Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menonton yang serba eksklusif

Sosok toko serba ada mewah, macam: grand duta department store, keris gallery, dll. semuanya menjajakan perlengkapan mewah dengan harga melangit. para pemilik modal banyak terjun ke bisnis ini.

29 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEANS boleh sama belel, tapi soal harga nanti dulu. Sebutlah jeans. termahal yang pernah Anda jumpai, pasti bukan apa-apanya dibandingkan di Grand Duta Department store. Di pertokoan yang bergengsi, di pojok Jalan Melawai Raya dan Barito, Kebyoran Baru, selembar Guess belel lusuh digelar Rp 185 ribu. Yang "menengah", seperti Joan II atau Calvin Kline, bisa dibungkus dengan sekitar Rp 90 ribu. Itu buatian luar. Mau yang dalam negeri juga boleh. Rok & blus buatan Rosman Yogyakarta Rp 500 ribu. Sehelai batik, masih buatan Rosman berlabel Rp 225 ribu. Begitulah, di pertokoan mewah dengan investasi Rp 8 milyar, konsumen boleh takjub menonton parade harga. Bagi yang tak biasa dengan bilangan harga puluhan atau ratusan ribu, sebaiknya cepatlah berlalu. Sebelum mata berkunang-kunan, dan pikiran nyalang. Karena di sini harga tak bisa dipasang sembarangan (baca: kelewat murah). Salah-salah bisa disangka barang aspal. Itulah pentingnya membedakan harga. Sebab, "Bukan saja merk luar yang bisa aspal, merk dalam negeri pun sering dipalsukan," tutur Ben Subrata, Direktur PT Duta Anggada Inti Mulia, pengelola Grand Duta. Kalau sudah begitu, jangan sekali-kali mencari potongan harga di pertokoan berlantai empat dengan luas lantai 10 ribu meter persegi ini. "Kita bukan discount store. Kita harus original dan eksklusif," kata Ben Subrata lagi. Konon, itu penting untuk menjaga citra Grand Duta sebagai penjual barang berkualitas nomor wahid. Untungkah? Ya, buktinya, menurut Ben, dalam sehari Grand Duta bisa meraup Rp 100 juta. Yang paling canggih dari Grand Duta mungkin adalah pemakaian komputer secara on line. Inilah satu-satunya toko eceran di Indonesia yang memakai sistem yang bisa dikategorikan revolusi dalam bisnis eceran. Alhasil, kode barang yang terjual akan dibaca oleh laser scnner, dan langsung sicatat bahwa telah terjadi transaksi. "Jadi, bisa dikontorl, mana barang yang cepat laku dan mana yang lambat," ujar Hartadi Angko Subroto, Presdir PT Duta Anggada. Grand Duta bukanlah pasar malam. Batapapun ramainya, tak usah takut kehilangan anak. Di lantai tiga ada tempat penitipan anak yang sekaligus tempat bermain. Si anak akan tenang menonton TV layar lebar yang menayangkan film-film kartun. Gratis. Sementara itu butuh duit gede, tentunya. Bayangkan, untuk membayar gaji 450 karyawannya saja harus disediakan Rp 300 juta sebulan. Dan Gunung Sewu Group, dengan Go Swie Kie sebagai pemilik modal, pasti merupakan jaminan tersendiri. Pemilik berbagai plaza seperti Chase, Hayam Wuruk, Harco, dan Pasar Baru rupanya kini terarik terjun ke bisnis eceran. "Ini bidang menarik dan menantang. Dan tidak gampang mengelola toko dengan perputaran uang yang cepat sekali," ujar Hartadi lagi. Anak Taipan Go Swie Kie ini tak pakai hitungan yang rumit-rumit sebelum membuka Grand Duta. "Hanya pakai feeling dan didiskusikan secara in house saja," tuturnya. Kelompok industri ban Gajah Tunggal juga punya Lotus Department Store. Terletak mentereng di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, Lotus diperkirakan menelan inventasi Rp 18 milyar. Dengan luas lantai seluruhnya 6 ribu meter persegi, gedung berlantai lima yang mulai dioperasikan Desember tahun lalu itu memang terlihat megah di keramaian kawasan Kota. Barang yang dijajakan juga tak kalah hebring. Di lantai dua ada pakain wanita rancangan Ghea Sukasah, Poppy Dharsono, dan Dandy Burhan. Harganya Rp 60 ribu sampai 200 ribu. Kaum pria yang ingin tampil trendy boleh masuk ke Givenchy Boutique. Bagi yang sayang anak, ada jaket dari bahan katun. Murah kok, cuma Rp 75 ribu. Naiklah ke atas, ke lantai empat, ada pakaina sportif dan perlengkapan olahraga. Semuanya tak kurang mahal. Polo shirt Ellesse boleh dibawa pulang dengan Rp 108 ribu. Siapa, sih, yang belanja di tempat-tempat mengkilap itu? Adalah Ninik, wanita sekitar 35 tahun. Ia sekertaris sebuah wadah bisnis patungan Indonesia-Jerman. Terus terang, Ninik mengaku lebih lebih suka beli baju buatan luar. "Bikinan sini sebetulnya sudah bagus, tapi kalau dipakai jatuhnya kurang pas," begitu alasanya. Wanita yang tinggal di kawasan Kebayoran Baru ini rata-rata menghabiskan Rp 250 ribu sebulan untuk baju. Bisa ditebak, berapa gaji sebulan sekertaris top itu. Di Keris Gallery, di kawasan Menteng, akan banyak dijumpai pembeli seperti Ninik. Tuti, istri seorang pengusaha, bisa dijumpai sore itu. Penampilannya serba canggih, celana panjang baggy hijau lumut dengan blus merah. Di bahunya ada tas kulit Etienne Aigner (asal tahu saja, harganya sejuta lebih). Menjelang Lebaran begini, ia perlu beli parcel sekitar 40 buah. "Ya, kurang lebih sepuluh juta," uajarnya kalem. Itu tak termasuk anggaran baju Lebaran suami dan dua anaknya. "Nggak banyak, kok, sekitar dua sampai tiga juta," ujarnya ringan. "Tapi di bulan-bulan biasa cuma sampai sejuta rupiah, lho." Tuti senang belanja di Keris karena tempat itu dipandangnya eksklusif. Dan citra sebagai yempat khusus itulah yang jadi sasaran pengelola Keris. Namun, "Tidak terlalu mahal," ujar Deetje Pratana dari Keris Gallery. Asal mulanya adalah Batik Keris yang mangkal di Sarinah, Jalan Thamrin. Lalu timbul ide untuk tak hanya memasarkan batik. Maka, mereka pindah ke gedung berlantai lima di Menteng pada 1987. Dan berkembang pesat. Kini 200 pramuniaga siap melayani sekitar 2 ribu pengunjung tiap harinya. Padahal, harga-harga di Keris juga tak kalah "melawan" dibandingkan tempat eksklusif lainnya. Ada baju Jepang Rp 30 ribu, ada batik tulis Rp 800 ribu, ada baju impor sejuta lebih. Segalanya memang serba eksklusif, alias serba mahal. Dan itu justru yang membuat pengunjung eksklusif (baca: berduit) datang berduyun-duyun ke sana.Toriq Hadad, Bachtiar Abdullah, Bambang Aji, dan Sugrahetty Dyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum