MUSABAQAH Tilawatil Quran ke-15 di Lampung baru usai. Tetapi, mengenai Quran yang dahsyat mukjizat itu seperti tak pernah habis dibicarakan. Misalnya, bagaimana jika dalam waktu dekat ini Anda bertemu dengan Quran Sudut, namun "lebih" huruf alifnya? Sementara menunggu itu, di Samarinda justru ada kecelakaan, bahwa di sana ditemukan Quran yang tak lengkap - bahkan Surat Al-Isra ketimpa dua kali cetak. Menurut Suara Karya, 29 Februari, Surat Al-Kahfi-nya yang ayatnya 110 hilang 39, plus berbaur ke Surat Al-Isra. Quran itu dicetak di Bandung pada 1977, katanya sudah lama ditarik dari peredaran. Wallahualam. Dalam pada itu, di ujung bulan lalu, di Wisma Yayasan Pembangunan Islam, Ciawi, Bogor, bertemu pula 35 ahli Quran untuk ke-14 kalinya. Mereka, yang membahas lagi soal kitab suci ini, ada yang dari Lajnah Pentashih Quran, PTIQ, IIQ, LBIQ, Pesantren Quran, Yayasan Tuna Netra Wyata Guna Bandung, dan Yayasan Tuna Netra Yogya. Di antara yang mereka bahas adalah transliterasi dan komputerisasi Quran. K.H. Babbajah, ulama dari Ujungpandang, sepuluh tahun lalu menolak transliterasi Quran. Ia menyangka itu bisa menyesatkan. Pernah di daerahnya seorang khatib Jumat diturunkan dari mimbar karena diduga tak becus baca Quran. Padahal, dia membaca dari huruf Latin, bukan dari aksara Arab. Kini Kiai Babbajah sudah menerima transliterasi. Kerja Departemen Agama dan Departemen P dan K yang awal tahun lalu membakukan Pedoman Transliterasi Arab-Latin, menurut mereka, masih belum lengkap. "Memang susah. Tanda-tanda tajwid yang lazim dalam Quran bahasa Arab itu sulit dilambangkan semuanya dalam transliterasi Latin," ujar Drs. E. Badri Yunardi, pembawa makalah Pedoman Tajqfid untuk Transliterasi Arab-Latin. Karena itu, lalu disimpulkan bahwa transliterasi itu belum sepenuhnya menjamin kebenaran bacaan atau pegangan satu-satunya. "Supaya bisa membaca benar, seseorang tetap perlu mendengar dulu dari gurunya," kata Dr. Aqib Suminto, dosen IAIN Jakarta. Lain dengan komputerisasi. Sekadar peragaan belaka, para ulama itu menerimanya. Apalagi ayat yang di layar bisa komplet dan berwarna-warni. Hanya yang menimbulkan masalah: komputer belum fasih membaca Quran. Buktinya, pernah diperagakan lewat TVRI beberapa waktu lalu. Si komputer tak piawai membaca Surat Al-Ikhlas. Komputer yang dipakai untuk alat bantu mengoreksi (tashih) di Lajnah Pentashih Quran di Departemen Agama? "Seandainya dunia pentashihan mampu cepat menjangkaunya, mungkin itu yang namanya mukjizat," ujar Drs. H. Al Humam Mz., pembawa makalah Pentashihan Mushaf Quran secara Manual-Mekanikal. Karena itu -- selain kejedur minim dana dan tenaga - lembaga di departemen itu masih bertahan dengan manual yang kuno tadi. Lalu Quran Standar Indonesia yang asli disimpan di mana? Kemudian disusul dengan Quran Sudut. Kitab suci yang langka ini awalnya dikenal sebagai Quran Bahriyah - sebuah nama dari pencetaknya di Berlin, Jerman, pada 1920 (Quran biasa pertama kali dicetak bukan di Timur Tengah, tetapi di Hamburg). Di Jakarta mau carrdi mana? Museum milik Mas Agung dan Museum Yayasan Pendidikan Al-Quran tidak menyimpan Quran ini. Pada 1976, dalam Musyawarah Kerja Ulama Quran ke-2, ada kesepakatan. Quran Standar Indonesia telah ditetapkan, terdiri atas Standar Usmaniyah, Standar Braille, dan Standar Bahriyah. Kecuali yang Bahriyah, kedua itu memang beredar luas. Quran Sudut bila dibanding Quran Standar Usmaniyah konon ada tujuh ciri. "Di setiap halaman ayatnya selalu diakhiri pada sudut kiri bawah. Karena itu, disebut sudut," kata H. Sawabi Ihsan, M.A. dari Direktorat Lektur Agama Islam Departemen Agama. Gunanya, supaya tak mengganggu bagi penghafal Quran. Ciri lain: dalam satu halaman terdiri atas 15 baris, dan di tiap tanda bulatan untuk ayat tidak diberi nomor. Rasm-nya ditulis antara yang usmani dan imlai atau dikte. Beberapa tanda baca bahkan tak dipasang, seperti taysdid (pengulangan huruf) pada kata yang menggema (idgham). Tanda sukun (nan mati) pada kata bernada panjang (madd) tldak dicantumkan. Selain itu, harakat untuh huruf ha' bulat juga tak seperti biasanya. Yang berubah memang teknisnya. Tetapi Quran Sudut pernah beredar di beberapa pesantren untuk penghafal Quran. Lajnah Pentashih Quran (LPQ) kini mengoleksi beberapa Quran Sudut dengan ciri lengkap seperti dimaksud tadi. Tetapi apa yang disimpan di sana itu Quran Sudut pertama yang dicetak mesin di Indonesia? Belum jelas. Quran itu baru berumur sekitar 28 tahun - padahal yang dicetak di Jerman sudah 60 tahun lebih. Kecuali itu, sudah beredar beragam versi Quran Sudut dengan ciri tak selengkap yang tadi. Mazmur Syahroni, dalam penelitiannya, menemukan Quran yang dicetak di Indonesia pada 1077 dan 1309 Hijrah. Kecuali di halamannya tercantum 13 baris Quran itu punya ciri sudut yang lengkap. Syahdan, karena sekarang Quran sudah banyak variasinya, maka makin tak jelas mana yang sudut dan mana yang bukan sudut. Misalnya. yang cetakan Mesir (1890 M). Quran itu hanya memiliki keempat ciri yang terakhir. Jadi, tidak sudut. Sementara itu, ada Quran Standar Usmaniyah - yang sudut - malah tanpa ciri nan empat. "Dalam perjalanan sejarahnya, Quran itu pernah bergeolak, dan berhenti bervariasi setelah menemukan bentuknya yang ideal," ujar Mazmur. Menurut pembawa makalah Quran Bahriyah (Usmani Asasi), Sepanjang Sejarah: Sebuah Temuan itu, bentuk ideal Quran Sudut adalah dengan 15 baris, dan seterusnya. Dan yang model yang begitu beredar di Arab Saudi, Turki, Iran dan Indonesia - yang formatnya berbeda-beda. Karena sudah kacau, kemudian pihak Departemen Agama bermaksud meluruskannya kembali. Lalu diteliti. Ternyata, sepanjang sejarah tadi, ada lima ciri mendasar yang bertahan di antara yang tujuh itu. Yakni: ditulis dengan sudut, rasm-nya antara usmani dan imlai, lalu madd thabi'i, idgham dan iqlab, masing-masing tidak diberi tanda sukun, tidak memakai tasydid dan mim kecil. Dua di antara yang tujuh dibuang: ciri di penomoran ayat dan cara penulisan huruf ha'. Dan yang bakal diperkenalkan, itu jelas beda denan Standar Usmaniyah yang sudah beredar selama ini. Misalnya, kata Ma-liki di surat al-Fatihah - tanpa huruf alif di Standar Usmaniyah - ada alif di Quran Sudut. Kini Quran Sudut sedang ditulis oleh K.H. Muhamad Rozak Muhaili, 74 tahun. Ia, 30 tahun sebagai kaligrafer, tinggal di Tangerang, Jawa Barat. Kiai ini sudah lima ratusan kali menulis buku Arab. Dalam menulis Quran ia menentang arus. Misalnya, ketika dia menulis kaligrafi untuk pintu Masjid Agung Tangerang, 1970. Ia dikritik banyak ulama. Dan Pasomadirdja, Bupati Tangerang, ikut menegurnya. Itu gara-gara tulisan assalam yang dlambilnya dari salah satu ayat Surat Thaahaa, alifnya dibikin lebih. Bukan cukup satu seperti biasanya. "Tulisan itu sudah benar," kata Rozak. Menurut bekas juri sayembara kaligrafi di dalam dan luar negeri ini, "Yang penting, bacaan Quran itu bukan tulisannya. Bacaan itu wahyu, sedang tulisan hanya ijtihad dan kesepakatan." Prinsip itu diserap Rozak dari ulama tafsir Al-Azhar, Musthafa al-Maraghi. Dan itulah bekal ayah 12 anak itu dalam menulis Quran Bahriyah yang dipesan Puslitbang Lektur Agama Departemen Agama. Kiai berkaca mata minus itu dikontrak Rp 6 juta. Maka, sejak Desember 1986, ia lebih suka berkutat di ruang kerjanya di kompleks perumahan Cipondoh Indah, Tangerang. Tempat itu jauh dari kesibukan. Ia bisa merampungkan 2 halaman sehari. Dengan lampu sorot 40 watt, bermodal tinta Cina dan pena dari kayu handam, Rozak menghitamkan ayat demi ayat, yang sebelumnya telah ditulisnya dengan potlot. Lalu, setelah dihitung-hitung, dalam Quran Sudut huruf alifnya akan bertambah sekitar 4.670. Tapi kenapa harus bingung? Kecuali jumlah suratnya yang seragam, tetap 114, selama ini variasi ayat Quran biasa juga tidak sama. Ada pendapat ulama, jumlahnya 6.000, 6.204, 6.214, 6.219, dan 6.225. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar jusru berpedoman pada yang umum: 6.326 ayat. Quran Sudut yang dikerjakan Kiai Rozak halamannya berjumlah 605. Dan, insya Allah, akan rampung Mei mendatang. Ahmadie Thaha dan Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini