah Surabaya, Bandung adalah target Citibank berikutnya. Di tengah semangat berlomba itu, Bank Sentral ternyata harus memasang radar yang peka. Memang, secara akumulatif para pemodal akan berinvestasi cukup besar, tapi menurut Direktur BI Sujitno, "Hampir seluruh bisnis mereka, sebenarnya lebih banyak memakai dana masyarakat." Hal itu terlihat pada statistik perbanhan di Indonesia. Rata-rata modal bank-bank di Indonesia hanya sekitar 5%-6% dari total aset. "Itu berarti 95% aset bank dibiayai oleh dana masyarakat. Supaya masyarakat jangan sampai dirugikan kalau bank menghadapi masalah, Bank Indonesia menetapkan ketentuan begitu ketat, ujar Sujitno. Itu sebabnya, persyaratan untuk membuka cabang, misalnya, haruslah memenuhi lima kriteria. Pertama, bank-bank itu diwajibkan menyimpan uang tunai di BI sebesar 2% dari dana yang terhimpun dari masyarakat. Kedua, bank-bank itu setiap tahun harus mempunyai laba. Hal ini penting, menurut Sujitno, supaya modal mereka nantinya bisa lebih seimbang dengan dana masyarakat. "Jika rugi, tapi masih bisa ditanggulangi dengan modal, maka masih okey," katanya. Ketiga, pengembalian pinjaman harus lancar. Ketentuan ini agaknya untuk menunjang ketentuan di atas, yakni supaya bank nanti meraih laba. Keempat, modal bank harus cukup sesuai ketentuan. "Semakin banyak modal melebihi ketentuan, semakin sehat bank itu," tandas Sujitno. Tapi, dalam kriteria penilaian BI, ternyata jika modal amblas sampai 20% di bawah ketentuan, masih dianggap cukup sehat. Syarat kelima, bank mengikuti semua peraturan BI. Di samping lima syarat tersebut, para investor juga harus menghadapi proses perizinan yang berkerikil di Departemen Kehakiman. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, sebagaimana dikutip koran Bisnis Indonesia, menyebutkan minimal ada 16 permohonan izin pendirian bank baru yang terganjal. Lalu ia menyebut peraturan (Bank Sentral) yang sering berubah-ubah. Sementara ini Departemen Kehakiman masih memegang prinsip bahwa permohonan izin baru harus disertai rekomendasi dari Departemen Keuangan. "Itu sesuai Surat Edaran BI tanggal 2 Desember 1971," kata Ismail Saleh. "Tanpa ada rekomendasi Departemen Keuangan, maka Departemen Kehakiman tak bisa mensahkan akta pendirian mereka." Yang terganjal proses perizinannya di Departemen Kehakiman, termasuk 6 bank asing patungan baru (Bank Credit Lyonais, Bali Sanwa Bank, Bank Buana Mitsubishi, Bank Niaga Sumitomo, Bank Duta International, Bank of Japan, dan Bank Fuji International Indonesia). Ada kesan, antara kedua departemen tidak terentang komunikasi. Peraturan mengenai pendirian bank yang dipakai Departemen Kehakiman, ternyata sudah ketinggalan. Padahal ada ketentuan baru yang dikeluarkan Departemen Keuangan, sejalan dengan semangat Pakto. SK Menkeu No 1066/KMK 00/1988, tanggal 27 Oktober 1988, telah mencantumkan dua tahap tata cara pendirian bank: pertama, persetujuan prinsip dari Departemen Keuangan (berlaku setahun), kemudian izin usaha yang dikeluarkan bila proses persiapan pengoperasiannya telah selesai. Mungkin bagi Departemen Kehakiman, yang disebut rekomendasi Departemen Keuangan itu tak jelas sosoknya. Apakah ia sama dengan izin prinsip, atau izin prinsip plus izin usaha? Mungkin karena itu pula pengeluaran akta, mau tak mau, tertunda.Max Wangkar, Bambang Aji, Liston P. Siregar, Tommy Tamtomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini