Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIAN dan Nata tiba-tiba kebanjiran order dalam enam bulan terakhir. Dua tukang bangunan berusia 50-an tahun dari Desa Rawa Rengas, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, ini menerima macam-macam permintaan dari tetangganya. Ada yang ingin bikin rumah, kontrakan, atau bangunan ala kadarnya untuk mengisi lahan kosong milik mereka.
Banyak tukang lain di desa-desa sebelah mendapat rezeki serupa. Selain Rawa Rengas, dua desa di Kabupaten Tangerang dan dua kelurahan di Kota Tangerang ini masuk peta perluasan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Sejak informasi itu tersebar, penduduk di lima wilayah ini seperti berlomba membangun apa saja. Seperti cendawan di musim hujan, ratusan bangunan baru berdiri, juga di sawah-sawah. "Warga desa rajin membangun sejak ada rencana penggusuran," kata Nian, Selasa pekan lalu.
Para penduduk sadar benar rumah yang baru mereka bangun itu akan dihancurkan lagi saat proyek perluasan bandara dimulai. Namun, menurut Nian, justru itulah yang mereka harapkan. Sebab, dalam hitung-hitungan ganti rugi, aset sawah dinilai paling murah. Tapi harganya akan berbeda bila statusnya disebut sebagai lahan kering dan di atasnya berdiri bangunan.
Warga desa di sekitar bandara Cengkareng ini belajar dari dua pengalaman penggusuran, yakni pada 1978 dan 2002. "Kami tidak mau lebih sengsara setelah digusur," ujar Rahmawati, 45 tahun, penduduk Kampung Rawa Jati, Rawa Rengas.
Ihwal banyaknya warga desa yang berlomba membangun rumah itu tak dibantah Kepala Desa Rawa Rengas, Ingkil. Aparat pemerintahan mengaku tidak bisa mencegah. "Itu hak mereka," katanya.
Menurut Ingkil, desanya mungkin harus direlokasi total alias "bedol desa". Rawa Rengas berada persis di samping pagar runway 2 bandara. Rencananya 60,85 hektare dari total 127 hektare luas wilayah desa akan tergusur. Sekitar 1.150 bidang tanah akan dibebaskan. "Kami siap saja digusur, asalkan pemerintah dan PT Angkasa Pura II menyiapkan desa baru untuk kami."
Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar mengatakan pembangunan landasan pacu ketiga di Soekarno-Hatta rawan memicu konflik. Wilayah yang bakal digusur ini dihuni lebih dari 13 ribu jiwa. Zaki mengusulkan penggantian tidak hanya berupa uang, tapi juga relokasi perumahan.
Penduduk yang digusur juga minta jaminan pekerjaan di lokasi baru. Harga selangit pun dipatok untuk tanah dan bangunan. "Boleh gusur asalkan harganya cocok, 20 juta per meter," ujar Ahmad Setio, warga Rawa Rengas yang rumahnya hanya berjarak 2 meter dari pagar bandara. "Dulu rumah kami di sana," kata Setio sambil menunjuk kawasan bandara.
Direktur Utama Angkasa Pura II Budi Karya Sumadi tak mau gegabah menanggapi tuntutan warga. Penilaian harga ganti rugi akan ditentukan oleh tim penilai independen. Manajemen dan pemerintah daerah akan mengacu pada hitungan itu. Menurut dia, nilai jual obyek pajak di desa dan kelurahan itu tak sampai Rp 500 ribu per meter. "Orang desa itu kan pinpinbo (pinter-pinter bodoh). Banyak warga bangun gubuk, berharap nilai tanahnya ikut naik," ujar Budi.
Angkasa Pura II pun tak mau mengulang pengalaman pembebasan pada 2002. Saat itu tim pembebasan tanah dituding melakukan korupsi karena menghitung ganti rugi sawah dengan harga pekarangan. "Kasusnya mirip-mirip sekarang ini. Sawah dibangun rumah, sehingga dihitung pekarangan," kata Agus Haryadi, Corporate Secretary Angkasa Pura II.
Agus berharap pemerintah daerah bersikap tegas dengan tidak menerbitkan izin mendirikan bangunan di area yang akan dibebaskan. Ketua Tim Pembebasan Tanah PT Angkasa Pura II Bambang Sunaryo memilih bersikap konservatif. "Pembebasan lahan akan berpegang pada aturan perundang-undangan saja, terutama PP Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum."
PT Angkasa Pura II berbenah total dalam setahun belakangan. Hampir semua area di Soekarno-Hatta dipermak. Yang terbesar tentu saja proyek penambahan runway dan pembangunan terminal baru, yang akan terangkai dengan moda transportasi darat, seperti kereta. Tapi, sebelum dua hal itu terwujud, banyak hal lain perlu dibereskan.
Budi Karya menuturkan, revitalisasi dan pengembangan bandara mendesak dilakukan. Keselamatan dan kenyamanan penumpang jadi prioritas utama. "Untuk dua hal itu, Angkasa Pura II harus mereformasi diri. Tak ada cara lain karena bandara adalah beranda dan wajahnya Indonesia," ujar mantan Direktur Utama PT Jakarta Propertindo itu sembari mengungkapkan moto baru Soekarno-Hatta sebagai "Smile Airport".
Menurut survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan di bandara sangat rendah. Menurut temuan yayasan ini, ada lima masalah besar di Soekarno-Hatta yang dikeluhkan, yaitu ruang publik yang minim dan mahal, toilet kotor dan jelek, pencurian bagasi, taksi liar, serta akses dari dan ke bandara yang mampet.
"Menurut riset, dua hal pertama yang dicari orang ketika turun dari pesawat adalah Wi-Fi dan toilet. Jika dua masalah itu selesai, 50 persen urusan beres," kata Budi. Itu pula sebabnya hal pertama yang dikerjakan Budi adalah memastikan kebersihan toilet bandara. Baru setelah itu ia berusaha mempercepat waktu tunggu bagasi menjadi maksimal 30 menit.
Agus Haryadi mengatakan rating kedua penilaian terburuk adalah karut-marutnya taksi liar. Konsumen mengeluhkan cara agresif taksi ini ketika mencari penumpang dan pelayanannya yang asal-asalan. Dalam banyak kasus, sopir taksi mengubah tarif di tengah jalan. "Sama sekali tidak mencerminkan bandara yang manusiawi," ujar Agus. Tapi tak mudah menata mereka, karena ada 1.026 unit taksi liar di Soekarno-Hatta.
Masalah taksi gelap diselesaikan dengan melegalkan mereka sebagai kendaraan sewa dan penataan sistem parkir. Tarif parkir dibuat progresif sehingga tak ada lagi sopir pelat hitam betah berlama-lama ngetem. Legalisasi dengan mendaftarnya sebagai kendaraan sewa yang dilengkapi stiker khusus Induk Koperasi Angkatan Udara ini juga sukses di beberapa bandara lain: Halim Perdanakusuma, Jakarta; Palembang; Lampung; Surabaya; Solo; dan Yogyakarta.
Budi Karya mengaku sengaja melibatkan Tentara Nasional Indonesia agar sopir-sopir menjadi "berdisiplin". Selama ini banyak faksi paguyuban sopir yang kerap menimbulkan gesekan dan merembet pada kekacauan lalu lintas bandara.
Minimnya ruang publik diatasi dengan penutupan seratusan toko atau tenant di terminal bandara. Sebagai gantinya, lebih banyak disediakan bangku untuk istirahat, membaca, dan ngobrol dengan akses Wi-Fi supercepat. Agus Haryadi mengakui insiden kebakaran salah satu tenant pada Juli lalu jadi momentum bongkar-bongkar itu.
Namun, dalam soal kemacetan dari dan ke bandara, Budi Karya mengaku belum bisa melakukan apa-apa. Penyebabnya, kata dia, masalah di Jalan Tol Bandara adalah kewenangan pemerintah daerah dan Kementerian Perhubungan. "Kami mengusulkan pada jam-jam tertentu Tol Bandara hanya untuk mobil yang hendak ke bandara," ujar Budi. Usul itu belum dijawab.
Percepatan pembangunan kereta bandara juga diharapkan menjadi solusi dan diperkirakan bisa mengurangi 30 persen kepadatan lalu lintas di jalan tol yang overloaded. Tahun lalu, kata Agus Haryadi, 57 juta orang diangkut lewat Soekarno-Hatta, dan akan melonjak menjadi 62 juta pada 2015 ini. Sedangkan kapasitas bandara yang dibangun pada 1978 itu dirancang hanya untuk 22 juta penumpang per tahun.
Angkasa Pura II ingin menaikkan kelas Soekarno-Hatta dari "bandara tujuan" menjadi "bandara transit". Menurut Budi Karya, kata "transit" punya manfaat sekaligus konsekuensi berat. Banyak duit harus dibelanjakan untuk itu.
Budi menargetkan kapasitas runway meningkat dari 72 pesawat per jam menjadi 86 unit per jam. Mereka mengalokasikan Rp 5 triliun saban tahun untuk perbaikan ini. Bandara lain yang dikelola Angkasa Pura II, yakni di Kualanamu, Pontianak, Pekanbaru, dan Jambi, turut dibenahi. Totalnya, perseroan akan menginvestasikan Rp 60-an triliun. Dana itu termasuk untuk pengembangan runway dan terminal keempat di Soekarno-Hatta hingga 2024.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo mendukung penuh langkah Angkasa Pura II. Pemerintah membantu dengan mendorong agar Soekarno-Hatta memenuhi standar keamanan penerbangan internasional. "Kalau standar keamanan dipenuhi, maskapai penerbangan luar negeri akan berdatangan," ujarnya.
Oktober lalu, hasil audit Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) memberi nilai 94,92 persen (dari nilai tertinggi 100 persen) terhadap kesesuaian antara peraturan dan praktek keamanan di Soekarno-Hatta. "Harus dijaga konsistensinya," kata Suprasetyo.
Sebagai penunjang, lembaga navigasi PT AirNav Indonesia juga menganggarkan Rp 1,8 triliun tahun depan. Duit itu untuk membenahi peralatan dan kemampuan personel pengatur lalu lintas udara di Soekarno-Hatta. "Roadmap mereka sudah ada," ujar Suprasetyo.
Yang masih jadi teka-teki adalah proses pengembangan yang perlu menggusur penduduk sekitar bandara. Jika tak mulus, bisa dipastikan agenda dan target Angkasa Pura II terganjal. "Soal tanah memang selalu seru," kata Budi Karya.
Agus Supriyanto, Khairul Anam,Joniansyah Rahardjo (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo