LAIN depato, lain pula pasar Inpres. Dan lebih lain lagi pasar tradisional. Pasar-pasar sederhana ini seperti orang tua yang tertatih-tatih. Masa jaya sudah tertinggal di belakangnya, terenggut begitu saja. Di situ tak ada gantungan memikat bertuliskan "discount". Bahkan pembeli harus bersilat lidah dulu, seraya meragukan kualitas barang yang ditawarnya. Pasar Jaya Blok M, Jakarta Selatan, yang populer pada 1970-an -- pernah dipakai shooting film Ali Topan Anak Jalanan -- kini seperti amblas. Kanan-kirinya sudah ditutupi Aldiron Plaza dan Pasar Blok M. Di depannya munsul Golden Truly, Trendy Shop. Apakah gelegar bangunan-bangunan baru itu yang menenggelamkan Pasar Jaya Blok M? "Kami memahg terpukul dengan kehadiran mereka," ujar Kurnia Ujang, yang duduk termangu menjaga kiosnya seluas 3 m2 di Pasar Jaya Blok M itu. Mereka seperti terbantai. Tapi itulah persaingan. Dan itu terjadi juga di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, atau Medan. Pasar Tunjungan Baru, Surabaya, contohnya. Kendati letaknya amat strategis, toh tempat itu kurang menarik pengunjung -- kecuali penjaja barang elektronik di iantai bawah. Lantai 2 malah kosong, sedangkan lantai 3 dipakai antara lain untuk perkantoran. Bila malam tiba, tempat parkirnya justru dimanfaatkan pengunjung Goskate, di Jalan Embong Malang, yang di seberang pasar. Menurut Kumhal Djamil, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, peranan pengecer tradisional, seperti warung dan toko-toko kecil, makin menurun. "Dulu 30%, sekarang tinggal 27%," katanya. Memang tidak drastis. Tapi di DKI Jakarta ada ketentuan jarak antara pasar modern dan pasar tradisional. Sementara itu, perkembangan pasar modern amat cepat. Kini di Indonesia sudah tercatat 355 pasar modern, 250 di antaranya berjubel di Jawa. Akibatnya, terjadi penciutan di tempat lain. Dari 1.515 kios di Pasar Jaya Blok M yang didominasi pedagang asal Minangkabau itu, kini cuma terisi 70%. Di Pasar Inpres Senen, yang berlantai 2 itu, praktis hanya bisnis di lantai 1 saja yang lumayan. "Sudah ratusan kios yang tutup," tutur John. Orang bisa lenggang kangkung melalui lorong pasar yang 1,5 m itu. Pasar Jaya Blok M -- dulu mudah dikenali dari lambang huruf M dalam sebuah lingkaran -- agaknya sudah tak populer lagi. Lambang itu bahkan sudah boncel-boncel. Tangga di depan mirip seperti tonggak peringatan. Mungkin buat lorong-lorongnya yang rada gelap dan becek. Di sini pula tukang jahit, penjual ikan, sayuran, bumbu, dan warung makan, ditampung. Tak heran kalau bau sengak merangsang, tak enak. Pasar yang dibangun tahun 1968 ini makin sepi pengunjung tatkala terminal Blok M ditutup, akhir 1988. "Orang jadi diarahkan ke Sarinah Jaya dan Aldiron. Jadi, pasar ini ya sepi," tutur Ujang yang menjual pakajan jadi itu. "Omset saya turun 50%," kata Ujang. John Sirait di Pasar Inpres Senen pun senasib. Omsetnya bahkan turun 75%, karena sehari ia paling-paling bisa menjual 5 pakaian jadi. Sedangkan Ujang, yang dulu tiap hari bisa membawa pulang Rp 300 ribu, kini -- dengan modal Rp 3 juta paling banter hanya mengantungi Rp 150 ribu. Dalam keadaan omset melorot seperti itu, ia harus menunaikan kewajibannya per bulan: sewa tempat Rp 150 ribu, iuran listrik Rp 20 ribu, plus iuran pemeliharaan pasar hampir Rp 25 ribu. Lain halnya Pasar Tanah Abang, yang tiap hari menjelang Lebaran ini dipadati 60 ribu orang lebih. Di sana memang banyak barang digelar: sepatu, tas, dan berbagai jenis sandang. Adalah tekstil dan pakaian jadi yang merajai jual-beli di sini. Pedagang lapak di pinggiran jalan pun berlomba menarik perhatian konsumen. Mereka teriak, sambil mengandalkan pengeras suara. "Selagi murah, selagi murah. Ini masih ada labelnya, kalau beli di toko harganya Rp 12.500," seru seorang penjual yang berlogat Minang kental. Harga itu pas, tak perlu ditawar. Ibu Cicik, seorang dokter, kali ini mau berdesak-desak di pasar ini, kendati ia tahu bahwa di Matahari pun ada obral. Soalnya, ia belanja sampai 3 lusin pakaian jadi, yang akan dibagi-bagikan kepada pembantu. Suherman, pedagang pakaian jadi itu, kali ini sedang dapat hoki. Baru pukul 13.00, di saat terik matahari sedang hebat-hebatnya, ia sudah mengantungi Rp 400 ribu. Sampai saat berbuka sekitar pukul 6 sore, omsetnya tentu Rp 1 juta lebih. "Di hari-hari biasa, paling-paling bisa mencapai Rp 600 ribu," ujarnya. Untuk menggaruk keuntungan di pasar ini, para pedagang kaki lima harus bayar sewa lapak cukup mahal. Menurut Sugiyono Cablaka, Kepala Pasar Tanah Abang, sewa lapak di situ antara Rp 50 ribu dan Rp 300 ribu -- tergantung strategis tidaknya. Khusus menyambut Lebaran tahun ini, pengelola Pasar Tanah Abang menyediakan 300 lapak buat pedagang kaki lima. Riuhnya Pasar Tanah Abang bukanlah semata-mata karena Lebaran. Ternyata, bisnisnya semakin mekar. Dari blok A sampai D sudah terisi penuh. Lantai bawah dikhususkan untuk pedagang grosir, sedangkan lantai atas untuk pengecer. "Hanya blok E yang belum terisi penuh, karena itu baru," kata Sugiyono. Tingkat keramaian di dalam gedung yang mulai beroperasi sejak 1975 itu memang tak sehebat di halaman maupun pinggiran jalan. Tapi bukan berarti para grosir dan pengecer yang menyewa kios tak ikut panen. Dagangan mereka sudah mulai laris sebelum Ramadan tiba. Sekitar pukul 5 pagi, misalnya, para pembeli tekstil -- contohnya blue jeans sudah antre panjang. Mereka menunggu kios grosir buka, bahkan dagangannya pun terkadang masih di dalam truk di perjalanan. Lagi pula, pembeli hanya diberi jatah dua bal. Jika ingin beli lebih dari itu, harus menyewa orang untuk ikut antre. Pasar Tanah Abang tak sedikit pun terguncang oleh menjamurnya department store. Di samping pusat belanja para pedagang di daerah, "Department store malah mengambil dagangan dari sini, saya bisa membuktikannya," tutur Sugiyono. Orang-orang dari Malaysia dan Brunei pun belanja di situ untuk dijual kembali di negaranya. Memang sudah dikenal, di pasar itu pembeli bisa memperoleh harga miring -- kalau bukan murah. Kemeja, misalnya, bisa dibeli seharga Rp 4 ribu. Batik printing dan tekstil juga murah. Pasar Beringharjo, Yogyakarta, demikian pula, tumbuh dengan suburnya. "Pembeli kami datang dari golongan yang berbeda," ujar Bu Kaji, seorang pedagang pakaian jadi yang mangkal di situ. Barang yang dijual pun lebih miring. Buah-buahan bisa lebih murah Rp 300. Dan jangan heran kalau masih ada warga yang mungkin punya seni menawar. "Rasanya lebih srek belanja di pasar ini," ujar Pardiman, tentang pasar yang berdiri pada tahun 1756 ini. Di sini konsumen dilayani dengan ramah, sesuai dengan slogan "pembeli adalah raja". Kejayaan Tanah Abang dan Beringharjo membuat Pasar Jaya Mayestik, Jakarta, kelihatan mengenaskan. Pedagang di sini terpaksa mencoba segala muslihat, termasuk ganti komoditi, dari dagang kelontong ke dagang buku. Menurut Firman Pasaribu, hal itu terjadi pada tahun ajaran baru. Di Pasar Tunjungan Baru, Surabaya, pedagang tas malah siap memperbaiki tas yang rusak. Begitulah suramnya prospek pasar sederhana, berikut nasib para pedagangnya . Suhardjo Hs., Bachtiar Abdullah, Priyono b. Sumbogo, Muchsin Lubis, Wahyu Muryadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini