Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perjalanan Kontroversial Bank Tanah

Sejumlah pihak khawatir kehadiran Badan Bank Tanah akan membuat program reforma agraria tidak lagi menjadi prioritas pemerintah.

29 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas Bandan Bank Tanah beraktivitas di kawasan Purwakarta,Jawa Barat. Dok Badan Bank Tanah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Badan Bank Tanah disebut dalam debat calon wakil presiden.

  • Pemerintah memberikan keleluasaan kepada Bank Tanah untuk mencari laba.

  • Konflik agraria akan makin marak setelah pendirian Bank Tanah.

JAKARTA - Badan Bank Tanah ramai menjadi perbincangan setelah disinggung Gibran Rakabuming Raka dalam debat calon wakil presiden pada Ahad, 21 Januari 2024. Kandidat nomor urut 2 ini menawarkan janji redistribusi tanah lewat badan tersebut untuk mewujudkan reforma agraria.

“Tanah-tanah eks HGU (hak guna usaha) dan lain-lain disimpan di Bank Tanah untuk nanti didistribusikan ulang, misalnya kepada petani lokal dan pengusaha lokal,” ujar Gibran dalam debat. Pernyataan tersebut mendapat sorotan lantaran peran Bank Tanah saat ini tak berjalan seperti penjelasan Gibran itu. 

Berbagai pihak menyatakan Bank Tanah telah menghambat program reforma agraria. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menetapkan target reforma agraria yang terdiri atas legalisasi dan redistribusi aset tanah kepada masyarakat seluas 9 juta hektare. 

Cacat Sejak Lahir

Petugas Badan Bank Tanah beraktivitas di Sambas, Kalimantan Barat. Dok. Badan Bank Tanah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Bank Tanah merupakan barang baru di Indonesia. Lembaga ini adalah badan hukum pemerintah pusat yang berwenang mengelola tanah negara, seperti tanah bebas hak, tanah telantar, pelepasan kawasan hutan, bekas tambang, perubahan tata ruang, ataupun tidak ada penguasaan. 

Nama lembaga ini muncul setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria melalui Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. 

Aturan tersebut kemudian berubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja setelah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada 2021. 

Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Wijaya menyebutkan kehadirannya yang tiba-tiba dalam undang-undang sapu jagat itu membuat Bank Tanah cacat secara konstitusional. “Omnibus law itu prinsipnya merevisi atau memperbaiki undang-undang sebelumnya. Bank Tanah ini tidak ada cantolannya,” kata Benni kepada Tempo, akhir pekan lalu.

Selain itu, aturan pendukung Bank Tanah terbit pada masa terlarang. Sebulan setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah serta Peraturan Pemerintah Nomor 124 Tahun 2021 tentang Modal Bank Tanah. Padahal seharusnya, sebelum ada revisi UU Cipta Kerja, pemerintah tidak boleh menerbitkan ketentuan baru atau menjalankan aturan dalam UU Cipta Kerja. 

Cela lain tampak dari peran Bank Tanah. Pemerintah memberikan berbagai wewenang kepada lembaga itu, dari mengatur perencanaan, konsolidasi lahan, hingga distribusi lahan milik negara. Celakanya, obyek lahan untuk Bank Tanah sama dengan obyek reforma agraria. 

Benni menyatakan kondisi tersebut bakal menghambat reforma agraria. “Kita tidak bisa memastikan kelahiran badan itu benar-benar untuk reforma agraria,” tuturnya. Sementara itu, pada saat yang sama, pemerintah gencar mendorong pembangunan infrastruktur, yang tentunya membutuhkan lahan. 

Pendekatan Bank Tanah, menurut Benni, tak sejalan dengan kebutuhan reforma agraria, yaitu penyelesaian konflik. Itu sebabnya dia menyebutkan kehadiran Bank Tanah menghidupkan kembali asas domein verklaring yang diterapkan pada zaman penjajahan Belanda. “Asas itu menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki hak atas tanah, tanah tersebut akan menjadi milik negara,” katanya. Dia memperkirakan konflik agraria makin marak karena Bank Tanah. 

Berorientasi Profit

Aktivitas Badan Bank Tanah di Poso, Sulawesi Tengah. Dok. Badan Bank Tanah 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Praktisi hukum agraria Rikardo Simarmata mencatat pemerintah sebenarnya sudah memberi jaminan agar Bank Tanah tak mendahulukan kepentingan lain sebelum reforma agraria. Contohnya, badan tersebut wajib mengalokasikan 30 persen dari seluruh lahan yang mereka himpun untuk program reforma agraria. “Ketentuan ini sebetulnya agak menjawab kekhawatiran akan adanya dominasi Bank Tanah. Masalahnya adalah apakah ketentuan itu akan dilaksanakan,” tuturnya.

Pasalnya, Badan Bank Tanah juga mempunyai kuasa besar dari sisi keuangan. Tidak hanya bisa menerima pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), badan ini juga dapat menghasilkan pendapatan sendiri serta menerima penyertaan modal. 

Pada awal berdirinya badan tersebut, pemerintah memberi modal awal sebesar Rp 2,5 triliun. Rikardo mengatakan dana tersebut harus dipertanggungjawabkan, salah satunya dengan menghasilkan keuntungan.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan kewenangan untuk mengantongi profit membuat posisi Bank Tanah semu, antara lembaga publik dan lembaga privat layaknya perseroan terbatas. Dia sangsi program redistribusi lahan untuk masyarakat bakal menjadi prioritas pada saat pemenuhan kebutuhan lahan untuk investasi bisa membawa keuntungan. “Hati-hati, Bank Tanah ini menjadi praktik spekulan tanah yang dilegitimasi oleh negara,” katanya.

Mencari Model Bisnis 

Di tengah berbagai sorotan tersebut, Badan Bank Tanah saat ini sudah berjalan aktif. Lembaga itu mulai terlibat dalam menyediakan lahan untuk masyarakat hingga proyek infrastruktur nasional, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara. Dalam proyek IKN, Bank Tanah berperan menyediakan tanah seluas 290,67 hektare sebagai lokasi pembangunan bandara VVIP.

Berbicara dalam forum diskusi pada 3 Oktober 2023, Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmadja mengatakan badan tersebut perlu memiliki model bisnis yang efektif untuk menjalankan fungsi yang optimal. 

Dia menyebutkan badan tersebut baru sebatas bergerak sebagai petugas administrasi dan pengelola lahan. “Ada satu fungsi yang kurang, yakni bagaimana negara bisa menyediakan tanah, memberikan kepastian hukum kepada investor, ataupun untuk kepentingan lain, seperti sosial, pembangunan nasional, maupun untuk pemerataan ekonomi,” ujar Parman. 

VINDRY FLORENTIN | ILONA ESTERINA PIRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus