Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOEING 737-300 bernomor registrasi PK-LIH itu mulai dipreteli. Bekas tulisan Lion Air dan logonya masih tampak di badan pesawat yang terparkir di night stop apron Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, itu, Senin dua pekan lalu. Belasan tukang terlihat mengerubutinya. Ada yang mencopoti baut di sayap, mengangkati beragam onderdil, juga menyedot oli dengan hati-hati. "Kami tak pakai las," kata Robby, salah satu tukang yang ditemui Tempo.
Setelah bertahun-tahun dibiarkan mangkrak di sudut bandara, pesawat bekas ini hendak dipakai lagi untuk macam-macam keperluan. Itu sebabnya Robby dan rekan-rekannya membedah Boeing ini secara manual tanpa api las. Alasan lain ialah faktor keamanan, karena masih ada sisa bahan bakar di pesawat rusak itu.
Robby bukanlah teknisi perawatan pesawat. Dia pekerja PT Samutri Karya, perusahaan pemborong bangkai pesawat. Kali ini Samutri mendapat order membongkar dua pesawat Lion Air. Bodi PK-LIH itu nanti akan dirangkai lagi di Balaraja, Banten, lokasi sekolah penerbang Lion Air. "Akan dibawa dengan trailer," ujar Jajang, rekan kerja Robby.
Sekretaris Perusahaan PT Angkasa Pura II (Persero) Agus Haryadi mengatakan, setahun belakangan, manajemen baru mereka menggeber pembersihan pesawat bobrok di Soekarno-Hatta. Selain karena memakan tempat dan tak sedap dipandang, 37 unit pesawat bobrok itu bisa membahayakan penerbangan.
Bangkai pesawat itu berserakan di parkiran yang biasa digunakan pada malam hari. Banyak anjing dan rubah liar yang bersarang di sana. "Saat musim kawin, mereka sering berlarian ke runway. Kalau kesedot mesin pesawat, bahaya itu," kata Agus.
Dari 37 unit pesawat rusak itu, kebanyakan sisa maskapai penerbangan yang sudah bangkrut, seperti Bayu Indonesia Air, Mandala Airlines, Merpati Nusantara Airlines, Kartika Air, Bouraq Indonesia Airlines, dan Batavia Air. Sebagian lagi milik perusahaan yang masih beroperasi, seperti Sriwijaya Air dan Lion Air. Sejak pembersihan dijalankan,19 unit bisa dilelang.
Pekerjaan Robby dan teman-temannya ini terbilang baru. Mereka bukan seperti "jagal besi tua", yang memutilasi pesawat dan mengambil besi atau logam lain untuk didaur ulang. Robby adalah spesialis bongkar-pasang badan kapal terbang.
Ada yang dirakit untuk dipajang di mal, seperti yang ada di Gandaria City, Jakarta Selatan. Di Bali, ada pesawat bekas didandani dan disulap jadi kafe. Di Australia, misalnya, sebuah Boeing 747 yang sudah pensiun bahkan dipermak jadi kamar hotel. Di kantor PT Samutri di Ciganjur, Jakarta Selatan, sebuah badan pesawat bekas mereka ubah jadi studio produksi film.
"Harga kepingan sangat murah kalau dihitung berat logamnya saja," ucap Jajang. Boeing 737-300 cuma laku Rp 200-250 juta jika dijual kiloan. Harganya justru akan melambung sampai Rp 700-800 juta bila dilego dalam kondisi utuh dan dipasang lagi di lokasi baru.
Presiden Direktur Lion Group Edward Sirait mengatakan pesawat bekas itu nanti akan digunakan sebagai koleksi di museum mereka. Buat Lion, tak penting benar pesawat bekas mereka nanti akan dipakai untuk keperluan apa. "Pokoknya kami lepas ke penawar yang paling tinggi," kata Edward saat dihubungi Kamis pekan lalu.
Juru bicara Sriwijaya Air, Agus Soedjono, mengatakan sudah menjual empat unit Boeing 737-200 bekas mereka, empat bulan lalu. Tapi satu di antaranya masih nyangkut di Soekarno-Hatta. "Itu urusannya yang beli," ujarnya.
Kini tersisa sembilan bangkai pesawat yang belum terjual di Soekarno-Hatta. Angkasa Pura II memberi tenggat 31 Desember agar rongsokan itu segera diambil si pemilik. Jika pesawat tak diurus, pengelola bandara akan menyingkirkannya. "Jangankan minta mereka bayar parkir, cari pemiliknya saja susah," kata Agus Haryadi.
Khairul Anam, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo